Minggu, 27 April 2025

Sepenggal Pesan di Tengah Hujan Lebat Dari GBK Senayan


Oleh: Dr. Kurtubi *

NEGARA kita punya aset Sumber Daya Alam (SDA) di perut bumi yang sangat beragam dan besar, bernilai ekonomi tinggi. Dibutuhkan dan diincar oleh semua negara sejak Indonesia belum Merdeka.

Mereka ingin menguasainya dengan berbagai cara, termasuk dengan perang, menjajah, menipu, mengadu domba, dan lainnya.

Setelah kita merdeka, aset sumber daya alam (SDA) tersebut diatur langsung dalam Konstitusi Pasal 33 UUD 1945. Aset SDA tersebut harus dikuasai negara dengan status kepemilikan (state ownership) di tangan negara, dikelola untuk sebesar besar kemakmuran rakyat.

Implementasi secara nyata dan kongkrit sudah ada contoh dan sudah terbukti berhasil. yaitu pengelolaan SDA migas yang didadarkan di atas UU MIGAS NO.44/Prp/1960 dan UU PERTAMINA No.8/1971.

Indonesia yang merupakan negara bekas jajahan Belanda menerapkan sistem
kontrak bagi bagi hasil “B to B”,– dalam sejarah berhasil memproduksikan minyak mentah (crude oil) dan gas bumi (migas) dalam jumlah yang besar.

Penerimaan devisa hasil ekspor dan penerimaan negara dalam APBN didominasi oleh sektor migas.

Negara kita menjadi anggota OPEC sekaligus menjadi pengekspor gas bumi yang sudah dikonversi menjadi produk final berupa LNG dan LPG dengan membangun sendiri,–tidak menyuruh atau menyerahkan ke perusahaan atau pihak lain seperti yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Namun kilang LNG dan kilang LPG dibangun sendiri oleh PERTAMINA dengan memanfaatkan posisinya sebagai pemegang kuasa pertambabgan (mining right) yang merupakan intangible asset (aset tidak berwujud) yang keberadaannya diakui oleh lembaga keuangan international.

Sebagai bangsa besar, Persoalan yang kita alami dalam pengelolaan sumber daya alam saat ini adalah,
undang undang yang mengatur sumber daya alam masih belum sesuai dengan konstitusi pasal 33 UUD45.

faktanya pengelolaannya hingga hari ini, belum ditujukan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat.

Sebagian besar hasil pengelolaan SDA migas dan minerba dinikmati oleh penambang sebagai pemegang konsesi dengan memperoleh IUP (Ijin Usaha Pertambangan) atau memperoleh kontrak karya “B to G” antara pemerintah dan investor, ketimbang memakai sistem kontrak bagi hasil (production Sharing Contract) “B to B” antara perusahaan negara pemegang kuasa pertambangan (mining right) dengan investor penambang yang memastikan bahwa perolehan negara dalam APBN harus lebih besar Dari perolehan keuntungan penambang setelah cost recovery.

Apabila harga migas dan SDA di pasar dunia naik secara signifikan sehingga timbul windfall profit di industri migas dan industri minerba, maka Presiden RI yang berdaulat atas SDA nya berhak mengadopsi windfall profit tax dengan menaikkan porsi perolehan negara dari 65% menjadi 85% dan investor memperoleh 15% setelah cost recovery, namun masih tetap lebih tinggi dari sebelum terjadinya fenomena windfall profit. inilah wujud dari penerapsn Konstitusi Pasal 33 UUD45 yang seyogyanya diterapkan oleh Presiden Prabowo Subianto dengan cara yang konstitusional dan rasional mencabut UU Migas No.22/2001 dan mencabut UU Minerba No 4/2005 Dan UU MINERBA No 3/2020.

Kebijakan ini akan memastikan penerimaan negara dalam APBN akan naik dengan sangat Signifikan, tanpa membebani rakyat.

Gelora Bung Karno senayan jakarta, 6 april 2025

—-

*Penulis Dr. Kurtubi, pakar energi.

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru