Minggu, 19 Mei 2024

Ginjal Istrinya Telah Merubah Jalan Hidupnya (Tulisan Ke 14)

Pak Jimi Pasien cuci darah (Ist)

Oleh: Petrus H. Hariyanto

Bergelora.com menurunkan tulisan berseri tentang perjuangan pasien cuci darah yang ditulis oleh Petrus H. Hariyanto, Sekretaris Jenderal Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). (Redaksi)

JAM di Hp-ku sudah menunjukan angka sembilan, namun Stasiun Lenteng Agung masih dipenuhi penumpang yang menunggu kereta datang.. Kulangkahkan kakiku lebih jauh lagi menyusuri ruang tunggu penumpang stasiun itu. Kalau terlalu dekat dengan pintu masuk, aku kuatir gerbong terakhir kereta  jurusan Tanah Abang tidak tepat berhenti di depan aku menunggu. KRL jurusan Tanah Abang hanya delapan gerbong, apalagi gerbong terakhir hanya untuk penumpang perempuan. Sepanjang aku berjalan, kulihat tak ada kursi itu kosong. Bahkan lebih banyak penumpang yang menunggu dengan berdiri.

Sekitar 75 langkah aku berjalan,  KRL jurusan Tanah Abang tiba. Kulihat penumpangnya berjubel  sampai ke pintu. Kuberanikan diri untuk menaikinya. Aku takut kesiangan sampai di RSCM. Akibatnya, aku mendapat tempat berdempetan dengan pintu kereta. Aku hanya berdiri dengan sokongan tongkat ditangan kanan ku, sementara tangan kiriku kusandarkan di pintu.

Sesampai di stasiun Pasar Minggu, beberapa penumpang turun, membuat aku  bisa bergerak lebih mudah lagi ke dalam. Dengan begitu, aku berharap ada penumpang yang duduk melihat aku dan menawarkan bangkunya. Ternyata tidak ada yang melihat aku, atau mereka pura-pura tidur.

Aku hanya pasrah saja. Aku tak pernah menuntut diberi tempat duduk. Kalau ada yang nawarin ya syukur. Selama aku menggunakan KRL Jabodetabek, lebih banyak berdiri dari pada diberi tempat duduk. Hati mereka apa buta ya, melihat seseorang memakai tongkat dibiarkan berdiri di kereta.

Secara medis serangan stroke-ku di pusat keseimbangan otak tidak bisa disembuhkan. Dia meninggalkan cacat bawaan. Keseimbangan ku terganggu. Kalau berjalan apalagi agak jauh maunya terjatuh. Ditambah telapak kakiku sakit karena tumbuh tulang muda, karena keseimbangan kalsium ku terganggu. Buat berdiri lebih sepuluh menit terasa sakit sekali. Menderita sekali bila naik kereta yang penuh dan tidak dapat tempat duduk. Pernah kesakitan sekali, setiap dua stasiun aku turun  dan mencari tempat duduk untuk mengurangi rasa sakit di telapak kaki ku ini.

Belum lagi, bila kereta mau memasuki Stasiun Manggarai. Biasanya menunggu cukup lama, tidak langsung masuk, menuggu ada sinyal boleh masuk karena kereta padat di stasiun itu. Pada saat  seperti itu  aku sudah tidak kuat berdiri, rasanya ingin duduk di lantai gerbong kereta.

Setibanya di stasiun Manggarai, aku bergegas mencari tempat duduk. Sialnya,  sudah tidak ada kursi yang kosong, terpaksa duduk di tangga. Sudah siap berjalan lagi tiba-tiba kereta di jalur lima datang. Tentu saja, aku tidak bisa menyeberang. Stasiun Manggarai memang paling jadul. Tidak ada jalan lewat bawah atau atas. Setiap penumpang harus menyeberangi rel kereta. Kalau Satpam lalai mengatur pergerakan penumpang, bisa tertabrak kereta. Entah kapan  selesainya jalur bawah tanah untuk pergerakan penumpang. Mungkin sudah satu setengah tahun ini tak jadi-jadi.

Ketika sudah bisa menyebrang di jalur lima, ternyata jalur tiga sudah ditutup kereta yang lain. Bisa menyebrang asal mau menaiki tangga buatan dari besi berwarna oranye. Sungguh  siksaan bagiku, baik naik atau turun rasanya mau terjatuh. Mujur kalau bertemu dengan Satpam, mereka mau membantu dengan memegang tanganku . Dan celakanya,  kalau kereta tiba-tiba berangkat, membuat saya panik untuk segera  menyeberang.

Dengan susah payah aku berhasil berjalan keluar dari stasiun Manggarai. Kini,  berganti mengunakan moda transpotasi bemo. Dia paling murah ongkosnya. Bajaj ongkosnya dua puluh ribu,  Gojek 7 ribu. Sementera bemo 4 ribu saja. Tapi,  resikonya kakiku harus saling beradu dengan penumpang diseberang,  apalagi dengan badanku yang segede ini.

Dan pukul 10.30 pagi aku sudah sampai di RSCM sebuah kunjungan yang sudah terlalu siang. Di rumah sakit itu, banyak pasien sudah datang sejak dini hari. Tepat Pukul 11.00 siang, aku selesai antri di jaminan. Setelah mendapat legalitas dari BPJS, aku segera naik ke lantai dua, untuk mendaftar ke loket penyakit dalam. Setelah di-in-put baru aku datang ke bagian Poli Ginjal Hipertensi. “Nomornya 64 ya Pak,” ucap suster berjilbab itu kepadaku.

Tentu saja nomor bontot. Aku memperkirakan  pukul tiga sore baru dilayani dokter. Kemudian, aku harus mengurus legalisasi resep dulu, sebelum memasukan ke apotik. Dan bisa setelah magrib obat baru kuterima. Bisasnya,  kutinggal dan keesokan harinya baru kuambil. Hal ini menghidari aku pulang terlalu sore, karena menyebabkan tidak berani  pulang naik kereta. Di sore hari, penumpangnya penuh dan  berjubel. Himpitan penumpang lain kepadaku tentu membahayakan double lumen-ku (CDL). Aku takut terjadi ada apa-apa. Kalau naik moda transportasi lain, bisa memakan waktu 3 jam untuk sampai ke Ciganjur, karena jalanan macet sekali. Semakin membuat tubuhku kelelahan. Belum lagi, membuat aku banyak minum air karena kepanasan dan keletihan.

Baru  mau meletakan pantatku ke kursi, tiba-tiba kulihat Pak Jimi. Aku mengurungkan niat untuk duduk. Kupanggil dia. Pak Jimi hanya melambaikan tangannya, tanda dia mau mengurus sesuatu dan akan segera balik lagi.

Benar juga, tak lama kemudian dia menghampiriku. Ternyata dia juga mau ke Poli Ginjal Hipertensi. Ini perjumpaanku kedua dengannya. Yang pertama minggu yang lalu, ketika kita sama-sama mendatangi kantor PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia), di Jalan Salemba. Saat itu, Pengurus Pusat KPCDI bertemu dengan PERNEFRI ingin meminta “fatwa”  apakah penyelengara hemodialisa bisa melakukan reuse pada tabung dialyzer sampai 25 kali. Kami saling mengenal karena dia juga menjadi anggota komunitas pasien cuci darah yang aku bentuk bersama Toni. Kami sudah akrab di dunia maya. Aku juga sudah tahu kalau keberadaannya di Jakarta untuk keperluan transplatansi ginjal, Ia berdomisili di Pontianak. Saat itu aku tidak sempat menanyakan perkembangan pemeriksaan pra transplantasi ginjalnya.

“Halo Pak Jimi. Gimana hasil pemeriksaannya?,” tanyaku sambil ku-ulurankan tanganku.

“Puji Tuhan, tingkat kecocokan saya dengan istri sangat tinggi. Padahal golongan darah kami berbeda. Tinggal satu lagi bagian tubuh saya yang perlu diperiksa. Saya mau menukar pengantar dari RSCM Kencana dengan pengantar BPJS dari dokter KGH RSCM Pusat  agar bisa ST Scan/USG pembuluh darah ginjal,” ungkapnya.

Kadang  dia ke Kencana kadang ke RSCM Pusat, Ketika kutanyakan kepadanya kok harus begitu, dia jawab untuk menghemat anggaran.”Awalnya saya di Kencana. Pemeriksaan pra transplantasi adanya di Kencana. Di sini BPJS tidak berlaku. Sekali konsul harus keluar uang Rp 350 ribu. Apalagi kalau pemeriksaan fungsi organ tubuh saya menggunakan alat canggih, bisa puluhan juta uang aku keluarkan,” keluhnya.

“Lama kelamaan saya diberitahu kalau periksa jantung, paru-paru bisa di RSCM Pusat. Ya begini, kita harus daftar ke Poli Ginjal Hipertensi. Dari sini kita baru dapat rekomendasi untuk periksa USG pembuluh darah di ginjal,” ungkapnya lagi.

Sayang, menurut pak Jimmy pemeriksaan untuk istrinya tidak bisa menggunakan BPJS. “Kami kemarin sempat pulang ke Pontianak untuk urus rujukan buat istriku. Saya kecewa karena tidak bisa digunakan. Baik konsul dan pemeriksaan harus di RSCM Kencana. Puluhan juta harus kami keluarkan,” keluhnya lebih dalam lagi.

Demi program cangkok ginjalnya, Pak Jimmy dan sang istri rela meninggalkan kampung halamannya di Pontianak, Kalimantan Barat. “Saya sudah di Jakarta sejak tanggal 16 Agustus 2016. Saya berdua kos di daerah Kramat Sentiong. Biar murah dan ngirit,” ungkapnya.

Awalnya datang ke Jakarta dia menginap di hotel. Setelah diberitahu bahwa pemeriksaannya memakan waktu berbulan-bulan, akhirnya Pak Jimmy memutuskan mencari kos. “Kami hanya mampu dua hari tinggal di Hotel,” ujarnya dengan tertawa.

Selain bolak-balik periksa ke rumah sakit, hari lainnya tetap disibukan dengan kegiatan cuci darah. Bahkan,  sekarang ini menjelang transplantasi, dia harus cuci darah seminggu tiga kali. Dia melakukannya di Klinik Tidore Roxy.

Sore hari, setelah kami selesai konsul di Poli Ginjal Hipertensi, lantas diajaknya aku ke daerah Jembatan Lima. Tepatnya di Jalan Krindang Raya. Sepangjang jalan itu penuh rumah makan khas asli Kalimantan Barat. “Ini makanan asli Kalimantan. Nasi Campur. Bisa naikan Hemoglobin (Hb),” ujarnya dengan nanda bercanda.

Dan kami semakin larut dalam obrolan. Pak Jimi mengajak juga istrinya. Seakan kami bertiga seperti sahabat yang sudah lama kenal.

“Kami rindu anak-anak kami di kampung. Kami juga meninggalkan bisnis  di kampung. Tak ada kerja tak ada uang. Tapi kami harus tetap melangkah maju. Transplaantasi ini akan merubah nasib kami kelak. Semua demi empat anak kami,” ujar Emerita Lusia istri Pak Jimi.

Begitu tegarnya perempuan asli suku Dayak ini. Dia adalah perempuan ketiga yang kutemui. Perempuan hebat. Perempuan berhati malaikat, yang rela dan iklas  berkorban untuk orang-orang yang dikasihi dan dicintai. Perempuan kelahiran kabupaten Sekadau, empat  puluh tahun yang lalu ini telah menikah dengan Jimmy Halim Wijaya sejak tahun 1998 silam. Anak mereka empat, tiga diantaranya maasih sekolah. Sementara yang sulung  berencana akan kuliah sambil kerja di Sidney, Australia dengan bantuan teman Pak Jimi yang sudah lama berdomisili di sana.

Kami bertiga sama-sama menghabiskan sepiring nasi campur yang porsinya cukup banyak. Bagiku, nasi campur adalah makanan yang baru kutemui. Sedangkan bagi  mereka berdua adalah pelampiasan rindu  akan kampung halamannya.

