Oleh: Dr. Maruly H. Utama
JAKARTA- “Pesta dimulai sebelum waktunya, buku kita dibawa 1” bunyi pesan pager dari Anton yang saya terima sore hari 19 Januari 1998, sehari setelah bom Tanah Tinggi meledak.
Pesan singkat dengan bahasa sandi itu berusaha menjelaskan bahwa bom meledak di Tanah Tinggi dan teman kita tertangkap satu orang. Belakangan baru aku mengerti bahwa Agus “JB” Priyono yang tertangkap.
Tak lama berselang pager bergetar lagi, “jangan kemana-mana, kita ngopi ditempat biasa hari Jumat pukul 22.00” Kali ini pesan dari Tante Linda berupa undangan rapat pada hari Rabu pukul 20.00 yang bertempat disalah satu safe house kawasan Dago Bandung.
Kesepakatan dengan Arnold “Ucok” Purba – aktivis 5 Agustus yang terlibat dalam perjuangan Partai Rakyat Demokratik Bawah Tanah – PRD BT – adalah hari janjian dan waktu yang ditetapkan via pager dikurangi 2. Jika Jumat berarti Rabu, begitupula jika 22.00 menjadi 20.00.
Kita harus meningkatkan kewaspadaan karena Regim pasti akan membalas dengan melakukan teror kata Anton, nama sandi Mirah Mahardika.
Sebaiknya kau jangan berhubungan langsung dengan kawan-kawan di Bandung, ujar Tante Linda nama sandi Ucok mengingatkan.
“Koordinasi hanya lewat pager, jika harus bertemu orang pastikan rekomendasinya terlebih dahulu, jangan sembarangan. Tempat ini hanya kita bertiga yang tahu, jangan bawa orang lain kesini,” katanya melanjutkan.
Ucok sangat disipin dan berhati-hati. Sebelum rapat dia mengecek lokasi pertemuan, jika ada yang mencurigakan pertemuan langsung dibatalkan. Dia adalah legenda 5 Agustus yang ditangkap dan dibuang ke Nusakambangan.
Pulang dari Nusakambangan dia melanjutkan studi di Unika Atmajaya. Jam terbang yang tinggi dalam gerakan utamanya membangun security system begitu memukau.
Saya belajar banyak darinya. Terimakasih Bung, damai di surga.
Setelah rapat yang menghasilkan beberapa rekomendasi untuk terus meningkatkan eskalasi politik, kami berpisah. Keluar ruangan satu-persatu, walaupun malam itu sama-sama di Bandung, kami tidak saling mengetahui tempat menginap satu sama lain.
Saya memilih untuk tinggal sementara di Patrakomala, Komplek Perwira Tinggi Kodam Siliwangi. Jangankan Regim, Ucok saja pasti tidak akan menyangka kalo saya tidur disana.
Untuk mengelabui tentara yang hilir mudik disekitar tempat tinggal, saya menindik telinga sebelah kiri dan mengenakan sepasang anting agar terlihat seperti anak band, jauh dari kesan aktivis yang dekil dan kumuh.
Kebetulan rumah pensiunan perwira yang saya tempati terdapat dua anak gadis yang hobi bermusik. Sang kakak jago bermain keyboard sementara adiknya memiliki suara yang aduhai.
Pesan WJ Thukul dalam salah satu puisinya, “jika ingin selamat ketika hidup sebagai buronan jangan jadi diri sendiri. Hiduplah sebagai orang lain dengan merobah penampilan dan kebiasaan.”
Hari-hari berikutnya adalah hari-hari yang penuh dengan teror. Setiap pager bergetar dan berisi pesan buku hilang di Solo, dengkul mendadak lemas. Tiga buah buku hilang di Jakarta, jantung rasanya mau copot. Buku hilang di Lampung, kaki rasanya tidak menginjak tanah. Apalagi setelah pesan pager diiringi dengan berita dari media masa tentang penculikan aktivis. Teror itu begitu menakutkan.
Untuk menenangkan keluarga dikampung, setiap ada berita penculikan aktivis aku menelpon ibu. Tidak menelpon ke rumah karena telepon sudah disadap. Aku menelpon ke rumah tetangga yang beda RT. Biasanya ibu dijemput lalu bicara berjam-jam sekedar melepas rindu.
