Oleh: Dr. Kurtubi
SOLUSI atas anjloknya kegiatan investasi eksplorasi di Indonesia yang menjadi penyebab rendah dan terus turunnya produksi minyak serta selalu gagalnya pencapaian asumsi lifting minyak dalam APBN,– bukan dengan sekedar memperbaiki sistem Gross Split seperti yang disampaikan oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif baru-baru ini.
Sistem Gross Split yang sudah gagal diterapkan di Indonesia sejak diterapkan oleh Menteri dan Wakil Menteri ESDM sebelumnya, adalah cocok untuk negara-negara dimana kekayaan migas diperut buminya, tidak diatur untuk dikuasai dan dimiliki oleh negaranya, selain pengelolaannya tidak ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyatnya.
Gross split ini cocok di Amerika dan negara-negara lain dimana kekayaan migas yang ada didalam bumi itu hak kepemilikannya ada di tangan orang perorang atau perusahaan yang memiliki Hak Kepemilikan atas tanah yang ada di atas cekungan/ sedimentary basin dimana cadangan migas itu terjebak selama ratusan juta tahun diperut bumi. Pemilik cadangan migas ini harus membayar pajak ke negaranya jika memproduksikan migasnya.
Bung Hatta konseptor dan Penggagas Pasal 33 UUD 1945 adalah putra Mingkabau Sumatra Barat yang taat beragama. Dalam ajaran Islam, migas selain air dan hutan, termasuk kekayaan alam yang harus dikuasai dan dimiliki oleh Negara sebagai milik bersama bukan milik orang perorang seperti di Amerika dan lainnya.
Agar cadangan aset migas yang ada di perut bumi bisa dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka migas harus dikelola oleh perusahaan negara yang dibentuk dengan UU, bukan dikelola langsung olah aparat Pemerintah. Maka Atas dasar UU No.44/Prp/ 1960 dan UU No.8/1971 negara membentuk Perusahaan Negara dibidang migas bernama PERTAMINA sekaligus diberi wewenang kuasa pertambangan.
Jadi tidak lagi menggunakan sistem Konsesi dan Kontrak Karya. Diganti dengan menggunakan Sistim Kontrak Bagi Hasil ” B to B” dengan semua investor migas. Kontrak ini MEWAJIBKAN BAGIAN NEGARA HARUS LEBIH BESAR. dimana biaya-biaya eksplorasi dan produksi sepenuhnya dari dan resiko investor. Untuk itu, dengan sistem “B to B” Semua investor harus dipermudah, semua perijinan diurus oleh Perusahaan Negara PERTAMINA yang menandatangani Kontrak Bagi Hasil. Semua Investor tidak boleh dipungut pajak dan pungutan semasa eksplorasi sebelum berproduksi. Karena Pajak dan Pungutan/PNBP akan dibayar oleh investor dari hasil produksi migasnya.
Bagi Hasil standarnya adalah 65 : 35. Bagian Investor yang 35% dibayar dsri hasil produksi setelah Cost Recovery yang dicatat dan dikonrol oleh PERTAMINA yang sangat mengerti dengan komponen dan besaran biaya eksplorasi dan produksi karena PERTAMINA adalah perusahaan minyak,– bukan lembaga pemerintah seperti BP Migas yang sudah dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi kemudian dihidupkan kembali di Era Presiden SBY dengan nama SKK Migas yang tetap merupakan lembaga pemerintah yang tidak bisa berbisnis migas secara langsung serta tidak bisa mengontrol Cost Recovery secara efektif dan effisien.
