JAKARTA- Kementerian Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menjadikan Permen (Peraturan Menteri) 9/2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat hanya sebatas instrumen untuk mengejar target jumlah sertifikasi bidang dalam program Prona. Padahal seharusnya hak komunal dijadikan instrumen untuk menguatkan nilai-nilai kolektif yang tumbuh dalam masyarakat setempat. Sertifikasi tanah semakin merusak kepemilikan Tanah Adat. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA, Iwan Nurdin kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (25/1).
“Sayangnya dalam implementasi hak komunal, Kementerian ATR/ BPN hanya sekedar sertifikasi secara bersama atas tanah-tanah individu dalam sebuah kelompok masyarakat. Hal ini tentu berbeda jauh dari konsepsi hak komunal atas tanah, bahkan menyalahi hakekat ‘pemilikan bersama’ dengan mendorong sertifikasi individual, yang jauh dari semangat kolektif,” ujarnya.
Pengalaman sertifikasi di Tengger pada bulan Juli 2015 sebagai pelaksanaan Permen hak komunal, telah menunjukan secara nyata bahwa Kementerian ATR/BPN melenceng dari konsepsi ideal dari hak komunal itu sendiri.
“Saat itu, alih-alih mendorong hak komunal wilayah adat Tengger, justru kementerian ini hanya melakukan sertifikasi terhadap 39.959 bidang tanah yang dimiliki oleh individu,” jelasnya.
Dampak lain dalam jangka panjang menurutnya, jika model implementasi Permen 9/2015 ini terus dilakukan, maka secara tidak langsung pemerintah justru melunturkan nilai dan semangat kolektif dan gotong royong dari masyarakat yang telah lama dibangun. Tak hanya itu, kontrol kolektif atas tanah juga semakin hilang, karena dengan sertifikasi secara individual semakin memudahkan adanya pelepasan hak atas tanah maupun konversi lahan secara massif yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar.
“Maka jika demikian arah kebijakan yang akan dijalankan, pemerintah harus segera mencabut Permen tersebut dan menggantinya dengan Permen yang berorientasi menegakan kepemilikan bersama atas tanah dan selaras dengan nilai-nilai yang tumbuh di tengah masyarakat,” tegasnya.
Ia menjelaskan, Peraturan Menteri (Permen) ATR/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan yasyarakat yang berada dalam kawasan tertentu masih menyimpan sejumlah persoalan, terutama terkait aspek hukum dan impelementasi kebijakannya di lapangan.
“Secara hukum, hak komunal tidak dikenal dalam UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) No 5/1960, selain itu terdapat kerancuan antara hak komunal dan hak ulayat dari masyarakat hukum adat dalam Permen tersebut,” jelasnya.
Seharusnya menurutnya, jika Permen hak komunal dijalankan secara ‘lurus’ maka sebenarnya dapat membuka peluang positif bagi serikat/organisasi tani hingga masyarakat adat di banyak daerah untuk mendorong adanya kepemilikan bersama atas tanah.
“Melalui kepemilikan bersama ini, kontrol atas tanah berada di tangan kelompok masyarakat, bukan individu, sehingga masyarakat didorong untuk mengusahakan dan memanfaatkan tanahnya secara kolektif serta menegakkan prinsip-prinsip kolektif di atas tanah mereka sendiri,” ujarnya.
UU Perlintan
KPA juga mengingatkan dalam Catatan Akhir Tahun 2015, Pemerintah belum melaksanakan Undang-undang No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan) paska keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal undang-undang tersebut pemerintah bertanggung jawab untuk menguatkan akses petani atas tanah, hingga memberikan dukungan bagi permodalan, produksi dan pemasaran.
Secara umum, terdapat tujuh kewajiban pokok pemerintah dalam Undang-undang Perlintan antara lain, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan terkait pertanian bagi petani; penyuluhan dan pendampingan berbasis nilai-nilai setempat; pengembangan sistem dan sarana pemasaran yang berpihak pada petani; jaminan luasan lahan pertanian untuk buruh tani dan petani gurem; pembiayaan dan permodalan; peningkatan akses pengetahuan; serta penguatan kelembagaan.
“Berbagai kewajiban yang dimandatkan oleh Undang-undang Perlintan mengharuskan membuka peluang besar untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Tak hanya itu, peluang untuk memperkuat akses petani terhadap tanah juga semakin terbuka lebar. Namun, dua tahun sejak disahkan, implementasi Undang-undang Perlintan masih belum efektif berjalan,” jelasnya
Namun menurut Iwan Nurdin, Pemerintah masih belum memiliki intensi kuat untuk mewujudkan berbagai tujuan dan capaian dari Undang-undang tersebut. Dibutuhkan rencana implementasi Undang-undang Perlintan dari pemerintah pusat maupun daerah agar mampu sinergis dan mencapai tujuan.
“Disisi lain, petani kini memiliki landasan legal-formal untuk mendapatkan akses secara luas terhadap permodalan, pendidikan, pemasaran, produksi hingga kepemilikan tanah. Peluang ini harus mampu dimaksimalkan oleh organisasi atau serikat petani agar hak-hak petani terus didorong untuk terwujud,” jelasnya. (Web Warouw)