Oleh : Ubaidillah Achmad*
Refleksi ini, adalah bentuk upaya menginterpretasikan refleksi rasa rindu penulis kepada Gus Dur. Refleksi ini sekaligus menyambut haul Gus Dur yang diharapkan dari para Gusdurian untuk mengingatkan bangsa Indonesia tentang arti penting keberagamaan, keragaman, dan kebangsaan. Tema yang diusung bersamaan dengan kehadiran Gus Dur ini, akan sangat diperlukan sepanjang kelangsungan kutub bumi ini.
Â
Mengapa tema yang diusung oleh Gus Dur bersamaan dengan kehadirannya berlangsung lama dan mengisi sejarah pemikiran Islam hingga sekarang? Karena tema yang diusung oleh Gus Dur sangat mendasar dan berisi falsafah kehidupan, kearifan, spiritualitas. Adanya nilai filosofis yang mendasari pandangan dan gerakan Gus Dur inilah yang dapat memberikan kenangan kepada siapa saja yang mau membacanya, berupa: horizon keberagamaan yang ramah, keragaman yang indah, dan kebangsaan yang kuat kepada umat beragama dan warga negara Indonesia.
Secara aplikatif, kenangan horizon Gus Dur ini, banyak menjawab persoalan atau konflik individu dan masyarakat. Gus Dur lebih cepat dari para pemimpin pemerintah, yaitu dalam konteks menjawab kekhawatiran banyak pihak terkait dengan persoalan yang mengarah pada desintegrasi bangsa. Desintegrasi bangsa ini bisa terjadi, jika fundasi kebinikaan tercerabut dari akar kebangsaan dan keragaman masyarakat Indonesia. Adanya prinsip kebinikaan inilah yang di antaranya telah menjadi kekhasan Gus Dur.
Sehubungan dengan prinsip Gus Dur tersebut akan berdampak positif dan arti penting terhadap kelangsungan kebinikaan bangsa Indonesia. Dalam perspektif berdemokrasi, konflik kewarganegaraan seputar persoalan keberagamaan, keragaman, dan kebangsaa merupakan sebuah fenomena yang wajar terjadi.
Namun demikian, jika setiap konflik tidak ada resolusi dengan baik, maka akan membuka peluang masuknya kepentingan tertentu yang merusak sistem pemerintahan dan memperbesar konflik warganegara. Yang diuntungkan dari konflik ini, adalah kepentingan kehendak kuasa dan sistem kapitalisme dunia. Dalam konteks resolusi konflik, Gus Dur telah memberikan model resolusi yang baik untuk menjawab persoalan relasi agama dan negara, relasi kerukunan intern umat Islam, antar umat beragama, kerukunan antar sesama warga negara, baik dari pengikut agama yang terdaftar maupun agama tradisi leluhur warganegara yang belum terdafatar sebagai agama yang diakui negara.
Sebelum kehadiran kiprah Gus Dur di tengah konflik keberagamaan, keragaman, dan kebangsaan, para pemimpin dan yang dipimpin terus mengalami konflik. Sikap penolakan rakyat terhadap keputusan pemerintah dalam perspektif penguasa selalu diangap sebagai bentuk makar. Sebaliknya, dalam siatem kekuasaan, banyak sikap kehendak kuasa yang hanya mengambil keuntungan pribadi dengan atas nama pemerintah dan kemajuan bangsa.
Sehubungan dengan lemahnya perspektif berdemokrasi yang baik, antara penguasa dan yang dikuasai, maka sistem demokrasi di Indonesia menjadi lemah dan tidak berfungsi. Semua sistem pemerintahan Orde Baru mengacu pada keputusan satu orang.
Tentu saja, secara teoritis bangsa ini mengikuti asas trias politika, namun dalam prakteknya yang terjadi, telah mengikuti asas “asal bapak suka”. Fenomena ini, tidak terlepas dari kerja Orde Baru yang selama ini, telah gagal menciptakan demokratisasi di tengah keberagamaan, keragaman, dan kebabgsaan. Selain itu, Orde Baru masih menyisakan konflik yang belum terjawab dan masih mesterius penyebab dari konflik ini.
Cakrawala Gus Dur
Teks kajian ini, bernama Gus Dur, yaitu sosok yang memiliki kecerdasan sejak masih kecil, namun mulai terbaca dalam sejarah bangsa Indonesia, sejak setelah berkiprah di PBNU. Kiprah Gus Dur di PBNU dimulai sejak muktamar ke 26 di Semarang, tahun 1979. Dalam muktamar ini, Gus Dur diangkat menjadi wakil katib tanfidziyah PBNU.
Sejak menjadi wakil Katib PBNU, Gus Dur mengajar Islamologi di Yayasan Kristen GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan) yang berlokasi di Sukun Kota Malang. Selama mengajar Islamologi, publik mulai memahami sosok Gus Dur yang memiliki kekhasan pandangan, bahwa semua agama sama dan menekankan arti penting toleransi budaya bagi warganegara.
Selama berkiprah di NU, masyarakat NU banyak yang mencintai Gus Dur, karena dua hal: pertama, karena komitmen dan tanggung jawab terhadap amanah serta benar benar menjadi jembatan NU untuk tetap konsisten menjaga tradisi kenabian, kewalian dan para Ulama pendiri NU. Kedua, karena pemikirannya yang cerdas dan kritis yang kuat secara normatif, namun juga memiliki fundasi bangunan pemikiran historis yang kokoh dan kuat. Ketiga, karena cucu hadratusyeikh KH. Hasyim Asy’ari dan putra sulung dari KH. Wahid Hasyim.
Alasan yang ketiga ini, tidak akan penulis bahas dalam tulisan ini, karena sudah banyak buku tentang jalur kenasaban Gus Dur yang selama hidupnya dikenal sering berkunjung ke Makam Kiai Cebolek atau Syekh Ahmad Al Mutamakkin. Alasan pertama, juga sudah banyak yang mengupasnya dengan rinci dan spesifik.
Sedangkan, alasan yang kedua, dapat dibaca dari langkah langkah melakukan resolusi konflik dan tema pemikiran Gus Dur menjawab persoalan Islam, NU, dan budaya, politik nasional dan Internasional. Sehubungan dengan menjawab persoalan ini, Gus Dur lebih menekankan arti penting pendekatan yang didasarkan pada:
Pertama, prinsip mendasar atau makna dasar dari setiap teks atau fenomena (filosofis) sebelum dikaitkan dengan pandangan atau aliran pemikiran, Kedua, prinsip agama atau tradisi kebenaran yang diperjuangkan oleh para Nabi. Ketiga, prinsip mengelola kepentingan yang berbeda, sehingga meminimalisir konflik dan menghapus hukum rimba. keempat, prinsip mengelola kepentingan sesuai dengan
latar belakang kondisi sosial dan budaya masyarakat. Kelima, prinsip memberikan dampingan sesuai dengan kondisi psikis untuk tujuan membentuk keutamaan hidup dan kebaikan, baik secara vertikal dan horizontal.
Konsep Berfikir Gus Dur
Konsep berfikir Gus Dur seperti di atas, tentu saja membuat terkejut masyarakat santri, karena di lingkungan masyarakat santri masih menggunakan normatifitas pendekatan ilmu fiqih. Sementara pendekatan yang digunakan oleh Gus Dur, adalah dengan menggunakan pendekatan kajian historis terhadap kemunculan ilmu fiqh, yaitu dengan pendekatan hikmah at tasyri’ dan maqoshid at tasyri’.
Dengan menggunakan pendekatan historis, Gus Dur selalu berpedoman adanya kesamaan hak kemuliaan seluruh anak cucu Adam. Artinya, keberadaan manusia dalam posisi yang setara. Manusia memiliki martabat dan kebutuhan asasi yang sama. Karena alasan ini, Gus Dur diterima semua pihak, baik pihak umat Islam dan non muslim. Prinsip ini, telah menjadi pedoman Gus Dur memandang agama dan budaya.
Namun demikian, sikap Gus Dur ini bukan berarti tanpa konflik, justru tidak sedikit konflik yang mempersoalkan pandangan Gus Dur, yang terjadi di lingkungan Ulama NU. Karena kecerdasan dan trah Gus Dur sebagai cucu KH. Hasyim Asy’ari, maka semua konflik berakhir dengan Islah yang semakin menguatkan pandangan dan gerakan pemikiran Gus Dur.
Adapun adanya beberapa ciri model pemikiran Gus Dur yang sering menyebabkan terjadi konflik dengan Ulama NU, karena adanya prinsip para Kiai berhenti atau bertumpu pada masalah tauhid dan fiqih secara hitam putih (normatif). Sementara Gus Dur, dalam konteks tertentu, telah menggunakan pendekatan kesejarahan terhadap objek hukum. Prinsip ketuhanan (ketauhidan) pun, Gus Dur lebih menekankan arti penting menjaga relasi suci kosmologi, antara Tuhan, Manusia, dan kesemestaan.
Dengan kata lain, mayoritas Ulama menyamakan antara hukum yang cabang dan hukum yang asal. Kedua tema kajian ini dipahami secara normatif, yang memang sangat formalistik, sehingga membentuk sikap atau pandangan agama yang hitam pitih.
Sementara itu, Gus Dur ingin mengambil sari atau inti kajian ketuhanan (katauhidan) dan inti kajian ilmu fiqh. Kedua inti kajian ini menjadi prinsip Gus Dur sebelum masuk pada interpretasi para penafsir agama yang serat dengan latar belakang kesejarahannya masing masing. Tentu hal ini tidak mudah dilakukan bagi yang lain. Karenanya, bagi yang sudah mampu menerapkan model kajian ini bisa melakukannya sendiri, namun bagi yang belum mampu dapat membaca melalui pandangan dan konsep pemikiran Gus Dur yang sudah beredar luas di kalangan masyarakat Indonesia. Paradigma pemikiran Gus Dur ini, juga dapat menjadi bangunan pemikiran Islam Nusantara.
Gus Dur mengakui ada yang menjadi prinsip keyakinan dan ada yang bisa diintegrasikan dari sekian pemikiran para Ulama dan kearifan lokal. Kesemuanya ini akan kembali pada pilihan setiap individu, yang harus diingat, adalah bagaimana dengan keyakinan masing masing pengikut agama dapat menciptakan suasana hidup yang harmonis dan tetap menjaga kebinikaan. Sebagaimana pengakuan yang sering diungkapkan Gus Dur, diskursus sosial keagamaan tidak akan merubah keyakinannya pada konsep tujuan utama hidup (al ghayyah) dan konsep media untuk mencapai tujuan utama (al wasa-il).
Karenanya, jika tujuan utama berharap mensapatkan ridlau Allah dan mengikuti Akhlak Nabi, maka media yang dilakukan umat Nabi Muhammad juga harus sesuai dengan akhlak Nabi, yaitu bertauhid kepada Allah, menyempurnakan tatanan etika (akhlak), dan memaafkan, dan menciptakan keragaman pada koredor kemanusiaan, keadilan, dan persamaan. Jadi, agama Islam dalam keyakinan Gus Dur merupakan agama yang dapat berkembang secara historis. Artinya, ajaran agama yang memiliki prinsip nilai ketauhidan dan akan berintergrasi dengan keutamaan dan kebaikan hidup.
Selain itu, dalam keyakinan Gus Dur, Islam juga merupakan agama yang secara tegas dapat bersama sama dengan yang lain untuk memperjuangkan kemanusiaan, keadilan dan persamaan antar umat manusia. Dalam konteks perjuangan untuk tujuan universal, Islam menerima prinsip historis yang membuka lebar untuk didialogkan, bahkan sah untuk diperdebatkan kembali.
Karenanya, dalam pengakuan penegasan Nabi Muhammad, yang menggunakan Istilah “li-utammima makarimal akhlak”, bermakna konteks kehadirannya yang bertujuan untuk menyempurbakan akhlak. Kata menyempurnakan bermakna pengakuan Nabi terhadap keutamaan dan kebaikan etika yang lain sebelum Nabi Muhammad. Dengan demikian, kehadiran Nabi bertujuan untuk menyempurnakan yang sudah baik. Sedangkan, yang model akhlak yang belum baik, bisa menjadi kawasan perbaikan, pembebasan dan pencerahan.
Versus Islam Formalis
Kisah Gus Dur versus Islam Formalis ini terjadi, tepatnya pasca reformasi bangsa Indonesia. Zaman Orde Baru, Islam Formalis masih terlihat dari para Ulama NU. Pasca Orde Baru, pandangan Islam formalis ini membentuk wajah baru yang lebih radikal dibandingkan formalisme beberapa Ulama NU. Pandangan baru yang lebih radikal ini lebih menunjukkan sikap formalis plus komunalis. Gelombang arus formalis plus komunalis ini, terjadi sejak tahun 2002.
Sejak tahun 2002 ini, telah bermunculan aliran radikal kanan berhadapan dengan aliran radikal kiri. Di antara kedua aliran ini, masih berdiri tegak aliran aswaja yang diusung oleh Nahdlatul Ulama. Di antara aliran ini, yang keras memberikan pandangan negatif kepada Gus Dur, adalah Radikal Kanan. Aliran radikal kanan ini selalu mengulang ulang membid’ahkan dan mengkafirkan komunitas NU dan mengatakan, bahwa Gus Dur sesat, Anggapan ini didaarkan pada adanya pilihan pendekatan Gus Dur terhadap pendekatan historis. Mereka yang anti Gus Dur, juga beranggapan kurang tepat, yang seolah olah Gus Dur, telah mengabaikan pendekatan normatif.
Karena sasaran kritik radikal kanan yang selalu bersamaan pada saat mengkritik NU dan Gus Dur, maka mereka ini menganggap NU dan Gus Dur seperti dua sisi mata uang saling terkait. Selain itu, keberadaan Gus Dur sendiri sudah menjadi potensi kekuatan Nahdlatul Ulama. Misalnya, keberhasilannya mempersiapkan khittah 1926 yang berberhasil diputuskan di Muktamar Situbondo Th. 1984.
Sesuai dengan pendekatan historis Gus Dur di atas, maka lahir Khittah NU 1926 berisi: pertama, membangun integrasi nilai nilai keagamaan dan kebangsaan, Sesuai dengan maqasyid as syariyyah. Kedua, NU kembali pada civil society, sehingga tidak dimanfaatkan oleh kepentingan sesaat, kehendak kuasa sistem kekuasaan, dan sistem permodalan. Dengan demikian, NU akan jalan lurus sesuai dengan tradisi kenabian, tradisi kewalian, dan tradisi para pendiri NU. Misalnya, membebaskan dan mencerahkan masyarakat tanpa kepentingan. Ketiga, menjadikan akidah Ahlusunnah wal jama’ah (annahdliyah) sebagai landasan keagamaan. Keempat, menjadikan pancasila sebagai asas perjuangan negara. Kelima, pengembangan sosial, meliputi: budaya, politik kebangsaan, pendidikan, dan ekonomi.
Sehubungan dengan relasi Pancasila dan Aswaja tersebut, telah menjadi konflil yang dahsyat antara Gus Dur dan para Kiai. Beberapa Kiai menolak prakarsa pandangan Gus Dur tentang isi khittah tersebut, karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Ide penolakan beberapa Kiai ini, yang juga dijadikan dasar Islam formalis dari kelompok radikal kanan. Setelah reformasi, kelompok radikal kanan ini, sekarang tumbuh subur seperti rerumputan di musim penghujan.
Tentu saja, konsep khittah perspektif Gus Dur yang didukung mayoritas Kiai di NU bukan tanpa alasan. Pandangan cerdas Gus Dur ini telah dikuatkan KH. Ahmad Siddiq. Dalam pandangan KH. A. Siddiq, perspektif konsep Gus Dur perlunya mencantumkan pancasila sebagai asas perjuangan negara ini, memiliki dasar yang kuat. Bersamaan dengan pandangan KH. A. Siddiq, beliau telah mengeluarkan buku Khittad 26 dengan rumusan konsep NU tentang Aqidah dan Muamalah relasinya dengan sistem berbangsa dan bernegara.
Selain itu, kelompok Islam Formalis, baik dari kalangan Kiai NU sendiri dan dari kelompok Islam radikal kanan, tidak dapat menolak lebih keras terhadap Gus Dur, karena konsep ini juga sudah sesuai dengan pendekatan legal formal yang merujuk pada konsep piagam madinah yang pernah dibangun oleh Nabi Muhammad. Di dalam piagam madinah sendiri menunjukkan, bahwa sistem kebangsaan seharusnya diputuskan berdasarkan kesepakatan bersama masyarakat yang terlibat dalam sistem kebangsaan. Dalam piagam madinah yang lebih ditekankan, adalah kemanusiaan, keadilan, dan persamaan yang berlaku secara universal.
Jadi, kiprah Gus Dur yang sangat berharga, adalah model pendekatan historis dalam gerakan keberagamaan. Hal ini termaktub dalam pendekatan hikmah terbentuknya sebuah keputusan hukum (hikmah at tasyri’) dan maqoshid at tasyri’ (tujuan terbentuknya sebuah hukum). Kedua pendekatan ini secara legal formal sudah berlangsung sejak risalah Nabi Muhammad dan Ulama Madzhab.
Karenanya, jika ada beberapa kelompok formalis, yang mengatakan, bahwa pandangan Gus Dur didasarkan pada pendekatan hikmah at tasyri’ dan maqoshid at tasyri’. Dan, jika ada yang menganggap kedua pendekatan ini tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka dapat dikatagorikan sebagai anggapan yang gagal paham terhadap prinsip risalah kenabian.
Bukankah pendekatan hikmah at tasyri’ dan maqoshid at tasyri’, merupakan salah satu media yang dapat digunakan untuk mencapai Ridlau Allah dan konsisten menggunakan cara berfikir yang berorentasi pada pemahaman yang mendalam (fiqh).
Dengan demikian, tidak sulit untuk memahami ajaran Islam yang bersumber dari risalah kenabian, kisah kewalian, dan prinsip salaf as shalikhin. Pertanyaannya, maukah kita melakukannya? Mudah dijawab, namun sulit bukan untuk dilakukan? Mulailah!!!
Â
*Penulis menulis Suluk Kiai Cebolek dan Islam Geger Kendeng, Khadim Majlis Kongkow As Syuffah Sidorejo Pamotan Rembang
Â