Senin, 30 Juni 2025

Dokter Saja Diabaikan, Apalagi Rakyat Miskin!

JAKARTA- Pada awal tahun 2004, media massa mencatat, pemerintah dihadapkan pada kenyataan  40 % daerah terpencil dan sangat terpencil  tidak memiliki dokter atau tenaga kesehatan.  Puskesmas di wilayah tersebut ditinggalkan oleh para dokter yang dulu biasanya merupakan dokter PTT. Karena  sejak tidak diberlakukan lagi Inpres V/1974, dokter tidak diwajibkan melainkan sukarela untuk ikut program PTT. Dalam desentralisasi dan otonomi daerah, dokter di daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah setempat.

 

Untuk mengatasi kekurangan tenaga kesehatan, Menkes Siti Fadilah kembali meresentralisasi persoalan kesehatan ditangan pemerintah pusat dengan melakukan beberapa terobosan strategis. Salah satunya dengan menerbitkan Kepmenkes No 132/2006 dan Permenkes No 312 Tahun 2006 yang mengurangi masa  penugasan di daerah tepencil menjadi 1 tahun dan daerah sangat terpencil menjadi 6 bulan. Dokter PTT mendapatkan kenaikan gaji pokok bulanan untuk daerah biasa Rp 1.380.000, daerah terpencil Rp 1.782.000 dan sangat terpencil menjadi Rp 2.012.500. Diluar gaji pokok juga diberikan insentif untuk dokter spesialis Rp7,5 juta/bulan, dokter dan dokter gigi Rp 5 juta/bulan dan bidan Rp 2,5 juta/bulan.

Perekrutan dan distribusi tenaga kesehatan PTT sebanyak 3 periode dalam setahun yaitu bulan April, Juni dan September. Para tenaga kesehatan PTT diarahkan pada pelayaan kesehatan bagi keluarga pra sejahterah di daerah terpencil dan sangat terpencil dan perbatasan. Pengangkatan CPNS tenaga kesehatan dilakukan bekerjasama dengan pemerintah daerah untuk penyediaan fasilitas dasar berupa sarana transportasi dan tempat tinggal serta insentif tambahan bagi dokter yang bertugas di daerah setempat.

Siti Fadilah juga memberikan kemudahan dan insentif bagi tenaga kesehatan yang ingin menjadi PNS di daerah terpencil dan sangat terpencil.  Tenaga kesehatan honorer diangkat menjadi CPNS. Dokter dan dokter gigi pasca PTT diangkat menjadi CPNS daerah sampai usia 46 tahun asal bersedia ditempatkan di daerah terpencil selama 5 tahun. Formasi khusus juga dilakukan berupa penerimaan dokter menjadi dokter spesialis tanpa ikut seleksi seperti pelamar umum. Selain itu juga diadakan pemberian bantuan pendidikan dokter spesialis sebanyak 700 orang dokter pada tahun 2008 yang diajukan oleh Pemda Kabupaten, Kota atau Propinsi. Pada tahun 2009 sebanyak 1.040 orang dokter.

Sehingga penempatan dokter di daerah biasa sebanyak 1.463 (tahun 2005), 1.136 (tahun 2006), 150 (tahun 2007) dan 357 (tahun 2008). Penempatan dokter di daerah terpencil sebanyak 739 (tahun 2005), 996 (tahun 2006), 1.560 (tahun 2007) dan 1.363 (tahun 2008). Penempatan dokter di daerah sangat terpencil sebanyak 456 (tahun 2005), 1.037 (tahun 2006), 1.707 (tahun 2007) dan 2.406 (tahun 2008).

Penempatan dokter gigi di daerah biasa sebanyak 621 (tahun 2005), 385 (tahun 2006), 40 (tahun 2007) dan 141 (tahun 2008). Penempatan dokter gigi di daerah terpencil sebanyak 141(tahun 2005), 243 (tahun 2006), 342 (tahun 2007) dan 311 (tahun 2008). Penempatan dokter gigi di daerah sangat terpencil sebanyak 54 (tahun 2005), 268 (tahun 2006), 619 (tahun 2007) dan 833 (tahun 2008).

