JAKARTA- Serikat buruh di PT Newmont Nusa Tenggara harus segera mempersiapkan diri dengan membentuk Dewan Buruh untuk mempermudah mempercepat pengambilalihan perusahaan tambang emas milik Amerika tersebut. Hal ini ditegaskan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Mining and Energi Studies (IMES), Erwin Usman kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (4/11) menyusul gugatan perusahaan tambang emas asal Amerika itu di Mahkamah Konstitusi (MK), 23 Oktober 2014 lalu.
“Buruh dan pekerja di Newmont jangan lagi mau ditunggangi oleh kepentingan PT Newmont yang hanya membayar buruh dengan gaji bulanan. Sudah saatnya buruh dan pekerja Newmont berpikir menjadi pemilik dari usaha tambang emas tersebut dan memiliki saham menerima keuntungan dari bagi hasil produksi,” tegasnya.
Atau menurutnya, pemerintah bisa saja ambil alih kendali operasionalnya dengan menggunakan BUMN minerba yang ada saat ini bekerjasama dengan serikat buruh di perusahaan Newmont setempat. Pengambilalihan dapat menyertakan pihak swasta nasional atau BUMD yang siap bekerjasama.
“Serikat buruh yang ada di Newmont bisa mengajukan rencana pengambilalihan kepemilikan Newmont dengan cara membentuk dewan buruh untuk mengambilalih pengelolaan tambang Newmont di Batu Hijau, Sumbawa Nusa Tenggara Barat. Presiden Jokowi mestinya mendukung gagasan itu. Tak perlu takut pada gugatan Newmont,” tegasnya.
Jadi menurutnya, masa depan tambang emas PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) ada ditangan kepemilikan nasional bukan lagi asing atau individual kapitalis.
“Kepemilikan saham terbagi ke tangan buruh dan pekerja, masyarakat setempat, Pemda, Pemerintah Pusat dan Pengusaha nasional. Jangan lagi seperti sekarang hanya dinikmati para pejabat pusat saja,” tegasnya.
Menurut seorang karyawan, selama ini PT NTT mengirim konsentrat ke smelter di Gresik. Dari limbah konsentrat didapatkan bahan untuk membuat semen yang langsung ditampung pabrik semen di Gresik. Sebenarnya, smelter di Gresik sudah tidak mencukupi kebutuhan perusahaan-perusahaan tambang emas di Indonesia.
“Dalam sekali pengapalan saja, PT NTT harus mengeluarkan 30 ribu ton konsentrat. Sementara jatah Newmont Gresik hanya 8.000 ton konsentrat. Jadi hanya 20 persen dari konsentrat diolah di Gresik, sisanya di olah di Jepang,” ujar seorang karyawan di Newmont.
Sebelumnya, pihak PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) kembali mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi setelah mencabut tuntutan arbitrase internasional terhadap Pemerintah Indonesia terkait pelarangan ekspor konsentrat bulan Agustus 2014 lalu
Menanggapi hal itu, pemerintah mengancam akan menghentikan amandemen kontrak Newmont yang saat ini sedang dalam proses kesepakatan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian (ESDM) R Sukhyar meminta gugatan tersebut harus segera dicabut. Pasalnya saat ini pihak Newmont sedang dalam proses amandemen kontrak dan hal tersebut bisa dihentikan jika ada gugatan yang diajukan.
“Saya minta PT NNT mencabut gugatan. Kita hold amandemen kalau tidak dicabut,” kata Sukhyar kepada pers di Jakarta, Senin (3/11).
Menurut Sukhyar, setiap perusahaan harus mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah. Karena itu, perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut tidak bisa melakukan gugatan seenaknya.
“Masak ada perusahaan menentang atau mengancam pemerintah,” tuturnya.
Gugatan Di MK
Seperti diketahui, pada tanggal 23 Oktober 2014 lalu, salah satu pemegang saham PT NTT dari PT. Pukuafu Indah, Dr. Nunik Elizabeth Merukh, melalui kuasa hukumnya melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan diberlakukannya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu bara (Minerba). Yusuf Merukh memiliki 20% saham PT NTT.
Direktur PT Pukuafu itu menggugat pasal 169 tentang perubahan kontrak karya menjadi IUP PK, dan pasal 170 tentang kewajiban melakukan pemurnian sebagaimana yang telah dimaksud dalam pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya undang-undang Minerba disahkan.
Dalam gugatannya, kuasa hukum Nunik berdalih bahwa perubahan kontrak karya menuju IUP PK telah bertentangan dengan kesepakatan kontrak atau perjanjian yang telah dibuat oleh berbagai pihak beberapa tahun lalu, selain itu kewajiban melakukan pemurnian sebelum diekspor merupakan kebijakan yang berdampak pada kerugian perusahaan.
Selain itu, pihak penggugat juga menilai kebijakan pemerintah tersebut telah bertentangan dengan UUD 1945, dan kebijakan tersebut adalah kebijakan harus melakukan pemurnian dan pengelolahan terlebih dahulu di dalam negeri itu tidak termasuk dalam materi muatan dalam kontrak karya yang telah disetujui pemerintah sejak tahun 1986. (Dian Dharma Tungga)