JAKARTA- Kolusi antara dokter dengan perusahaan farmasi sudah tidak dapat dibenarkan lagi saat ini. Dokter dapat dituntut karena kolusi dengan perusahaan farmasi dengan pasal pengobatan irasional. Namun yang muncul belakangan adalah kolusi antara dokter dengan perusahaan asuransi. Beberapa hari lalu Ikatan Dokter Indonesia (IDI) justru membangun kerjasama dengan perusahaan asuransi. Bahkan dokter dijanjikan berbagai insentif jika menemukan client dokter yang terkena pasal malpraktek. Demikian, Dr. Farryal Basbeth, SpF.DFM dari Dokter Indonesia Bersatu (DIB) kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (28/8).
“Jadi asuransi profesi dokter ini hanya untuk kepentingan perusahaan asuransi dalam rangka mencari suntikan dana dari dokter-dokter. Dana digunakan untuk investasi perusahaan asuransi. Sudah kami dibayar murah oleh BPJS, diancam pasal malpraktek, sekarang dipalakin perusahaan asuransi,” ujar ahli forensik ini.
Dosen kedokteran forensik di Fakultas di Universitas YARSI ini mempertanyakan kolusi yang dilakukan oleh IDI dengan perusahaan asuransi ini.
“Apakah IDI mau bertanggung jawab kalau perusahaan asuransi tersebut kollaps karena badai krismon seperti sekarang. Apakah IDI bisa dikenakan pelanggaran etik, atau mungkin pasal penipuan?” tegasnya.
Ia mengakui kebanyakan dokter belum sadar dan mengira bahwa asuransi akan melindungi dokter bila terjadi kasus malpraktik.
“Tetapi apakah benar demikian? Sebenarnya proteksi dokter ini tanggungjawab siapa? Apakah benar kemudian IDI berdalih dengan mengatakan mempunyai kewajiban melindungi dokter kemudian berkolusi dengan perusahaan asuransi? Apa benar konsultan-konsultan medikolegal yang ada di perusahaan asuransi itu membela kepentingan dokter?” ujarnya.
Sekali lagi ia menjelaskan bahwa perusahaan asuransi tidak pernah transparan terhadap klien karena harus mengejar keuntungan yang lebih besar.
“Sebagai contoh apakah mereka transparan mengatakan kalau dana yang terkumpul diinvestasikan di reksadana, pasar bursa dan obligasi. Bagaimana tanggung jawab mereka kalau mengalami kerugian seperti badai krismon, inflasi dan lainnya. Nah informasi ini sampai tidak pernah diberikan kepada para dokter-dokter itu,” jelasnya.
Ia mengatakan bahwa modal utama dari perusahaan asuransi adalah menakut-nakuti kliennya dengan berbagai resiko, agar client merasa perusaan asuransilah yang akan menyelamatkan dokter dari tuduhan malpraktek.
“Kalau saya melihat asuransi profesi yang disodorkan pada dokter tidak ada manfaatnya. Karena kalau doker sudah bekerja sesuai dengan standard operasional prosedur dan standard profesi standard etika maka tidak perlu takut terhadap tuntutan pasien atau malpraktek,” jelasnya.
Tugas IDI dan organisasi profesi seharusnya menurutnya memonitor kualitas pelayanan dokter harus sesuai standard dan kompetensi dan bukan bekerjasama dengan perusahaan asuransi.
Pelayanan Dibawah Standar
Ia mengakui bahwa standar pelayanan dokter di era BPJS memang tidak memberikan pelayanan maksimum, karena sistem BPJS tidak membayar penuh pelayanan yang dibutuhkan oleh pasien.
“BPJS itu asuransi yang diambil dari sistem kapitalis yang bathil. Seharusnya negara bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan maksimum pelayanan maksimum,” tegasnya.
Ia menjelaskan, saat ini ada banyak negara bisa memberikan jaminan kesehatan, tetapi yang terbaik dan diakui oleh dunia adalah yang dijalankan oleh negara Kuba.
“Padahal kondisi perekonomian Kuba tidak jauh berbeda dengan Indonesia, bahkan kekayaan alam Kuba jauh lebih sedikit dibandingkan negeri ini, namun Kuba berhasil memberikan jaminan kesehatan untuk seluruh rakyatnya secara gratis dan berkualitas tinggi. Sistim di Kuba jauh lebih baik dari Amerika dan negara-negara kaya lainnya di Eropa,” ujarnya.
Farryal Basbeth mengatakan bahwa sebetulnya tidak sulit untuk menjadi lebih baik dari Kuba kalau pengelola negara ini punya komitmen.
“Yang diperlukan hanyalah kemauan dan komitmen politik serta perhatian sungguh-sungguh dari pemerintah untuk memelihara kemaslahatan rakyat, hajat hidup orang banyak,” tegasnya (Web Warouw).