JAKARTA- Komite III DPD RI yang membidangi perlindungan anak mengapresiasi gerak cepat Kepolisian Daerah Jawa Barat yang berhasil meringkus enam orang pembuat konten video porno yang melibatkan anak dan perempuan dewasa di sekitar Bandung. Dari informasi awal Kepolisian, video tersebut merupakan pesanan warga negara Kanada. Kejadian ini menandakan Indonesia masih menjadi target industri pornografi anak dan jaringan paedofil dunia.
Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris mengungkapkan, kejahatan yang menjadikan anak sebagai obyek seksual kemudian direkam dan diperjualbelikan terutama lewat internet sudah kesekian kali terjadi beberapa tahun belakangan ini. Padahal, kejahatan seksual terhadap anak sudah dikategorikan kejahatan luar biasa. Selain dikenakan pasal berlapis (UU Perlindungan Anak, UU Pornografi, dan UU ITE), ancaman hukumannya tidak main-main minimal 10 tahun sampai seumur hidup. Bahkan jika jatuh korban jiwa bisa hukuman mati. Namun, masih saja ada orang-orang dewasa yang berani melakukan kejahatan keji seperti ini demi keuntungan ekonomi.
Menurut Fahira, dibalik berulangnya kasus video pornografi yang melibatkan anak di Indonesia, ada jaringan besar dari industri pornografi anak dan jaringan paedofil dunia di mana Indonesia masih mereka tempatkan menjadi salah satu sasaran. Untuk itu, Indonesia harus mengirim peringatan keras baik kepada para pelaku kejahatan seksual anak yang ada di dalam negeri dan pelaku paedofil di seluruh dunia bahwa hukum Indonesia tidak main-main menghukum para penjahat ini.
“Kejahatan mereka setara kejamnya dengan pelaku terorisme dan pengedar narkoba. Indonesia tidak boleh lagi menjadi sasaran paedofil dunia. Saya minta, untuk yang di Bandung ini, baik polisi, jaksa, maupun hakim tuntut dan vonis seberat-seberatnya para kriminal ini. Tidak boleh ada ruang bagi paedofil di negeri ini. Untuk kementerian terkait segera turunkan tim untuk merehabilitasi psikologis anak korban kekerasan seksual ini secara maksimal untuk memulihkan trauma, juga untuk mencegah agar mereka tidak menjadi pelaku di kemudian hari.,” tegas Fahira Idris, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (8/1).
Karena kejahatan ini sudah terorganisir dan termasuk kejahatan luar biasa, aparat penegak hukum terutama Kepolisian, lanjut Fahira, juga harus memperlakukan kasus-kasus seperti ini secara luar biasa dengan memformulasikan langkah-langkah sistematis agar mampu membongkar jaringan ini tidak hanya terbatas kepada pelaku tetapi sampai mereka yang menjual dan membeli konten pornografi anak, baik yang ada di Indonesia maupun yang ada di negara lain.
Fahira mencontohkan, keberhasilan Project Spade yang berhasil membongkar kejahatan pornografi anak terbesar di dunia pada 2013 berawal dari penyelidikan terhadap seorang pria di Taronto yang diduga menjalankan perusahaan sejak 2005 untuk mendistribusikan video-video yang berisi pornografi anak. Polisi kemudian melacak data pelanggan perusahaan itu di seluruh dunia dan berhasil membongkar industri pornografi anak dan pelaku paedofil hingga ke Amerika, Australia, Jerman, Rumania dan Ukraina, hingga Georgia. Keberhasilan operasi ini telah menyelamatkan ratusan anak dari para predator.
“Saya berharap Kepolisian Indonesia bisa melakukan terobosan dan melakukan kerjasama dengan interpol agar untuk membongkar industri pornografi anak ini serta mampu menyasar para paedofil dunia yang menjadikan anak-anak Indoenesia sebagai sasarannya,” pungkas Senator Jakarta ini.
Pesanan Asing
Kepada Bergelora.com dilaporkan, Muhamad Faisal Akbar (30), dalang kasus video porno yang melibatkan anak-anak dan perempuan dewasa yang viral di media sosial mampu membayar imbalan semua pihak terkait dalam video.
Mulai dari dua perempuan pemeran bernama Apriliana alias Intan (28) dan Imelda alias Imel (27), tiga anak-anak yang juga sebagai pemeran dan berstatus korban, Susanti (45) orang tua anak bernama Dn (9) dan Herni (40) orang tua anak bernama RD (9) dan dua penghubung bernama Ismi (41) dan Sri Mulyati alias Cici (40).
Total yang harus dibayarkan Faisal untuk para pihak terkait mencapai sekitar Rp 10 juta.
Kepada polisi, Faisal berprofesi sebagai trader bitcoin dan mengaku dibiayai oleh dua warga negara asing untuk memproduksi video porno tersebut.
“Pengakuan saudara Faisal, produksi video porno dipesan oleh dua orang asing, satu berinisial R asal Rusia dan satu lagi berinisial N asal Kanada yang dia kenal di jejaring Facebook. Faisal mendapat uang dari kedua orang asing totalnya Rp 31 juta,” kata Kapolda Jabar Irjen Pol Agung Budi Maryoto di Mapolda Jabar, Jalan Soekarno Hatta Bandung, Senin (8/1).
Dua video yang sudah dibuat itu dikirimkan via pesan instan ke R dan N dalam kurun waktu Agustus.
Faisal sendiri berhubungan keduanya via Telegram yang sempat diblokir Kementerian Komunikasi dan Informatika karena keterlibatannya dengan jaringan terorisme.
“Faisal berperan sebagai sutradara hingga pengarah adegan dalam video tersebut. Dia membayar imbalan semua pihak-pihak yang terkait di video tersebut. Untuk orang asing ini masih kami dalami bahkan pengakuan Faisal, dua orang asing ini sudah meminta lagi video porno,” kata Kapolda.
Kepada sejumlah wartawan, Faisal mengaku sudah memproduksi video sebanyak tiga kali namun satu video belum disebarkan.
“Saya melakukan ini untuk alasan uang saja, saya bekerja sebagai trader bit coin, saya kenal orang asing via media sosial Facebook. Saya dibayar sesuai dengan yang dikatakan pak Kapolda (Rp 31 juta),” kata Faisal. (Web Warouw)