Sistem Kontrak Bagi Hasil pada migas ini adalah merupakan pengganti dari sistem konsesi IUP dan Kontrak Karya yang sebelumnya dipakai di migas dan penambangan minerba sejak sebelum kemerdekaan. Sedsngkan Sistem Kontrak Bagi Hasil adalah pencerminan dari implementasi ide dan gagasan bung Hatta dalam Pasal 33 UUD 1945 yaitu, kekayaan sumber daya alam yang ada diperut bumi harus dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tujuan ini dicapai selain dengan perolehan negara harus lebih besar didalam kontrak bagi hasil, juga perolehan negara akan menjadilebih besar untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ketika terjadi oil boom dimana harga minyak dunia naik melejit sehingga Industri migas dunia memperoleh “windfall profit” yang sangat besar. Sehingga negara-negara produsen minyak, sebagaimana negara-negaraa penghasil SDA pertambangan lainnya, menerapkan “windfall profit tax” ketika harga minyak dan produk pertambangan naik melejit.
President RI yang berdaulat dan posisinya berada di atas Kontrak Bagi Hasil “B to B” karena presiden tidak ikut berkontrak dengan investor, lalu Presden RI mengadopsi”windfall profit tax” yang berlaku umum di dunia SDA Pertambangan. Ini diwujudkan dalam bentuk: menaikkan bagian negara dalam Kontrak Bagi Hasil dari 65% menjadi 85%. Investor memperoleh 15%. Meski Investor memperoleh 15% jumlah perolehan keuntungannya tetap lebih tinggi dibanding sebelum oil boom.
Saya usulksn solusi atas hancurnya produksi migas dan hancurnya Industri LNG Nasional dalam dua dekade terakhir ini. Presiden RI sudah sangat berhak dan sangat mendesak untuk MENCABUT UU MIGAS NO.22/2001 dengan mengeluarkan PERPPU. Kembali ke UU No.44/Prp/1960 dan UU No.8/1971.
UU Migas No.22/2001 telah memindahkan wewenang kuasa pertambangan migas dari Perusahaan Negara PERTAMINA ke Menteri ESDM. INILAH sumber penyakit dari pengelolaan migas nasional selama lebih dari dua dekade. Dimana sebenarnya menteri ESDM/Pemerintah tidak eligible, tidak memenuhi syarat untuk melakukan kegiatan usaha/ bisnis pertambangan sda termasuk migas secara langsung. Menteri ESDM hanya bisa menunjuk perusahaan/ pihak ke tiga yang pasti tidak akan efisien sehingga pasti tujuan Pasal 33 UUD 1945 tidak akan tercapai.
Fakta Empirik yang sangat terang, terjadi di sektor minerba yang masih menggunakan sistem konsesi IUP dan Kontrak Karya, dimana wewenang pemberian konsesi IUP dan menandatangani Kontrak Karya adalah di tangan pemerintah yang sebenarnya tidak eligible untuk melakukan kegiatsn usaha/bisnis terkait aset, kekayaan sumber daya alam secara langsung. Akhirnya harus menunjuk pihak ketiga lewat pemberian IUP dan Kontrak Karya.
Fakta empiriknya menunjukkan sistem IUP dan KK ini sangat merugikan negara. iup diperjual belikan, dijadikan sarana untuk tujuan-tujuan yang merugikan negara. Sehingga tujuan pengelolaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti yang tertera secara jelas dalam Pasal 33 UUD 1945, mustahil bisa dicapai.
Khusus di Sektor Migas yang sangat urgent adalah mencabut UU Migas No. 22/2001 oleh presiden RI dengan mengeluarkan PERPPU. Selain Produksi Migas yang sudah hancur, DPR-RI sudah tiga periode gagal melahirkan UU Migas yang baru Pengganti UU Migas No.22/ 2001. Antara lain karena di Komisi VII DPR-RI selalu muncul Skenario agar wewenang kuasa pertambangan tetap dipegang oleh menteri ESDM. Padahal disinilah Sumber Penyakit dari UU Migas No.22/2001.
Jakarta, 6 Agustus 2024.
—
*Penulis Dr. Kurtubi — Alumnus FEUI, IFP dan CSM. Mantan Pengajar Pascasarjana FEUI dan Universitas ParamadinaÂ