Penempatan dokter spesialis di daerah biasa sebanyak 4 (tahun 2005), 10 (tahun 2006), 21 (tahun 2007) dan 11 (tahun 2008). Penempatan dokter spesialis di daerah terpencil sebanyak 12 (tahun 2005), 63 (tahun 2006), 55 (tahun 2007) dan 29 (tahun 2008). Penempatan dokter spesialis di daerah sangat terpencil sebanyak 6 (tahun 2005), 3 (tahun 2006), 10 (tahun 2007) dan 3 (tahun 2008).

Penempatan bidan di daerah biasa sebanyak 4.837 (tahun 2005), 6.105 (tahun 2006), 8.451 (tahun 2007) dan 6.905 (tahun 2008).

Menurut data Departemen Kesehatan, pada tahun 2008 kebutuhan dokter untuk 8.234 puskesmas di 33 provinsi sebanyak 13.958 orang, tapi yang tersedia baru 11.865 dokter. Pemerintah juga baru bisa menyediakan 10.963 dokter dari 13.338 dokter yang dibutuhkan untuk mengisi 546 rumah sakit pemerintah atau masih kurang 18 persen dari kebutuhan. Jumlah dokter spesialis yang tersedia hanya 7.846 orang sementara kebutuhan dokter spesialis sebanyak 12.007 orang

Jadi, walaupun sudah ada penyebaran dokter ke daerah terpencil dan sangat terpencil yang meningkatkan derajat kesehatan, Menkes Siti Fadilah  masih juga mengerahkan rumah-rumah sakit bergerak (Mobile Hospital) yang fokus pada daerah terpencil, tertinggal, perbatasan dan kepulauan terluar.

Rumah sakit bergerak  setara RS kelas C dengan 4 dokter spesialis tersebuat beroperasi di Kabupaten Gayo Luwes, Propinsi Aceh (2004), Kabupaten Natuna dan Lingga di Propinsi Kepri (2005), Kabupaten Mamasa, Propinsi Sulawesi Barat (2006).

Rumah sakit bergerak  setara RS kelas D dengan 2 dokter spesialis tersebar beroperasi pada tahun 2007-2008 di Kabupaten Bengkulu Utara (Bengkulu), Kabupaten Bener Meriah (Aceh), Kabupaten Alor (NTT), Kabupaten Malinau (Kaltim), Kabupaten Talaud dan Sitaro (Sulawesi Utara), Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Halmahera Utara (Maluku), Kabupaten Raja Ampat dan Boven Digul (Papua).

Rumah sakit bergerak mampu memberikan pelayanan spesialistik karean dilengkapi UGD, apotik, poliklinik umum dan spesialis, ruang operasi, ruang rawat,  ruang bersalin, ICU, Laboratorium, radiology dengan kapasitas 10 tempat tidur.

Biaya operasional rumah sakit bergerak pada tahun pertama 100 persen oleh Depkes, tahun kedua 75 persen Depkes dan 25 persen Pemda. Pada tahun ketiga 50 persen Depkes dan 50 persen Pemda.

 

Badan Layanan Umum

Pada tahun 2004, beberapa rumah sakit pemerintah sudah akan dibeli oleh pihak Singapura lewat beberapa pejabat tinggi negara yang berbisnis rumah-rumah sakit. Pada 17 September 2004 Pemerintah Daerah DKI Jakarta mengeluarkan Perda No 15/2004  yang menggantikan status rumah RSUD Pasar Rebo, RSUD Cengkareng dan Rumah Sakit Haji Pendok Gede menjadi Perseroan Terbatas (PT),–berlaku efektif 1 Januari 2005.

Namun Siti Fadilah,  yang baru 2 bulan menjabat Menteri Kesehatan Fadilah sudah menolak keras privatisasi rumah-rumah sakit milik pemerintah yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar ’45 dan Undang-undang Kesehatan No 23/1992 tentang Kesehatan.

Untuk itu pada Pada tahun 2005 Menteri Kesehatan menetapkan 13 rumah sakit pemerintah menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Dengan demikian rumah-rumah sakit tersebut mendapat subsidi dari pemerintah dan bisa mengelola sendiri dananya, sehingga bisa fokus pada pelayanan kesehatan masyarakat dan menjalankan kewajibannya memberikan pelayanan kesehatan gratis pada masyarakat miskin dan hampir miskin.

Dokter-dokter asing secara diam-diam mulai mendapatkan peluang untuk masuk ke Indonesia dalam program rumah sakit berstandar internasional. Berbagai perjanjian internasional yang menjadikan Indonesia sebagai pasar, termasuk pasar kesehatan dihentikan. Menkes Siti Fadilah waktu itu secara keras menolak liberalisasi dibidang kesehatan.

 

Kembali Terpuruk

Siti Fadilah tidak lagi menjabat sebagai Menteri kesehatan sejak tahun 2009, pada periode kedua Pemerintahan Presiden SBY.  Diduga Presiden SBY mendapat tekanan keras untuk tidak lagi memakai Siti Fadilah sebagai Menteri Kesehatan, karena dianggap menghambat liberalisasi dibidang kesehatan.

Sistim kesehatan pro rakyat yang telah berhasil dibangun kembali perlahan-lahan mulai dirusak dan dihancurkan kembali,– untuk memberikan jalan bagi liberalisasi kesehatan yang sempat dihambat oleh Menkes Siti Fadilah.

Dampaknya sudah bisa dirasakan, bukan hanya pada masyarakat luas,–tapi dokter dan rumah sakit kembali menjadi ladang bisnis dari calo, mafia dan kapitalisme kesehatan.

Pada bulan Oktober 2010 media massa melaporkan, diperkirakan sekitar 1.600 pusat kesehatan masyarakat, terutama di daerah-daerah terpencil, kembali tidak memiliki dokter jaga. Jumlahnya terus menurun dan hingga kini masih ada sekitar 20 persen dari 8.000-an puskesmas belum punya dokter.

Pada tahun 2010, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) mewajibkan lulusan Fakultas Kedokteran untuk ikut program internship (pemagangan) selama setahun. Program itu sebagai salah satu syarat bagi calon dokter yang nantinya akan mengajukan surat tanda registrasi (STR). Surat itu sendiri bakal dipakai untuk mengajukan izin praktik kedokteran.

Wakil Mendiknas Fasli Jalal saat itu mengatakan, pendidikan kedokteran saat ini bakal ditekankan berbasis kompetensi pembelajaran (competence based learning). Sesuai standar internasional dan amanat UU Sisdiknas, program based learning (PBL) wajib diterapkan. Salah satunya, melalui kurikulum berbasis kompetensi.

“Jika satu fakultas kedokteran rata-rata meluluskan 100 calon dokter, maka akan ada 1.400 lulusan yang wajib ikut program internship. Mereka bisa ikut internship di puskesmas maupun berbagai rumah sakit daerah. Selama magang, mereka akan di dampingi dokter senior,” ujar mantan Dirjen Dikti itu.

Fasli mengatakan, kebutuhan dokter di Indonesia kurang lebih mencapai 20 ribu orang. Tiap tahun, diprediksikan ada 3.000-5.000 lulusan kedokteran. Artinya, kebutuhan dokter di Indonesia baru bisa dipenuhi sekitar 6-7 tahun.

Selain itu, rasio dokter-pasien di Indonesia menurutnya idealnya 1:10 ribu. Di negara maju, rasionya sudah 1:5.000. Untuk mencapai rasio 1:10 ribu, diperlukan 210 ribu dokter.  Kalau untuk mencapai formasi ideal, kebutuhannya akan semakin tinggi. Karena Indonesia baru memiliki 80 ribu dokter.

Wah, Jangankan memenuhi jumlah dokter yang dibutuhkan masyarakat, memastikan jaminan kesehatan petugas kesehatan saja negara ini telah gagal. Hari ini dipenghujung tahun 2015, akumulasi akibat dari runtuhnya sistim kesehatan tidak saja dirasakan oleh rakyat miskin tetapi oleh para petugas kesehatan seperti dokter dan bidan. Awas! Dokter saja diabaikan, apalagi anda!

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru