JAKARTA – Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla (JK) menyatakan bahwa Indonesia tidak perlu mengikuti langkah China yang membalas tarif impor tambahan dari Presiden AS Donald Trump dengan tarif serupa. Sebab menurut JK posisi Indonesia sangat berbeda dengan China, sehingga respons yang diambil pun sebaiknya berbeda.
JK memberikan contoh, ritel besar di AS didominasi oleh barang buatan China. Oleh karena itu, Indonesia tak bisa memberikan tarif impor balasan kepada AS.
“Saya kira kita bukan posisi seperti China. China lebih banyak pabrik barang jadi. Kalau ada masuk ke Walmart di Amerika, mungkin 90 persen barang yang dijual itu buatan China, barang jadi semua. Kalau kita tidak. Sebagian besar ada barang jadi, seperti sepatu, tapi murah,” ujarnya kepada media di kediamannya Jakarta, Sabtu (5/4/2025).
Alih-alih memberikan pengenaan tarif balasan, JK menilai sebaiknya pemerintah perlu mengklarifikasi perihal barang dari AS yang dijual di RI dikenakan pajak sebesar 64 persen.
“Negosiasi ialah menurunkan tarif itu. Karena dasarnya bahwa dianggap Amerika, kita kenakan dia 64 persen (tarif). (Dari) mana 64 persen itu? Angka apa? Sehingga kena 32 persen. Itu negosiasikan. Mana buktinya bahwa tidak benar itu?” ungkapnya.
“Jadi, kalau kita bisa buktikan bahwa kalau kita hanya kenakan 30 persen, maka hanya kena tarif 15 persen,” sambungnya.
Tak Semengerikan Itu
Jusuf Kalla mengungkapkan pemberlakuan tarif oleh presiden Amerika Serikat Donald Trump tidak semengerikan yang digembar gemborkan.
Dia mengatakan bahwa pemberlakuan tarif Trump tidak berimbas pada pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri manufaktur Indonesia. Pasalnya tarif impor 32% dari Trump kepada Indonesia hanya berdampak sebesar 10% dari harga jual pabrik.
JK memaparkan misalkan harga ekspor sepatu dari Indonesia ke AS senilai US$15-US$20, sedangkan harga jual di AS mencapai US$50-US$70. Maka yang dikenakan tarif adalah harga ekspor US$20. Sehingga total pengenaan tarif sebesar 32% adalah US$6,4.
“Jadi, kalau ini 32%, berarti 6 dolar 40 sen tarifnya. Jadi berapa di sini? Cuma 10% efeknya,” ucap JK.
Dia juga mengatakan bahwa tarif yang berlaku yang menanggung adalah konsumen di AS.
“Siapa yang bayar 10%? Tentu yang bayar pengusaha dan konsumen Amerika,” tutur JK.
JK mengatakan tekanan akan lebih dialami oleh pengusaha AS sebab harus menanggung beban tarif impor tersebut.
“Tentu mereka (pengusaha) tidak mau dagangannya habis. Maka mungkin mereka, pasti mereka akan efisienkan. Pasti mereka mengurangi mungkin iklannya atau apanya pegawainya. Sehingga dia bisa hemat 5% katanya. Pasti itu,” ucap JK.
Lebih lanjut, JK kembali menegaskan bahwa saat ini kenaikan tarif tidak perlu ditakuti berlebihan. Apalagi soal kekhawatiran adanya PHK oleh pabrik di Indonesia.
Sementara itu, dia juga mengatakan ada keuntungan dari pelemahan rupiah terhadap dolar AS.
“Semua langsung orang bicara PHK. Kira-kira yang PHK siapa? Pabrik baju? Cuma kena 10%. Sepatutnya tetap 10%. Kalau rupiah melemah, dia (pengusaha Indonesia) dapat rupiah yang sama,” ucap JK.
Selain itu, menurutnya kondisi tarif tinggi seperti yang baru ditetapkan tidak akan bertahan lama. Dia menjelaskan bahwa Trump memberlakukan tarif baru tersebut untuk mendorong industri dalam negeri.
Akan tetapi biaya membangun pabrik di AS lebih mahal dibandingkan dengan Asia. Belum lagi tenaga kerja yang juga lebih mahal di AS dibandingkan dengan Asia. Hal ini menurutnya bisa menjadi daya tawar.
“Ingin agar pabrik sepatu tetap di Amerika. Di mana buruhnya? Dari mana? Bagaimana mempersiapkan pabrik berapa bulan? Harganya tidak mungkin semurah negara-negara Asia,” ucapnya.
Tarif impor menurut penilaian JK merupakan langkah Trump untuk melakukan negosiasi dagang. Caranya adalah dengan “jual mahal” terlebih dahulu baru kemudian membuka negosiasi.
“Sebenarnya ini pressure untuk negosiasi. Saya mendapatkan beli sesuatu. Kasih dulu harga tinggi, baru berunding. Jadi ini angka-angka pressure,” ucap JK.
Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM) mengusulkan pendekatan timbal balik atau reciprocal tariff sebagai solusi jangka pendek yang lebih adil.
“Kalau mereka kenakan tarif tinggi, kita pun perlu menyesuaikan. Tarif dibalas tarif. Tapi juga jangan lupa opsi lain seperti menurunkan tarif untuk produk AS agar terjadi keseimbangan,” ujar Sekjen GIAMM Rachmat Basuki dalam siaran persnya, Sabtu (5/4/2025).
Tak Punya Dubes di AS
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, sebelumnya, langkah pemerintah Indonesia yang ingin mengirimkan delegasi tingkat tinggi ke Amerika Serikat untuk menegosiasikan tarif timbal balik sebesar 32 persen disorot Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho. Sebab, saat ini Indonesia tidak memiliki Duta Besar (Dubes) yang ditempatkan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Washington DC, Amerika Serikat selama hampir dua tahun.
“Jadi ada kekosongan representatif (Indonesia) di US. Ini yang juga menurut saya sesuatu yang melihat bahwa US itu bukan mitra dagang potensial atau strategis kita. Pemerintah abai dalam hal ini menurut saya,” ujar Andry, Jumat (4/4/2025).
Diketahui, saat ini posisi Dubes Indonesia untuk AS telah kosong selama hampir dua tahun, setelah Rosan Roeslani menyelesaikan tugasnya pada 17 Juli 2023.
Rosan tak lagi menduduki posisi Dubes Indonesia untuk AS karena pada saat itu ditunjuk sebagai Wakil Menteri BUMN oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Kita tidak punya ya Dubes yang kita taruh di Washington, itu udah hampir dua tahun,” ujar Andry.
Padahal beberapa komoditas utama menyumbang surplus perdagangan terbesar bagi Indonesia lewat ekspornya ke AS. Beberapa di antaranya perlengkapan elektrik, pakaian, aksesoris rajutan, dan alas kaki.
“Kita tahu banyak produk yang akan sulit masuk ke pasar US dan produk-produk di antaranya produk industri padat karya,” ujar Andry.
Hal tersebut semakin membuatnya skeptis terkait diplomasi yang ingin dilakukan pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat dalam menegosiasikan tarif timbal balik sebesar 32 persen.
Apalagi pemerintah dinilainya tak memiliki pendirian dalam menanggapi kebijakan tarif impor yang dicetuskan Presiden Donald Trump.
“Jadi memang tidak ada kata yang lebih tepat selain bahwa pemerintah melakukan pengabaian dan juga merasa ini bukan sesuatu yang urgen. Nanti kita bisa melihat paling nyata Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kita akan jatuh ketika pembukaan pasar,” ujar Andry.
“Kenapa? karena investor lagi-lagi kehilangan rasa kepercayaan kepada pemerintah bahwa pemerintah diam saja. Jadi tidak punya standpoint yang diberikan oleh Indonesia kepada pihak US,” sambungnya menegaskan.
Diketahui, pemerintah Indonesia mengirim delegasi tingkat tinggi ke Washington DC, Amerika Serikat, untuk bernegosiasi atas kebijakan tarif impor yang diambil Presiden AS Donald Trump. Hal itu disampaikan melalui siaran pers Kementerian Luar Negeri untuk merespons kebijakan kenaikan tarif impor untuk Indonesia sebesar 32 persen.
“Pemerintah Indonesia akan terus melakukan komunikasi dengan Pemerintah AS dalam berbagai tingkatan, termasuk mengirimkan delegasi tingkat tinggi ke Washington DC untuk melakukan negosiasi langsung dengan Pemerintah AS,” tulis Kemenlu di laman resminya. (Calvin G. Eben-Haezer)