Jumat, 28 Maret 2025

DPD: Ada Yang Dorong Papua Selalu Bergolak

JAKARTA- Insiden penyerangan jemaah dan kios-kios serta masjid di Tolikara saat Idul Fitri sudah meretakkan kerukunan umat beragama di Papua. Padahal masyarakat Papua terkenal sangat toleran terlebih dalam beragama. Peristiwa ini harusnya menjadi sinyal bagi pemerintah bahwa saat ini berbagai cara tengah dilakukan pihak-pihak tidak bertanggungjawab untuk membuat Papua terus bergolak.

“Jangan yang diproses hukum hanya mereka-mereka yang terlibat langsung saat penyerangan. Otak dibalik insiden ini juga harus ditangkap dan diadili serta diungkap apa motifnya. Pemerintah harus bergerak cepat dan fokus agar insiden ini tidak merembet ke mana-mana. Jangan malah mengeluarkan penyataan-pernyataan yang kontraproduktif,” ujar Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris, kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (20/7).

Fahira mengatakan, pendekatan keamanan di Papua saat ini belum diimbangi dengan pendekatan keamanan manusia (human security). Akibatnya apapun persoalan di Papua selalu dianggap bersifat keamanan. 

“Insiden di Tolikara menjadi tanda bahwa pemerintah kurang mengantisipasi bahwa isu agama di Papua yang selama ini dianggap baik-baik saja ternyata juga bisa menjadi potensi konflik luar biasa destruktif melebihi gerakan separatis,” ujarnya.

Padahal, untuk peristiwa Tolikara benih-benih akan terjadi insiden sudah terpampang nyata dengan beredarnya surat dari Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) yang berisi larangan bagi umat Islam untuk merayakan Idul Fitri di Karubaga, Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua.

“Peristiwa intoleransi ini diharapkan mengubah mindset semua stakeholder yang ada di Papua baik dari unsur pemerintah pusat, aparat keamanan, pemerintah daerah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat bahwa saat ini isu agama sedang ‘dimainkan’ untuk mengobok-obok Papua. Sekecil apapun benihnya harus segera dikomunikasikan solusinya,” tukas Fahira.

Fahira yang juga pengurus MUI Bidang Pendidikan dan Pengkaderan ini mendesak pemerintah untuk terus mengomunikasikan perkembangan penanganan peristiwa Tolikara kepada masyarakat Indonesia.

“Himbauan agar masyarakat terutama umat muslim menahan diri idealnya disertai dengan kerja cepat dan tepat pemerintah dalam menguak kasus ini. Paling penting adalah rasa keadilan dan kemanusian publik yang terusik dengan peristiwa ini harus segera dipulihkan,” tegas Fahira.

Akumulasi Ketidakadilan

Sementara itu Ketua Setara Institute, Hendardi mengatakan bahwa Insiden Tolikara, Papua adalah salah satu  bentuk akumulasi diskriminasi dan ketidakadilan warga Papua yang berkepanjangan. Pembakaran tempat ibadah adalah satu pelanggaran HAM.

“Tetapi merujuk pada temuan PGI, nyata pula bahwa kekerasan dimulai karena provokasi bersenjata oleh pihak tertentu terhadap warga Papua sebelum pembakaran terjadi. Soal provokasi bersenjata ini yang sejak awal tidak dikemukakan oleh Polri,” ujarnya terpisah kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (21/7).

Apapun latar belakangnya menurutnya, peristiwa ini menunjukkan negara telah lalai menjaga hak atas rasa aman warga, menunjukkan bahwa intoleransi di tengah masyarakat juga semakin rentan dan mudah dibakar.

“Kerentanan itu bisa mencapai titik kulminasi yang mungkin lebih besar, karena isu utama Papua adalah keadilan dan penghargaan martabat warga Papua. Potensi ketegangan atas dasar agama, suku, pendatang versus pribumi, sebenarnya telah menguat sejak lama, akibat kebijakan transmigrasi politis yang meminggirkan warga Papua. Komnas HAM harus bekerja, Polri harus serius bekerja dan jujur serta terbuka mengungkap fakta,” tegasnya. (Web Warouw)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru