JAKARTA- Sekelompok peneliti dari Universitas Uppsala, Museum Sejarah Alam Swedia, Universitas Cape Town, Afrika Selatan, dan Universitas Freiburg, Jerman, serta Vrije Universiteit Amsterdam, Belanda, baru-baru ini mengeluarkan klaim temuannya di sejumlah gunung berapi di Indonesia. Klaim itu mereka rilis setelah melakukan analisis kimia pada mineral lava yang keluar dari gunung berapi di Jawa dan Bali.
Berkat analisis itu pula, kini mereka mengaku lebih tahu bagaimana proses terbentuknya lava di wilayah Indonesia. Sebagai catatan, komposisi lava berbeda dengan komposisi magma. Lava adalah magma yang sudah disemburkan ke atas permukaan, sementara magma adalah gumpalan atau cairan panas yang berada di bawah lapisan kerak bumi, atau yang disebut mantel bumi.
Kepada Bergelora.com dilaporkan, Peneliti Utama dalam studi ini, Frances Deegan mengatakan, magma di mantel bumi Indonesia, sebelumnya tidak banyak diketahui. Maka dari itu, temuan yang dipublikasikan lewat jurnal Nature Communications ini, pada masa yang akan datang diharap dapat mempermudah kerja para ilmuwan, saat menyusun model perubahan kimia magma menjadi lava gunung berapi di Indonesia.
Deegan selanjutnya menjelaskan magma yang disemburkan gunung berapi di Indonesia pada dasarnya terbentuk di mantel bumi, yang sebelum meletus tertutup kerak bumi setebal 20 hingga 30 kilometer. Proses perubahan magma menjadi lava dipengaruhi reaksi kimia terutama saat bertemu dengan batuan di sekitar atau ketika menyembur di atas permukaan.
Untuk mengetahui komposisi magma di mantel bumi, ia merasa harus dapat mengambil sampel di bawah lapisan kerak bumi atau yang kemudian disebut sebagai ‘magma primer’. Lantaran hal itu tidak dapat dipenuhi, maka ia lantas menganalsis komposisi kimia pada mineral, yang diambil dari ‘lava segar’ atau yang baru saja dimuntahkan Gunung Merapi dan Kelut di Jawa, serta Gunung Agung dan Batur di Bali.
Dari ‘lava segar’ itu, mereka lantas berusaha mengurai piroksen, atau mineral yang pertama kali mengkristal ketika muncul di permukaan. Berkat kristal itu pula mereka kemudian dapat mengukur rasio isotop oksigen yang mengandung banyak informasi terkait sumber dan evolusi magma menjadi lava.
“Lava terdiri dari sekitar 50 persen oksigen. Lava di kerak dan magma di mantel bumi sangat berbeda komposisi isotop oksigennya. Jadi, untuk melacak berapa banyak materi yang telah diasimilasi magma saat berada di kerak setelah meninggalkan mantel bumi, isotop oksigen ini sangat berguna,” kata Deegan, seperti dilansir dari Sciencedaily, Jumat, (25/6).
Analisis isotop Deegan dan tim, lantas menunjukan bahwa piroksen dari Bali hampir tidak bereaksi sama sekali sepanjang perjalanan dari mantel dan menuju kerak bumi. Hal itu dirasa menjadi pertanda bahwa komposisi lava di atas permukaan sangat mirip dengan komposisi asli ‘magma primer’-nya.
Akan tetapi, temuan itu ternyata berbanding terbalik dengan hasil analisis piroksen yang diambil di Jawa. Rekan Deegan, Valentin Troll menjelaskan, hal ini dapat terjadi karena sebelum meletus interaksi magma Gunung Merapi dengan kerak bumi cenderung lebih intesif.
“Hal ini sangat penting karena ketika magma bereaksi dengan, misalnya, batu kapur yang juga dapat ditemukan di Jawa Tengah; tepat di bawah Gunung Merapi, maka magma menjadi penuh di titik ledakan bersama karbon dioksida dan air, dan letusannya menjadi lebih eksplosif. Mungkin itulah mengapa Merapi lebih berbahaya. Ini sebenarnya salah satu gunung berapi paling mematikan di Indonesia; menewaskan hampir 2.000 orang dalam 100 tahun terakhir, dan letusan terbaru merenggut 400 nyawa,” pungkasnya. (Calvin G. Eben-Haezer)