Pemerintah akan menghapus kelas iuran BPJS Kesehatan I,II, dan III menggantinya dengan KRIS JKN mulai 1 Januari 2025. Dengan ini akan ada beda layanan kamar.
JAKARTA — Pemerintah akan menghapus kelas iuran BPJS Kesehatan I, II, dan III dan menggantinya dengan Kelas Rawat Inap Standar Jaminan Kesehatan Nasional (KRIS JKN) alias kelas standar di seluruh rumah sakit (RS).
Pergantian akan dimulai 1 Januari 2025. Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono mengatakan penerapan KRIS menitikberatkan pada perbaikan tempat tidur.
Sebelumnya, kelas I memiliki kapasitas 1-2 orang per kamar, kelas II berkapasitas 3-5 orang per kamar, dan kelas III 4-6 orang per kamar.
Dengan sistem KRIS, maksimal akan menjadi 4 tempat tidur dalam satu kamar. Pengurangan tempat tidur itu menjadi salah satu dari 12 kriteria yang harus ditetapkan RS untuk melaksanakan penghapusan sistem kelas I-III.
Dante mengatakan dari hasil uji coba, indeks kepuasan masyarakat tercatat meningkat setelah penerapan KRIS.
“Jadi dari hasil uji coba tersebut juga membuat dampak indeks kepuasan masyarakat meningkat dan pendapatan RS tidak berkurang dengan menerapkan implementasi KRIS,” tutur Dante.
Adapun 12 kriteria fasilitas kelas rawat inap dengan sistem KRIS yaitu:
- Komponen bangunan yang digunakan tidak memiliki tingkat porositas yang tinggi
- Ventilasi udara memenuhi pertukaran udara pada ruang perawatan biasa minimal 6 (enam) kali pergantian udara per jam
- Pencahayaan ruangan buatan mengikuti kriteria standar 250 lux untuk penerangan dan 50 lux untuk pencahayaan tidur
- Kelengkapan tempat tidur berupa adanya 2 (dua) kotak kontak dan nurse call pada setiap tempat tidur
- Adanya nakas per tempat tidur
- Dapat mempertahankan suhu ruangan mulai 20 sampai 26 derajat celcius
- Ruangan telah terbagi atas jenis kelamin, usia, dan jenis penyakit (infeksi dan non infeksi)
- Kepadatan ruang rawat inap maksimal 4 (empat) tempat tidur, dengan jarak antar tepi tempat tidur minimal 1,5 meter
- Tirai/partisi dengan rel dibenamkan menempel di plafon atau menggantung
- Kamar mandi dalam ruang rawat inap
- Kamar mandi sesuai dengan standar aksesibilitas
- Outlet oksigen
Ujicoba 12 Rumah Sakit
Sebelumnya, kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mengatakan penerapan kelas rawat inap standar (KRIS) secara bertahap dimulai 2023. Dengan demikian masyarakat akan mendapatkan fasilitas yang sama, bukan berdasarkan kelas 1,2 dan 3 lagi.
“Soal KRIS sudah mulai secara bertahap dari tahun 2023-2025,” ungkap Kepala Biro Komunikasi Dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi Siti Nadia kepada, Rabu (14/6/2023).
Uji coba telah dilakukan pada 12 RS di berbagai daerah. Meski masih ada sedikit catatan, selanjutnya KRIS akan memasuki implementasi. “Uji coba sudah selesai dan saat ini implementasi di 2023 ini,” jelasnya.
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri menyatakan penerapan KRIS tengah dalam proses monitoring dan evaluasi. “Akan segera monev,” tutur Asih.
Namun, Asih menyebut untuk implementasi memang masih menunggu perubahan Peraturan Presiden (perpres) terlebih dahulu. “Kita tunggu terbit perubahan perpres 82/2018,” lanjutnya.
Sebelumnya, Asih menyatakan draf revisi perpres sebetulnya telah ditandatangani Kementerian dan Lembaga terkait sejak awal Februari 2023. Namun, tinggal menunggu rapat harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.
Adapun, dia mengatakan rapat harmonisasi itu belum juga terlaksana. Pihak DJSN hanya bisa menantikan terselenggaranya rapat untuk selanjutnya disahkan dan ditandatangani Presiden Joko Widodo, sehingga KRIS bisa terlaksana. “Belum, masih menunggu rapat harmonisasi,” ujar Asih.
Bagaimana Dengan Iuran?
Sesuai arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), tidak ada perubahan iuran BPJS Kesehatan hingga 2024 mendatang. Walaupun ada perubahan fasilitas, peserta tetap membayar iuran yang sama.
Pps Kepala Humas BPJS Kesehatan Arif Budiman kepada pers menuturkan, iuran mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018, tentang Jaminan Kesehatan, bahwa iuran ditentukan berdasarkan jenis kepesertaan setiap peserta dalam program JKN.
Arif menuturkan, bagi masyarakat miskin dan tidak mampu yang terdaftar sebagai Peserta PBI, iurannya sebesar Rp. 42.000 dibayarkan oleh Pemerintah Pusat dengan kontribusi Pemerintah Daerah sesuai kekuatan fiskal tiap daerah.
Selanjutnya bagi Peserta PPU (Pekerja Penerima Upah) atau pekerja formal baik penyelenggara negara seperti ASN, TNI, POLRI dan pekerja swasta, besaran iuran sebesar 5% dari upah, dengan rincian 4% dibayarkan oleh pemberi kerja dan 1% oleh pekerja. Untuk perhitungan iuran ini berlaku pula batas bawah yaitu upah minimum kabupaten/kota dan batas atas sebesar Rp 12 juta.
“Jadi perhitungan iuran dari penghasilan seseorang hanya berlaku pada jenis kepesertaan PPU, pekerja formal yang mendapat upah secara rutin dari pemberi kerjanya,” imbuhnya.
Terakhir bagi kelompok peserta sektor informal yang tidak memiliki penghasilan tetap dikelompokkan sebagai peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) dan BP (Bukan Pekerja).
Untuk jenis kepesertaan PBPU dan BP, peserta dapat memilih besaran iuran sesuai yang dikehendaki. Kelas 1 sebesar Rp. 150.000 per orang per bulan, kelas 2 sebesar Rp. 100.000 per orang per bulan dan kelas 3 sebesar Rp. 35.000 per orang per bulan.
Perlu diketahui juga bahwa khusus PBPU kelas 3 sebetulnya mendapat bantuan dari pemerintah sebesar Rp. 7.000 per org per bulan, sehingga sebetulnya totalnya Rp. 42.000.
“Jadi bagi seseorang yang belum memiliki penghasilan atau sudah tidak berpenghasilan dapat memilih menjadi peserta PBPU dengan pilihan kelas 1, 2 atau 3. Atau jika masuk dalam kategori masyarakat miskin dan tidak mampu yang terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dapat masuk menjadi kelompok peserta PBI yang iurannya dibayar pemerintah,” jelas Arif. (Web Warouw)