JAKARTA- Sudah hampir 300 hari ibu-ibu Rembang berada di tenda untuk mempertahankan tanahnya, airnya, dan sumber-sumber kehidupannya dari ancaman industri semen yang akan menghabisi kawasan karst yang menjadi sumber hidup dan kehidupan petani di sana. Negara seakan tak ada, ibu-ibu dihadapkan pada kekuatan besar bernama korporasi yang memiliki sumber daya yang begitu melimpah, termasuk untuk mendatangkan aparat keamanan dalam menghadapi perjuangan ibu-ibu Rembang. Rembang adalah salah satu kasus yang merepresentasikan bagaimana kuatnya korporasi dan lemahnya negara pada satu sisi, dan pada sisi yang lain kegigihan perempuan bersama komunitasnya yang tidak pernah takut menghadapi dua kekuatan besar itu demi mempertahankan tanah airnya.
“Kami meyakini bahwa situasi yang dialami perempuan hari ini, tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi dan politik yang menempatkan kekayaan alam sebagai komoditas dengan atasnama pertumbuhan ekonomi, pembangunan yang beresiko tinggi. Memberikan otoritas kepada korporasi industri ekstraktif yang rakus tanah dan air seperti industri tambang, perkebunan skala besar (sawit dan HTI), serta pembangunan infrastruktur skala besar,” demikian Khalisah Khalid dari WALHI kepada Bergelora.com di Jakarta, Minggu (8/3)
Menurutnya, sistem ekonomi politik yang keliru namun tidak pernah dikoreksi, berbuah pada konflik agraria, bencana ekologis dan terpaksa menjadi pengungsi pembangunan, mengalami kekerasan yang berujung pada kematian dan kriminalisasi karena memperjuangkan hak-haknya. Lapis-lapis kekerasan dialami perempuan akibat dari sistem ekonomi politik yang berwatak patriakh dan melanggengkan ketidakadilan gender.
“Akibat kehilangan sumber-sumber kehidupannya, banyak perempuan yang akhirnya harus beralih mata pencaharian antara lain bekerja di tambang dan perkebunan yang sangat beresiko bagi kesehatan mereka dan tanpa perlindungan kesehatan yang cukup dari perusahaan, atau menjadi buruh migran di luar negeri tanpa perlindungan dari negara,” ujarnya dalam rilisnya.
Dewi Kartika Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mengingatkan bahwa ada banyak janji politik pemerintahan Jokowi-JK, yang kini mulai diturunkan dalam berbagai kebijakan. Namun bahwa kebijakan turunan Jokowi-JK justru banyak yang tidak sesuai dengan semangat Nawa Cita.
“Buktinya antara lain pembangunan infrastruktur skala massif untuk memfasilitasi kemudahan bagi investasi, yang justru akan semakin memperkuat konflik agraria, mengancam keberlanjutan lingkungan hidup, serta pada turunannya akan semakin membuat perempuan tersingkir dari ruang hidupnya dan melanggengkan kemiskinan struktural,” ujarnya.
Kebijakan memberikan perlindungan terhadap perempuan tidak akan banyak berarti jika pemerintahan Jokowi-JK tidak memahami akar masalah yang dialami oleh perempuan terkait akses dan haknya atas lingkungan dan sumber agraria, utamanya tanah.
“Petani di Jawa hanya memiliki 0,5 hektar untuk menghidupi keluarganya, tentu saja akan berlapis yang dialami perempuan petani gurem atau perempuan buruh tani,” ujarnya.
Karenanya, pada peringatan Hari Perempuan Internasional 2015 ini, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendesak Negara untuk merevisi berbagai kebijakan ekonomi politik dan perundang-undangan yang berwatak patriarkis yang menempatkan industri ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan sawit, hutan tanaman industri (HTI) dan pembangunan infrastruktur skala massif sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang justru berujung pada kemiskinan struktural perempuan.
WALHI dan KPA menuntut pemerintah agar menjalankan reforma agraria sebagai jalan untuk membenahi carut-marut penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam dan penataan struktur agraria yang berkeadilan, termasuk memberikan keadilan bagi perempuan, melalui land reform dan penyelesaian konflik agraria melalui Badan Penyelesaian Konflik Agraria.
“Berikan pengakuan dan perlindungan terhadap inisiatif dan peran perempuan beserta komunitasnya dalam mengelola lingkungan hidup dan sumber-sumber agrarianya,” tegasnya Khalisa Khalid.
Ia juga menuntut agar menghentikan berbagai tindak kekerasan dan kriminalisasi terhadap perempuan yang memperjuangkan agenda penyelamatan lingkungan hidup dan reforma agraria.
“Pemerintah seharusnya mendorong partisipasi politik perempuan untuk memperkuat keterlibatan perempuan sebagai pengambil kebijakan, sekaligus mengakui dan memajukan pengetahuan serta pengalaman perempuan di dalam mengelola lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan,” ujarnya.
Pada peringatan Hari Perempuan Internasional ini, KPA juga menyerukan perluasan dan penguatan solidaritas diantara sesama komunitas dan individu-individu, karena perjuangan keadilan gender dalam perlindungan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber-sumber agraria membutuhkan dukungan dari semua elemen bangsa. (Enrico N. Abdielli)