Mereka berdua bahu membahu untuk tetap bertahan di Jakarta. “Entah sampai kapan proses pemeriksaan ini akan selesai?. Kami berdua akan menjalaninya dengan keiklasan,” ucap Emerita dengan lirih.

Malam semakin larut. Aku memberanikan diri  mengutarakan agar perjumpaan yang begitu hangat dan dekat ini untuk segera disudahi.”Anak-anak ku sendirian di rumah karena ibunya masih di Serang, Propinsi Banten untuk rapat,” ungkapku kepada mereka.

Aku pun diantarnya sampai ke Stasiun Kota. Kami pun  harus berpisah di sini. Aku melanjutkan pulang menuju Stasiun Lenteng Agung, sementara mereka berdua akan menuju ke Sawah Besar untuk menemui temannya. Selama di dalam KRL aku melamun. Membanyangkan mereka berdua begitu gigih berjuang untuk merubah kehidupan. Walau itu harus berbulan-bulan meninggalkan anak-anak mereka di kampung, yang jaraknya cukup jauh dari Jakarta. Mengorbankan harta mereka, dan meninggalkan pekerjaan mereka. Bahkan, sang istri rela melepas satu ginjalnya. Sungguh, hanya karena sebuah keyakinan yang kuat saja ini bisa begini. Kelak, setelah operasi, hidup sang ayah akan berubah, Dan akan merubah kehidupan seluruh keluarga mereka. Berubah menjadi kehidupan yang lebih baik dari sekarang.

Menghadap Ke Meja Operasi

Di medio Desember 2016, dimusim hujan yang tlah tiba, para pasien cuci darah yang tergabung dalam KPCDI, menggelar pertemuan besarnya. Kami menyebutnya kopdar (kopi darat). Pertemuan ini menjadi penyemangat  bagi kami. Di sana, sesama pasien gagal ginjal bisa saling berinteraksi, saling menguatkan, saling berbagi. Sebuah pertemuan yang selalu dinanti.

Dalam acara Kopdar KPCDI di Hotel Jusseni, di daerah Blok S itulah aku bertemu kembali dengan Pak Jimi.  Seperti biasanya, dia mengenakan “pakain kebesarannya”, bercelana pendek ria. Mau acara apapun, bapak empat anak ini setia dengan celana pendeknya.Mengigatkan diriku dengan sosok pengusaha sukses Bob Sadino, walau bertemu dengan presieden dia tetap dengan celana pendek jeans-nya.

 “Katanya pulang ke Pontianak?,” tanyaku.

 “Memang bulan lalu aku pulang ke sana. Tetapi aku harus ke Jakarta lagi karena jadwal operasi transplantasi ginjalku jatuh pada tanggal 11 Januari 2017 ini. Sekalian datang lebih awal agar dapat kumpul-kumpul dengan teman-teman,” jawabnya.

“Wah, selamat ya. Jadwalnya sudah turun. Selangkah lagi cita-citamu untuk memiliki ginjal baru akan teraih. Akut turut bahagia dan senang,” ucapku sambil telapak tangan kanan-nya kugenggam.

Setelah pertemuan ini, beberapa kali kami pergi bersama.  Kami berdua juga sempat menengok Dian Masayu, anggota KPCDI yang dirawat di RSCM karena ada masalah dengan katub jantungnya. Sungguh sedih, beberapa minggu kemudian, tepatnya dua hari setelah menjalani operasi, ibu dua anak yang masih kecil-kecil ini meninggal dunia.

Aku juga sempat dua kali menemani Pak Jimi ketika sudah harus dirawat, menjelang pelaksanaan operasi yang maha penting bagi hidupnya itu. Semula aku berpikir dia akan santai-santai saja menghadapi momen ini. terlihat wajahnya yang selalu ceria. Di dunia maya dia juga aktif sekali, seakan operasi itu tidak ada.

Ternyata itu keliru. Dia mengaku tegang. Rasa stres muncul. Dia takut dalam operasi itu terjadi apa-apa. Sehari sebelum operasi dilangsungkan aku masih bertemu. Katanya, perutnya sakit.

“Dokter bilang itu karena faktor stres,” ujarnya ke aku.

Setelah itu, aku tidak pernah berkomunikasi dengannya. Mungkin hp-nya “disita” istrinya. Apalagi kalau bukan karena istrinya ingin memisahkan Pak Jimi dari gangetnya, Pak Jimi kerapkali melalangbuana di dunia maya. Istrinya ingin dia fokus menghadapi operasi cangkok ginjalnya.

Dua hari paska operasi itu, dia nonggol di facebook dan group wa KPCDI dengan  foto dirinya sedang tiduran mengenakan selimut yang tak utuh menutupi tubuhnya, sementara istrinya disampingnya mengenakan baju operasi. Dia memberi keterangan dalam foto itu kalau operasi berjalan lancar. Aku bahagia membaca kabar itu. Satu lagi teman seperjuanganku, setelah Tony Samosir, berhasil memperoleh ginjal ketiganya. Tak ada yang paling membuat pasien cuci darah berbahagia selain mendapat ginjal baru. Itu adalah kehidupan baru. Bagai mendapat kesempatan kedua untuk  hidup.

Sejenak aku termenung. Seperti banyak pasien cuci darah lainnya memimpikan hal ini terjadi. “Ya Tuhan kapan kesempatan itu mampir kepadaku,” doaku kepadaNya.

Hidup Baru

Sejak operasi yang berhasil itu, aku tak pernah bertemu dengannya. Aku hanya mendapat kabar dia tinggal di Jakarta. Bersama istrinya dia menyewa sebuah apartemen di Kalibata City. Memang dia harus tinggal di ruang yang layak. Bahkan banyak pasien pasca cangkok ginjal tinggal di ruang isolasi. Hanya beberapa  orang yang boleh bertemu  secara langsung dengan pasien cangkok gijal. Semacam ruang isolasi. Tubuh si pasien sedang mengalami penurunan daya tahan tubuh paska operasi ginjal. Temanku Tony, baru enam bulan baru bisa pergi ke luar rumah. Bahkan, dia hanya tinggal dengan perawatnya saja. Ia membatasi pertemuan, bahkan dengan anak dan istrinya sendiri. Sebelumnya dia tinggal bersama anak dan istrinya. Membuatnya  tertular influenza. Membuat sakit batuknya lebih dari sebulan tidak sembuh-sembuh.

Pak Jimi tidak seketat Tony. Dia lebih “berani” dari Tony. Di bulan Maret, atau dua bulan setelah operasinya, pria yang memiliki bobot tubuh lebih dari 80 kilo ini berani menghadiri acara Hari Ginjal Sedunia yang diadakan oleh KPCDI, di Restoran Raja Rasa, Jalan Ampera Jakarta Selatan. Ada 150 lebih orang di sana, dan sebagian besar pasien cuci darah. Tentu saja kuman berterbangan di sana.

“Gimana, sehat?,” tanyaku

“Sehatlah pak,” jawabnya sambil tersenyum.

Dengan dandanan khasnya, bercelana pendek, dia menghadiri acara itu.  Dia hanya sebentar bertemu denganku. Dia langsung menjumpai teman-teman lainnya. Dalam acara makan siang itu, dia “memamerkan keperkasaan”-nya meminum air. Bergelas-gelas es lemon dia tenggak dan masuk ke dalam tubuhnya. Kalau aku, atau teman-teman lainnya, pasti saat itu juga sudah sesak nafas. Atau kalium kami naik karena yang diminum adalah lemon.

Kontras dengan Bu Ely yang sibuk ke sana kemari untuk mengingatkan temannya agar bijak pesta es lemonnya. “ingat, cuci darahnya masih hari Rabu. Masih lama. Nanti sesak nafas lho,” ucapnya dengan senyum khasnya ke teman-teman yang punya kebiasaan minum berlebihan.

Ketika pria Kalimantan berdarah Cina ini ditanya kok sudah berani kumpul-kumpul ?, dia hanya tersenyum.”Tenang pak, aku pakai masker dan alat penyaring di hidung,”  jawabnya sambil membuka masker dan menunjukan alat di hidungnya.

Bahkan, beberapa hari berikutnya aku bertemu lagi di ruang publik, di RSCM. Ia mengikuti seminar yang para pesertanya sebagian besar pasien gagal ginjal. Seminggu kemudian dia menghadiri seminar yang diadakan  oleh Harian Kompas. Tempatnya jauh sekali. Dan, aku sudah tidak bisa menghitung berapa kali bertemu dengannya di udara terbuka.

Saat Pengurus Pusat Rapat di Kantor Pusat di Apartemen Niffaro Park,  sempat kutanya, apakah dia sehat-sehat saja? Pria yang punya hobi makan ini menjawab dengan meminum segelas es the. Satu gelas besar langsung habis.Kami semua melihatnya dengan iri. Membayangkan air dingin yang masuk melewati tenggorokan dalam jumlah yang banyak sekali. Mungkin teman-teman membanyangkan itu tentu nikmat sekali. Tak disadari oleh beberapa teman langsung menelan ludahnya dan tenggorakannya terlihat bergerak. Selama ini sebagian besar dari kami hanya minum seteguk dua teguk.

“Setiap hari aku harus minum air sebanyak tiga liter. Kencingnya juga segitu. Mantap dan puaskan? Tidak seperti kalian harus kehausan seharian atau sesak nafas bila minum banyak. Ayo kapan kalian transplan? Rencanakan dong! Biar hidup kita berkualitas,” ucapnya menasehati teman-temannya.

“Kamu sehat-sehat saja khan,” tanya Tony karena kuatir Pak Jimi sering keluar rumah.

 ”Wah, saya sehat-sehat saja. Hasil periksa lab-nya sangat bagus. Kreatinin 1,2, ureum 30, asam urat 3. Hb-ku kini di angka 16. Setiap hari aku mampu jalan sehat mengintari apartemenku, dan tidak terasa lelah lagi.  Pukul delapan malam aku sudah ngantuk dan tidur lebih awal, Penyakit susah tidurku hilang dengan sendirinya. Kulitku juga sudah tidak kering lagi,” jawab pak Jimi dengan lancarnya.

Kalau melihat penjelasan Pak Jimi, secara medis dia sudah seperti orang normal. Tinggal berdisiplin minum obat dan menjalankan pantangan. Sudah tidak perlu cuci darah lagi, tidak merasakan drop lagi. Sudah bisa makan buah dan minum sebanyak yang ia mau. Fisik sudah fit, tidak seperti kami yang setiap hari sakitnya bergantian. Mau naik tangga aja tak mampu, karena nafas pendek-pendek dan tulang di kaki sudah mulai protes kalau diajak bekerja keras.

Dan itu adalah mimpi kami para penderita gagal ginja untuk sembuh seperti Pak Jimi dan Tony Samosir.

Kembali ke Kampung Halaman

Pertengahan Mei, Pak Jimi pulang ke Pontianak. Sebelum dia berangkat pulang,  aku sempat dua kali mampir ke apartemennya. Kini dia sudah lebih berhemat lagi karena tinggal di Pontianak. Tidak perlu bayar sewa apartemen yang harganya lebih dari 4 juta sebulannya. Atau pengeluaran untuk  makanan yang begitu tinggi sekali  di Jakarta.

Katanya, dia cukup terbang ke Jakarta untuk periksa dan ambil obat sebulan sekali. Harga pesawat tentu lebih murah dari harga sewa apartemen.  Di Pontianak, dia bisa dekat dengan istri dan anaknya. Mungkin dia sudah memulai bisnis lamanya. Hidup seperti dulu kala dengan tingkat kebugaran tubuh yang prima.

Kini Pak Jimi aktif menjawab setiap pertanyaan anggota KPCDI yang akan menjalankan program transplantasi. Dia dengan detail memberi gambaran bagaimana proses pra, saat operasi, dan paska. Dia menjadi pengurus pusat yang paling aktif di group tele milik KPCDI. Kini, KPCDI mempunyai dua pengurus yang tubuhnya sehat. Bahkan di Yogyakarta ada Tika yang menjadi pengurus KPCDI di sana.

Semoga banyak anggota KPCDI yang melakukan program cangkok ginjal. Biar semakin banyak orang sehat mengabdi di komunitas ini.

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru