Rabu, 11 Desember 2024

Pendeta Jan Aritonang: Orang Kristiani Bukan Kafir!

JAKARTA- Guru  Besar  Sekolah  Tinggi  Teologi  Jakarta (STT) Jakarta, Pendeta Prof.  Jan  S.  Aritonang,  Ph.D. menegaskan bahwa orang beragama Kristiani bukanlah orang kafir melainkan orang yang sudah beriman. Hal ini ditegaskannya dalam suratnya kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) menanggapi Fatwa MUI yang menyatakan haram penggunaan atribut natal karena kafir.

“Karena itu, bila Komisi Fatwa MUI, sehubungan dengan atribut keagamaan non-muslim, menyebut umat Kristen sebagai kafir, perlulah Komisi Fatwa MUI memberi penjelasan dan mengemukakan argumen yang kuat. Saya bersedia diundang untuk mendiskusikan hal  ini  dalam  suasana  persahabatan  dan  persaudaraan,” tegasnya dalam surat tersebut yang diterima Bergelora.com di Jakarta, Minggu (19/12).

Jan  S.  Aritonang juga mengingatkan agar MUI tidak menerbitkan fatwa yang menambah panas suasana di Indonesia.

“Dengan itu pula saya mengimbau Komisi Fatwa MUI agar tidak menerbitkan fatwa yang bisa ikut menambah panas suasana dan suhu kehidupan di negeri kita ini, sebaliknya menyampaikan fatwa ataupun pendapat yang mendatangkan kesejukan. Izinkanlah umat Kristen di Indonesia merayakan hari Natal (kelahiran) Yesus Kristus, yang kami yakini sebagai  Tuhan  dan  Juruselamat  dunia,  dalam  suasana  tenteram  dan  sejahtera,” ujarnya.

Selengkapnya isi surat dimaksud sebagai berikut:

Yang  terhormat:

Komisi  Fatwa  Majelis  Ulama  Indonesia  (MUI)

Jalan  Proklamasi  51,

Jakarta  Pusat  10320.

Salam  sejahtera  dan  dengan  hormat,

Sehubungan dengan terbitnya Fatwa MUI nomor 56 Tahun 2016 tertanggal 14 Desember 2016, tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Non-Muslim, perkenankanlah  saya  menyampaikan  beberapa  catatan  dan  pertanyaan  berikut:

  1. Di dalam judul dan butir-butir keputusan fatwa tersebut tidak secara eksplisit dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah Non-Muslim adalah umat atau pemeluk agama Kristen (=Nasrani). Namun dari latar belakang dan konteks terbitnya fatwa ini dapat dipahami bahwa  yang  dimaksud  dengan  istilah  itu  adalah  umat  Kristen.
  2. Di dalam fatwa tersebut tidak secara rinci disebut apa-apa saja yang dimaksud dengan atribut ataupun simbol keagamaan non-muslim yang dinyatakan haram, kendati pada Keputusan, butir Ketentuan Umum, dinyatakan bahwa “dalam Fatwa ini yang dimaksud dengan atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah,  maupun  tradisi  dari  agama  tertentu.”
  3. Kendati tidak disebut secara rinci, namun dapat diduga bahwa yang dimaksud adalah pernik-pernik hiasan yang digunakan banyak orang untuk merayakan Hari Natal, misalnya: pohon terang dengan berbagai hiasannya, bintang, lonceng, topi sinterklas, topi bertanduk rusa,  kereta  salju,  lilin,  dsb.
  4. Sampai sekarang gereja Kristen (yang terdiri dari berbagai aliran dan organisasi) belum pernah membuat konsensus tentang atribut-atribut, simbol-simbol, atau hiasan-hiasan itu. Bahkan ada juga gereja yang tidak merayakan hari Natal dan tidak menggunakan simbol salib. Atribut-atribut, simbol-simbol, atau hiasan-hiasan itu muncul dari tradisi sebagian gereja, terutama yang di Barat (Eropa dan Amerika), yang kemudian disebar ke seluruh penjuru dunia,  termasuk  Indonesia.
  5. Produksi, penyebaran, dan perdagangan benda-benda itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan iman Kristen, termasuk iman kepada Yesus Kristus, yang diimani umat Kristen sebagai Tuhan Allah yang menjelma menjadi manusia, serta sebagai Tuhan dan Juruselamat dunia. Penyebaran, produksi, dan perdagangan benda-benda itu lebih dimotivasi oleh hasrat untuk mendapat keuntungan material; itulah sebabnya orang-orang yang terlibat di dalam aktivitas itu berasal dari berbagai penganut agama. Bahkan boleh jadi orang yang tak beragama pun ikut memproduksi dan memperdagangkannya. Karena itu saya tidak mempersoalkan atau berkeberatan kalau Komisi Fatwa MUI menyatakan bahwa menggunakan, memproduksi, menyebarkan, dan memperdagangkan benda-benda atau  atribut-itu  adalah  haram.
  6. Di dalam fatwa itu, pada bagian konsiderans (Mengingat dan Memperhatikan), berulang kali dikutip ayat Kitab Suci Al Qur’an, Hadits Nabi Muhammad/Rasulullah SAW, dan pendapat sejumlah tokoh Islam, yang pada pokoknya menyatakan bahwa orang-orang non-muslim itu adalah kafir. Perkenankan saya bertanya: apa/siapa yang dimaksud oleh Komisi Fatwa MUI dengan kafir? Apakah semua orang non-muslim adalah kafir, termasuk umat Kristen? Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memang dikatakan bahwa kafir adalah “orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya”. Bila inilah pengertiannya  maka  lebih  dari  5  milyar  penduduk  dunia  adalah  kafir.
  7. Sepengetahuan saya, Nabi Muhammad SAW bergaul dengan akrab dan bersahabat dengan banyak orang Kristen (Nasrani) dan tidak pernah menyebut mereka kafir. Di dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang dikutip pada konsiderans Fatwa MUI ini pun tidak ada hadits  Nabi  yang  menyebut  orang  Kristen  sebagai  kafir.
  8. Karena itu, bila Komisi Fatwa MUI, sehubungan dengan atribut keagamaan non-muslim, menyebut umat Kristen sebagai kafir, perlulah Komisi Fatwa MUI memberi penjelasan dan mengemukakan argumen yang kuat. Saya bersedia diundang untuk mendiskusikan hal ini dalam  suasana  persahabatan  dan  persaudaraan.
  9. Dengan itu pula saya mengimbau Komisi Fatwa MUI agar tidak menerbitkan fatwa yang bisa ikut menambah panas suasana dan suhu kehidupan di negeri kita ini, sebaliknya menyampaikan fatwa ataupun pendapat yang mendatangkan kesejukan. Izinkanlah umat Kristen di Indonesia merayakan hari Natal (kelahiran) Yesus Kristus, yang kami yakini sebagai Tuhan dan  Juruselamat  dunia,  dalam  suasana  tenteram  dan  sejahtera.

Salam  hormat  teriring  doa,

Pdt.  Prof.  Jan  S.  Aritonang,  Ph.D. Guru  Besar  Sekolah  Tinggi  Teologi  Jakarta

Jalan  Proklamasi  27  Jakarta  Pusat  10320 e-mail:  jansaritonang@gmail.com

cc:

  1. Persekutuan Gereja-gereja di  Indonesia  (PGI)
  2. Pemimpin dan dosen  STT Jakarta
  3. Sejumlah rekan

Sementara itu, dari Rembang, Jawa Tengah, agamawan, Ubaidillah Achmad mengingatkan bahwa jika setiap konflik tidak ada resolusi dengan baik, maka akan membuka peluang masuknya kepentingan tertentu yang merusak sistem pemerintahan dan memperbesar konflik warganegara.

“Yang diuntungkan dari konflik ini, adalah kepentingan kehendak kuasa dan sistem kapitalisme dunia,” demikian penulis Suluk Kiai Cebolek dan Islam Geger Kendeng, kepada Bergelora.com secara terpisah. (Web Warouw)

 

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru