JAKARTA- Ketua DPD RI Irman Gusman menolak gugatan pihak-pihak terhadap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawas industri jasa keuangan serta pelindung kepentingan konsumen dan masyarakat. Dia mendukung OJK yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di sektor jasa keuangan, serta bertugas melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, dan industri keuangan nonbank (IKNB). Tujuannya, mewujudkan industri jasa keuangan sebagai pilar perekonomian nasional.
“Sudah tepat jika dipisah fungsi dan tugas antara BI dan OJK. BI konsentrasi makroprudensial, OJK konsentrasi mikroprudensial. Masing-masing independen. Fokus. Kalau mereka (pihak-pihak itu) mau evaluasi OJK, silakan. Tapi jangan lewat ‘tangan-tangan siluman’. Kalau makro dan mikro baik, krisis seperti tahun 1998 tak mungkin terulang,” ujarnya sebagai keynote speaker bertema ‘Kebijakan pembangunan daerah (strategi dan tantangan) dalam program pengembangan kepemimpinan berjenjang OJK’ di Jakarta, Senin (10/08/2015). Turut hadir dalam acara itu Rahmat Waluyanto, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK.
Irman Gusman menyinggung Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang mengamanatkan peralihan fungsi dan tugas dari Bank Indonesia (BI) ke OJK terhitung tanggal 31 Desember 2013, yakni fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di sektor jasa keuangan serta tugas melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan. Bahkan, Gubernur BI Agus Dermawan Wintarto Martowardojo dan Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Darmansyah Hadad menandatangani Berita Acara Serah Terima (BAST) itu.
“Sejak tahun 2012 hingga sekarang, kiprah OJK mulai kita rasakan. Karena krisis keuangan tahun 1998, pikiran Pak Habibie (presiden Bacharuddin Jusuf Habibie) masa itu, dia ingin pemisahan pengawasan makroprudensial dan mikroprudensial,” ujar senator asal Sumatera Barat itu.
Oleh karena itu, Irman berharap agar OJK terus saja bekerja untuk mengembangkan sektor jasa keuangan melalui peningkatan kerjasama, koordinasi, dan komunikasi dengan Pemerintah, BI, dan masyarakat.
Dalam kesempatan tersebut, Rahmat Waluyanto menjelaskan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 4 Agustus 2015 yang menolak gugatan Tim Pembela Ekonomi Bangsa (TPEB) yang memperkuat konstitusionalitas kewenangan OJK. Dengan keputusan itu, OJK adalah satu-satunya lembaga independen yang memiliki kewenangan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di sektor jasa keuangan.
“Peran OJK betul-betul konstitusional,” tegasnya.
Dikabulkan MK
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak sebagian gugatan oleh Tim Pembela Ekonomi Bangsa (TPEB) yang meminta pembubaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) karena tidak sesuai dengan undang-undang dalam sidang utama MK di Jakarta, Selasa (4/8).
Adapun permohonan yang dikabulkan adalah penghilangan frasa di Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 21 tahun 2011 tentang OJK yang menyebutkan, OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UU ini.
Gugatan diajukan tahun lalu oleh Tim Pembela Ekonomi Bangsa (TPEB) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapus atau mengganti UU Nomor 21 tahun 2011 tentang OJK, terutama Pasal 1 angka 1, lalu Pasal 5, 6, 7, 37, 55, 64, dan 65. Pasal-pasal tersebut berintikan tentang tugas pengaturan dan pengawasan di sektor keuangan, perbankan.
TPEB menilai pasal-pasal tersebut justru bertentangan dengan ketentuan Pasal 23 D dan pasal 33 D UUD 1945, yang menuliskan fungsi pengaturan dan pengawasan bank merupakan kewenangan Bank Indonesia (BI). Para penggugat juga meminta OJK dibubarkan sebagai otoritas industri jasa keuangan.
Jika tak bisa dibubarkan maka OJK dianjurkan hanya mengatur pengawasan industri keuangan nonbank (IKNB) yang memang belum ada lembaga yang mengatur secara resmi. Sementara untuk pengawasan pasar modal dikembalikan ke Bapepam-LK dan perbankan ke BI. (Enrico N. Abdielli)