JAKARTA- Simposium Nasional tentang Tragedi 1965 yang telah memfasilitasi pertemuan keluarga korban dan pelaku yang ditindak lanjuti dengan perintah Presiden Joko Widodo untuk membongkar kuburan-kuburan massal korban pembantaian 1965 adalah membangkitkan optimisme untuk pengungkapan kembali kebenaran yang disenyapkan selama 50 tahun ini. Hal ini disampaikan oleh Reza Muharam dari International People’s Tribunal (IPT) 1965 di Jakarta, Selasa (26/4)
Menurutnya, dunia internasional saat ini menyambut positif perintah Presiden Joko Widodo untuk segara bisa terlaksana agar dapat ditindak lanjuti menuju pengungkapan kebenaran untuk menuju rekonsiliasi nasional yang lebih adil.
“Semua tokoh masyarakat dan media massa di Amerika, Eropa, Jepang memberitakan perintah Presiden secara positif dan menunggu hasil pengungkapan kebenaran. Menurut mereka perintah presiden merupakan langkah besar untuk penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang selama ini ditutup oleh rezim-rezim sebelumnya,” jelasnya.
“Untuk itu menurutnya penggalian kuburan-kuburan massal harus dilakukan secara profesional dan dikawal oleh aparat keamanan dengan tim forensik yang lengkap mengikuti standar prosedur internasional yang berlaku selama ini,” tegasnya.
Menurutnya juga, pendataan, penggalian dan pemakaman kembali korban-korban pembantaian massal 65 ada di ratusan kuburan masal yang tersebar diseluruh pelosok tanah air sebaiknya dilakukan dalam konteks untuk mencari kebenaran dan selayaknya menjadi bagian dari pekerjaan sebuah Komisi Kepresidenan untuk pengungkapan Kebenaran dan Pemulihan hak-hak Korban.
“Kami juga berharap agar presiden secepatnya mengeluarkan Keppres sebagai payung hukumnya. Sehingga aparat dan semua lembaga yang terlibat punya tanggung jawab untuk melindungi dan mengamankan bukti-bukti kuburan massal yang digali,” ujarnya.
Sementara belum ada payung hukumnya pengungkapan adanya kuburan masal bisa dilakukan Menkopolhukam dengan melibatkan otoritas Kejagung dan Komnasham, dengan melibatkan organisasi-organisasi korban dan masyarakat HAM.
“Keluarga korban dan masyarakat luas berhak tahu dimana dan bagaimana mereka dibunuh, dan oleh siapa. Pemerintah juga perlu menfasilitasi pemakaman kembali dari para korban pembantaian masal 1965, agar korban mendapatkan kembali martabat, kehormatan dan kemanusiaannya. IPT 1965 beserta berbagai organisasi korban dan berbagai organisasi pendamping siap berpartisipasi dalam upaya pengungkapan kebenaran ini,” ujarnya.
Menurutnya, data-data tentang keberadaan kuburan masal sudah lama dikenal oleh publik, juga instansi-instansi pemerintah. Komnasham punya datanya, juga Kejaksaan Agung, maupun diarsip arsip TNI. Karena adanya keengganan negara untuk mengungkap Tragedi 1965 hingga saat ini, civil society lah yang telah mengambil inisiatif untuk mengumpulkan data langsung dari lapangan.
Ia menjelaskan bahwa sejak lengsernya Soeharto ditahun 1998 berbagai inisiatif untuk pendataan korban dan situs dan kuburan massal 1965 telah dilakukan oleh berbagai organisasi korban dan LSM pendamping korban. Juga oleh banyak peneliti dan media.
“Kita ingat penggalian kuburan massal yang difilmkan ketika Orde Baru masih berdiri. Juga penggalian kuburan massal di Wonosobo oleh Solidaritas Nusa Banggsa (SNB) dan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) yang difilmkan oleh Offstream berjudul Massgrave. Belakangan kita mengingat pemberitaan tentang inisiatif warga untuk penguburan kembali korban di Jembrana, Bali, dan juga aksi nisanisasi di Plumbon Semarang,” ujarnya.
Jadi jika Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan tidak mengetahui semua itu, ini menunjukkan ketidak pedulian pemerintah selama ini. Pertanyaannya sekarang pemerintah itu betul betul butuh bukti atau hanya berbasa basi? Pemerintah kan sejak lama sudah bisa mendesak pihak kejaksaan untuk menindak lanjuti laporan penyelidikan Komnasham, yang sudah menyebutkan juga praktek-praktek pembantaian masal.
“Walaupun demikian kami tentu menyambut baik instruksi presiden untuk menguak adanya kuburan-kuburan massal tersebut. Dan kami siap untuk berpartisipasi untuk mengawal aksi pengungkapan ini, agar bisa berjalan dengan baik, transparan dan sesuai dengan standar forensik yang diakui secara internasional untuk suatu pengungkapan dan pembuktian hukum,” ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan untuk mencari lokasi kuburan massal korban peristiwa 1965. Kuburan massal itu, kata Luhut, untuk pembuktian sekaligus meluruskan sejarah terkait isu pembantaian pengikut PKI pascatahun 1965 silam.
“Presiden tadi memberitahu, disuruh cari saja kalau ada kuburan massalnya,” ujar Luhut usai bertemu Presiden di Istana, Jakarta, Senin (25/4).
“Sebab selama ini berpuluh-puluh tahun kita selalu dicekoki bahwa ada sekian ratus ribu orang yang mati. Padahal sampai hari ini belum pernah kita temukan satu kuburan massal,” lanjut dia.
Luhut juga meminta lembaga swadaya masyarakat yang terus mendesak pemerintah untuk meminta maaf atas peristiwa 1965 untuk membuka data jika mengetahui ada kuburan massal yang dimaksud.
“Silahkan kapan dia mau tunjukkin. Sampaikan ini dari Menko Polhukam, kapan kami bisa pergi dengan mereka,” ujar Luhut.
International People’s Tribunal (IPT) 1965 adalah sebuah organisasi internasional yang beberapa waktu lalu mengadakan pengadilan rakyat terhadap kasus pelanggaran HAM berat di Den Hag Belanda (Web Warouw)