Kamis, 10 Oktober 2024

DPD Kritisi Peningkatan Kekerasan Pada Perempuan dan Anak

JAKARTA- Sebelumnya Pemerintah diharapkan mengoptimalkan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan yang terkait dengan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak, sehingga dapat menurunkan angka kasus kekerasan yang belakangan semakin meningkat. Demikian salah satu poin kesimpulan rapat kerja Komite III DPD RI dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP&PA) RI, Yohane Yembise di Gedung DPD RI, di Jakarta, Senin (2/2)

Rapat yang dipimpin oleh Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Hardi Selamat Hood membahas Program Kerja dan Anggaran Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Tahun 2016 dan Pembahasan terkait RUU tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga/Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual dan Anggaran 2016.

Dalam raker tersebut, sejumlah anggota Komite III DPD RI menyampaikan berbagai laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang mereka terima dari para konstituennya ketika berkunjung ke daerah pemilihannya.

Wakil Ketua Komite III DPD RI, Fahira Idris mengatakan pencegahan itu sangat penting untuk tindakan kekerasan. Menurutnya, saat ini kekerasan rumah tangga maupun kekerasan seksual masih sering terjadi, termasuk pada anak.

“Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dari tahun 2011 hingga 2013, tercatat sebanyak 7.650 kasus kekerasan terhadap anak Indonesia, dengan 30,1 persen dari jumlah itu atau sebanyak 2.132 kasus berupa kasus kekerasan seksual”, tutup Fahira.

Senator asal DKI Jakarta ini menilai berbagai bentuk pelecehan seksual, percobaan perkosaan, kekerasan dalam pacaran dan sebagainya yang dialami orang dewasa merupakan agenda persoalan yang menuntut segera diatasi.

“Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT). Namun, realitasnya praktik kekerasan dalam rumah tangga masih terjadi, karena rumusan di dalam Undang-Undang KDRT masih terdapat kelemahan seperti kurang komperhensifnya perlindungan hukum bagi pembantu rumah tangga yang bekerja di rumah tangga, sanksi pidana yang belum proporsional untuk memberikan efek jera maupun perlindungan bagi istri yang mengalami kekerasan, terutama bagi mereka yang pernikahannya tidak dicatatkan secara resmi,” jelas Fahira.

Senada dengan Fahira, Anggota Komite III DPD RI, Emma Yohana meminta pemerintah serius untuk memperhatikan faktor penyebab terjadinya kekerasan seperti perkembangan teknologi informasi yang membuat berbagai macam informasi mudah diakses oleh masyarakat termasuk anak-anak.

“Pencegahan itu harus konkrit perlu koordinasi kementrian dan berbagai lembaga-lembaga, penyumbang terbesar adalah media dan teknologi, langkah konkrit bagaimana?. Selain itu pendidikan politik bagi perempuan penting untuk pencegahan,” ujar senator asal Sumatera Barat ini.

Lebih lanjut, Daryanti Uteng dari Jambi mengatakan dirinya menemukan sedikitnya 53 kasus kekerasan terjadi di daerah pemilihannya, 30 diantaranya dialami kaum perempuan dan 23 lainnya terjadi pada anak.

“Namun dilematisnya, korban tidak berani melaporkan karena banyak permasalahan keluarganya, bagaimana mengatasi nya pemerintah harus memberikan pemahaman yang te pat untuk masyarakat,” ujarnya.

Sementara Stefanus Liow mempertanyakan angka kekerasaan terhadap perempuan dan anak yang setiap tahunnya justru semakin meningkat. Ia menilai upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak tidak bisa dikerjakan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak semata.

“Angka kekerasan semakin meningkat, bukannya turun. Bagaimana kinerja pemerintah dan pemda. Perlu koordinasi dengan kementrian terkait seperti kemensos, dan lain lain untuk menyelesaikannya, tidak bisa bekerja sendirian,” tegasnya.

Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise menyadari bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak kepada anak harus segera diatasi, secara strategis melalui revisi UU no. 23 tahun 2004 menjadi UU no. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU tersebut yaitu, pemberatan sanksi bagi pelaku dan melibatkan unsur masyarakat, dunia usaha, media, dll.

“Isu perempuan dan anak adalah isu yang kritikal, bukan isu sepele oleh sebab itu Presiden menambah anggaran 1 Trilliun untuk kami. Setiap ada berita kita langsung kroscek, kenapa semakin meningkat, karena masyarakat semakin sadar dan terbuka, jadi meningkat ini karena banyak orang yg mau melapor,”tegas Yohana.

Ia menambahkan, pihaknya membuat tiga program unggulan pada tahun 2016 ini yakni mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, mengakhiri perdagangan manusia dan mengakhiri kesenjangan ekonomi. Dan untuk mewujudkannya, diperlukan sistem yang berbasis masyarakat mulai dari tingkat desa dan melibatkan seluruh unsur masyarakat.

“Pemda perlu lebih mendukung, kita akan buat tim yang anggotanya dari warga masyarakat agar permasalahan ini bisa terselesaikan, kalo tidak bisa selesai baru kita bawa ke hukum. Jaksa dan pengacara serta penegak hukum harus lebih tegas, jangan sampai hukuman di nego, mereka harus punya sertifikat khusus menangani permaaalahn kekerasan perempuan dan anak,” jelasnya.

Yohana menambahkan, faktor penyebab kekerasan salah satunya adalah kemiskinan. Maka, pihaknya akan memfokuskan kepada upaya memberikan program pelatihan usaha bagi perempuan. (Calvin G. Eben-Haezer)

 

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru