Oleh: Dr. Agung Sapta Adi, SpAn**
Terkejut sekaligus sedih ketika mendengar berita meninggalnya seorang sejawat, sahabat pejuang DIB (Dokter Indonesia Bersatu), Dr. Jini Suraya SpB Konsulen Bedah Digestif. Teringat akan berita duka meninggalnya sejawat dokter lainnya diusia yang relatif masih produktif, baik yang terkena musibah kecelakaan ataupun penyakit-penyakit yang dideritanya. Dokter juga manusia, nyawanyapun ada di tangan Allah.
Bukan melawan takdir tapi memang kenyataannya dokter sejak awal dipersiapkan mentalnya untuk tidak menyerah menolong pasien-pasiennya dan dilatih fisiknya dengan berbagai tantangan yang mengganggu jam biologisnya.Â
Dokter harus siap kapanpun pasien membutuhkan namun kadang tuntutan profesi ini menghabiskan hak pribadi (hak tubuh) dokter yang sebenarnya sangat rentan terhadap resiko pekerjaan. Resiko berupa penyakit akibat tertular infeksi, penyakit metabolik serta degeneratif yang timbul lebih cepat akibat pola hidup yang tidak teratur dan tidak kalah bahayanya adalah resiko kecelakaan kerja akibat kelelahan, kurangnya konsentrasi maupun akibat kerawanan sosial di masyarakat.
Jam kerja yang tidak mengenal waktu, beban kerja yang berat seringkali menjadi alasan klasik dokter gagal memenuhi kebutuhan pribadinya. Sudah lazim dokter menomorduakan kepentingan pribadi maupun keluarganya, sayang hal ini hanya dinilai sebagai sebuah bentuk jiwa altruisme (pengabdian) profesi dokter. Padahal ini tidak saja merugikan seorang dokter namun juga berpotensi menimbulkan kesalahan dalam menjalankan tugas profesi yang berdampak pada pasien.
Masyarakat mungkin saat ini hanya melihat dokter bekerja karena ada uang. Mungkin tidak sepenuhnya salah karena di Indonesia sebagian besar dokter bisa hidup karena ada orang yang berobat kepadanya yang berarti dokter hidup karena sakitnya pasien. Bagaimana tidak mungkin iklim ini terjadi kalau besaran penghasilan dokter memang dominan dari jasa medis bukan dari gaji pokok, tunjangan profesi dan tunjangan lain-lain apalagi dari uang lembur karena kelebihan jam kerja. Â
Intinya dokter mendapatkan penghasilan dari apa yang dia lakukan pada pasien, bukan karena kompensasi resiko pekerjaan apalagi penghargaan profesional. Secara pragmatis tentunya dokter akan berupaya memperbanyak jam praktek dengan harapan kuantitas dan kualitas pasiennya meningkat. Seorang profesor ahlipun kebanjiran pasien kadang bukan karena rujukan medis tapi lebih karena iklim persaingan pasar bebas yang tercipta karena hilangnya peran regulasi dalam sistem kesehatan Indonesia.Â
JKN Dan Dokter
Bagaimana JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) melindungi kepentingan profesi? Awalnya berharap JKN dapat merubah pasar bebas dunia kedokteran. Perang semu dalam komersialisasi kedokteran (dan kesehatan) memang kejam. Dokter hanya ditempatkan sebagai “subyek penderita” yang keberadaannya tidak tercantum dalam Undang-Undang SJSN (Sistim Jaminan Sosial Nasional) maupun aturan dibawahnya secara adil (dokter sebagai korban). Padahal peran dokter menjadi dominan dalam pelayanan JKN (dokter sebagai subyek).
Dengan kapitasi yang rendah dokter di layanan primer harus melayani pengobatan (kuratif) pasien sekaligus preventif maupun promotif peserta kalau tidak mau angka kunjungan peserta sakit meningkat. Begitu pula di tingkat rujukan (rumah sakit), dokter harus siap menerima jasa medis dari sisa biaya paket INA-CBG’s (Indonesian Case Base Groups).
Paket INA-CBG’s-lah yang mengatur standar   tarif   pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan oleh Badan Penyelengggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang nominalnya jauh dari nilai keekonomian. Kondisi ini tentu berakibat pada pelayanan yang jauh dari keselamatan pasien sebagai prioritas dan menempatkan dokter benar-benar sebagai pekerja yang harus pasrah menerima upah sekaligus membahayakan dirinya sendiri dengan bekerja overload maupun overtime.Â
Publik mungkin hanya mengetahui gaya hidup stereotip dokter yang mewah dan penuh kemudahan sehingga  pendidikan kedokteran menjadi jurusan favorit dan ladang komersil. Tidak banyak yang tahu bahwa banyak perjuangan dan pengorbanan yang dilakukan seorang dokter agar dapat menjadi dokter yang memiliki pengetahuan, ketrampilan maupun profesionalisme. Waktu untuk pribadi dan keluarga harus siap dikorbankan sewaktu-waktu.
Begitupula lingkungan yang kadang harus diabaikan hingga terkesan dokter menjadi asosial atau terkesan eksklusif. Fenomena yang lazim dokter harus praktek mulai pagi sampai malam sehingga minim waktu untuk bersosialisasi. Dokter hanya terkesan baik di kamar periksa tapi kehilangan potensi lainnya di masyarakat. Sangat sedikit saat ini dokter yang memiliki peran penting dalam  struktur sosial di masyarakat. Walau tidak praktek, hari liburpun dokter memiliki kewajiban melakukan visite pasien rawat inap.
Tidak banyak yang tahu bahwa kadang dokter melayani pasien dalam kondisi dirinya ataupun anggota keluarganya sakit. Mungkin dokter tersebut  harus mendapatkan obat suntikan atau infus agar tetap bisa bekerja dengan prima. Saya menjadi saksi mata ketika suatu hari sejawat saya harus segera menyelesaikan tugas-tugasnya melayani pasien di rumah sakit  lebih dini. Beberapa menit sebelumnya di rumah sakit yang sama beliau kehilangan ayah tercinta. Jenazah ayahnya yang masih hangat harus ditinggalkan demi pasien yang sama sekali tidak pernah tahu susahnya dokter dalam posisi seperti ini,–mengutamakan kepentingan pasien di atas kepentingan pribadi. Masih banyak kisah-kisah lain seputar fakta bahwa dokter lebih mengutamakan kewajiban mengabdi pada kemanusiaan disaat profesi ini makin dilecehkan dan dijadikan kambing hitam buruknya sistem kesehatan nasional. Â
Masih layakkah dokter dikatakan sebagai sebuah profesi mulia? Atau sekedar sebuah pekerjaan yang akan selalu dikorbankan oleh sistem? Bagaimana mungkin dokter bisa bekerja profesional kalau hanya dihargai layaknya buruh tanpa jaminan perlindungan ?
*Tulisan ini dibuat dan disiarkan untuk mengenang (Almarhum) Dr. Jini Suraya SpB, seorang Konsulen Bedah Digestif yang lebih dahulu berpulang dalam perjuangannya.
**Penulis adalah dokter spesialis anastesi dan salah satu pimpinan dari Dokter Indonesia Bersatu (DIB)