JAKARTA- Penghilangan Keterwakilan Perempuan di DPR merupakan bukti menguatnya konservativisme di DPR RI. Ini membuktikan bahwa kelompok-kelompok progresif di DPR RI dikalahkan oleh kubu pro-patriarki, yang mensahkan dominasi laki-laki pada kaum perempuan dan mengabaikan kesetaraan gender. Hal ini disampaikan oleh aktivis perempuan Damairia Pakpahan kepada Bergelora.com dari Yogyakarta, Jumat (18/7).
“Kita sudah tahu bagaimana kubu konservatif yang hanya menggunakan demokrasi prosedural bukan demokrasi yang substantif memenangkan UU Pornografi yang tidak diterima bulat karena Papua, Sulut, Bali, NTT, dan Kabupaten Tapanuli Utara tidak mau menerima keberadaan undag-undang yang bertentangan dengan kebhineka tunggal ikaan,” jelasnya.
Indonesia menurutnya, sekarang ini sedang merancang Undang-undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) yang dipelopori oleh gerakan-gerakan perempuan dan gender.
“Rancangan undang-undang ini selalu diganjal oleh argumen-argumen kuno dan menindas perempuan. Alasannya melawan kodrat dan lain sebagainya. Pokoknya tetap mempertahankan penindasan perempuan,” jelasnya
Penghilangan keterwakilan perempuan di DPR menurut aktifis gerakan perempuan 1980-an, adalah bukti betapa sempitnya wawasan para penolak hak perempuan tersebut. Anggota DPR menurutnya tidak mengerti bahwa adanya Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan atauCommittee on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW) yang sudah diundangkan oleh Indonesia sejak tahun 1984.
Ia juga menjelaskan bahwa sudah ada Beijing Platform for Action yang menjamin adanya kuota 30% untuk keterwakilan perempuan di legislatif atau affirmative action bagi perempuan.
“Jadi kalau itu dihapuskan, ini bukti betapa piciknya pemahaman para pendukung penghapusan tersebut. Dan kita sebagai orang setuju pada demokrasi, setuju pada
hak asasi manusia dan tentu hak asasi perempuan akan menentang penghapusan atau penghilangan keterwakilan perempuan, kita harus memastikan keterwakilan perempuan ada secara tersurat dan tidak membiarkannya hilang,” tegasnya.
Penghapusan ketentuan yang memperhatikan keterwakilan perempuan dalam revisi pasal-pasal pada Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk MD3) yang mengatur tentang pimpinan Alat Kelengkapan (AKD) DPR merupakan sebuah kemunduran dalam mendorong peran anggota legislatif perempuan pada posisi strategis di parlemen.
Padahal pada periode 2014-2019 jumlah anggota DPR perempuan mengalami penurunan. Bukannya membuat kebijakan yang mampu menambal situasi tersebut, DPR justru menghambat kiprah perempuan dalam bidang politik. (Web Warouw)