JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meluncurkan dokumen Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Hak Atas Pekerjaan yang Layak.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan, SNP ini dibentuk agar warga negara Indonesia tidak sekadar mendapat pekerjaan, tetapi bekerja dengan kelayakan, dan bukan mengalami perbudakan.
“Kalau bekerja (saja), perbudakan itu juga pekerjaan, tetapi tidak layak. Perdagangan manusia, itu juga diberi kerja, tapi eksploitatif,” ucap Atnike dalam pidatonya di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (2/5/2025).
Dia menjelaskan, dokumen SNP bertujuan untuk mendorong kesadaran bahwa pekerjaan yang layak adalah hak yang harus dijamin bagi setiap orang tanpa diskriminasi, tanpa kekerasan, dan tanpa eksploitasi.
“Ini agak mirip dengan konsep decent work itu ya, fair, safety, security, dan seterusnya. Secara internasional, hak atas pekerjaan yang layak sudah diakui di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948,” ujar Atnike.
Menurut Atnike, pekerjaan yang layak adalah pekerjaan yang adil dan bisa mencukupi hidup seseorang secara sejahtera. Selain itu, SNP juga membahas tanggung jawab sektor pendidikan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang lebih baik di masa depan.
“Ada tanggung jawab sektor pendidikan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang lebih baik lagi. Sektor industri dan perdagangan untuk membangun praktik bisnis yang menghormati hak asasi manusia,” imbuh dia.
:“Perbudakan Masih Terjadi Atnike menjelaskan, ke depan, Komnas HAM akan lebih banyak berperan mengawasi pelaksanaan penggunaan SNP tersebut.
“Apakah pemenuhan dan pelindungan HAM sudah dilakukan oleh negara dengan maksimal. Dalam konsep hak asasi, khususnya hak ekonomi, sosial, dan budaya, itu ada yang namanya progressive realization,” ucap Atnike.
“Artinya, negara tentu tidak bisa menghadirkan seketika. Tadi misalnya soal outsourcing. Tapi negara harus punya agenda,” kata dia melanjutkan.
Saatnya Buruh Punya Saham
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan sebelumnya, pengamat dan praktisi hukum Zeth Kobar Warouw, SH mengatakan sudah saatnya ada perubahan relasi antara pekerja dan pemilik modal dari yang eksploitatif menjadi mitra yang setara sehingga pembagian keuntungan perusahaan dapat terjadi secara nyata antara buruh dan pemilik modal.
“Sudah saatnya buruh menerima keuntungan perusahaan dengan memilik saham secara adil. Sehingga buruh tidak hanya hidup dari upah kerja,” ujarnya kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (2/5).
Sebagai pemegang saham menurutnya buruh akan ikut serta dalam rapat umum pemegang saham untuk memberikan masukan terhadap kemajuan perusahaan selain memastikan kesejahteraan para pekerja.
“Bukan hanya keuntungan yang dibagi secara adil antara buruh dan pengusaha, tapi juga semua persoalan akan dicarikan jalan keluar bersama untuk kemajuan perusahaan,” jelasnya.
Bagi pengusaha, pembagian saham ini akan menutupi beban upah yang selalu harus naik menyesuaikan dengan tingkat kebutuhan hidup layak buruh. Sehingga proses produksi tidak lagi terganggu dengan tuntutan kenaikan upah yang selalu harus mengikuti kenaikan biaya hidup berdasarkan kenaikan harga.
Kemitraan semacam ini menurutnya yang sangat dibutuhkan hari ini untuk membangun hilirasi dalam industri nasional dan menjadi basis nyata dan kuat untuk membangun persatuan nasional antara buruh-pengusaha-pemerintah sebagai poros ekonomi nasional.
“Sehingga tidak ada lagi pemogokan dan aksi-aksi yang tidak perlu. Yang dibutuhkam aksi nyata bersama buruh-pengusaha dan pemerintah untuk mencari investasi, mengembangkan usaha dan memasarkan produk secara masif dan luas. Kalau perusahaan untung maka pemgusaha untung, buruh sejahterah dan negara mendapatkan peningkatan pendapatan pajak,” tegasnya.
Zeth Warouw mengingatkan sekaranglah saatnya semua peraturan perundang-undangan kembali diselaraskan untuk kepentingan nasional bersumber pada UUD 45 yang asli. Dengan menyelesaikan persoalan hubungan industrial di atas maka Indonesia pasti bisa menghadapi dinamika global hari ini dan akan datang.
“Dan hanya Presiden Prabowo sebagai kepala pemerintahan yang bisa memastikan bentuk kemitraan dan pembagian keuntungan antara buruh, pengusaha dan pemerintah secara adil,” jelasnya.
Pertemuan antara serikat buruh dan pengusaha yang direncanakan Presiden Prabowo menurutnya adalah kesempatan untuk membangun kemitraan di atas dan jangan sampai sia-sia.
“Semua pihak harus sadar tanpa kemitraan dan persatuan nasional, kita pasti gagal dan tenggelam bersama dalam arus globalisasi,” ujarnya. (Web/Enrico)