Telepon umum memang mahal, tapi masa itu ada telepon kartu yang bila digunakan pulsanya tidak habis-habis. Bandung memang tempatnya untuk mengakali teknologi Regim Orde Baru.
Melalui beberapa kawan yang sudah dipulangkan dari penyekapan baru diketahui bahwa yang melakukan penculikan adalah Kopassus, pasukan elite yang memiliki semboyan lebih baik pulang nama daripada gagal dalam tugas.
Cara penyiksaannya pun berbeda dari kesatuan lain. Setrum, tidur dibalok es, mengintimidasi keluarga adalah metode penyiksaan yang tidak pernah dilakukan kesatuan lain.
Mereka melakukan tugas negara untuk menangkap dan menyiksa aktivis yang sedang melakukan tugas sejarah.
Sudah 25 tahun peristiwa itu yang tidak mungkin dapat dilupakan oleh siapapun yang terlibat di dalamnya. Mau menunggu sampai tahun keberapa puluh jika terus merawat dendam menuntut pelakunya diadili.
Kawan – kawan hilang itu nyata, Kopassus yang menculik itu fakta. Hal yang biasa dalam revolusi adalah komentar Soekarno ketika dilaporkan Jenderal Yani telah gugur dalam peristiwa 65.
Tidak boleh cengeng, Budiman sedang melakukan alternatif lain yang lebih efektif untuk menemukan kawan-kawan yang hilang daripada sekedar membuat poster lalu teriak kembalikan kawan kami sambil mencaci maki Budiman.
Jika saat peristiwa itu saya hilang juga, aku tidak akan pernah rela photoku dibawa kesana kemari untuk ngamen politik. Keluargaku pasti menolak cara-cara kotor dengan menjual penderitaan keluarga korban. Apalagi tujuannya hanya untuk kepentingan Pilpres.
Membangun kesadaran pentingnya Persatuan Nasional memang sulit, mudah-mudahan tidak sesulit membangun kesadaran Prabowo untuk menyadari bahwa kekalahannya dalam setiap Pilpres disebabkan isu penculikan aktivis, yang dalam bahasa Ahmad Muzani Sekjend Gerindra “Hamhimhum”.
Kurang berpengaruh apalagi ketika Megawati berpasangan dengan Prabowo tahun 2009. Kurang kuat yang bagaimana saat Hatta Rajasa sebagai besan SBY maju bersama Prabowo tahun 2014. Kurang banyak berapa lagi uang Sandiaga Uno saat mengikuti Pilpres 2019. Semua kalah! Dan faktor yang paling menentukan adalah isu penculikan.
Jangan percaya mitos karena sudah tidak ada Arief “Giant” Poyuono maka Prabowo akan memenangkan Pilpres 2024. Kekalahan Prabowo lebih disebabkan isu pelanggaran HAM dan penculikan aktivis yang dibombardir terus menerus. Belum ada cara yang tepat untuk menghadapi isu ini karena memang lingkar dalam Prabowo tidak ada yang bisa mengatasinya.
Tidak harus berpikir keras dan diskusi berhari-hari jika Budiman menjadi Cawapres. Tidak perlu juga kesana kemari untuk mengcounter serangan isu penculikan. Ketika Prabowo mendaftar ke KPU bersama Budiman sebagai pasangan Capres dan Cawapres maka isu penculikan dan pelanggaran HAM terdengar seperti rintihan orang minta tolong bukan lagi sebagai serangan yang mematikan.
Ketika KPU sudah menetapkan Prabowo dan Budiman sebagai pasangan Capres dan Cawapres maka pistol yang digunakan untuk menyemburkan isu penculikan akan berubah menjadi pistol locok yang pelurunya macet lalu meledak ditangan.
Saat itulah kedok pedagang isu penculikan akan terbuka. Karena gerombolan pedagang isu penculikan hanya ada dua kelompok. Jika bukan pendukung Capres lain pasti aktivis NGO.
Jika melihat kawan Petrus Hariyanto, penjaga moral gerakan ikut melakukan serangan dengan menggunakan isu penculikan maka dapat dipastikan Petrus ditunggangi oleh pendukung Capres lain dan aktivis LSM.
*Penulis Dr. Maruly H. Utama
DPP Prabu – Dewan Pimpinan Pusat Prabowo Budiman Bersatu