Minggu, 20 April 2025

PGI: Hukuman Mati Menentang Hakekat Kehidupan

JAKARTA- Awal Tahun 2015 ini, wacana publik bangsa diramaikan dengan eksekusi hukuman mati terhadap beberapa warga negara asing yang tergabung dalam kelompok yang populer dengan sebutan “Bali Nine”. Muncul pro dan kontra. Ada yang setuju, tapi juga banyak menolak. Penolakan tak hanya di dalam negeri, tapi juga datang dari luar negeri, khususnya negara yang warga negaranya termasuk yang akan dieksekusi. Di tengah kontroversi tersebut, Pemerintah tetap kukuh untuk menjalankan eksekusi hukuman mati tersebut. Bahkan persiapan di Nusa Kambangan sudah memasuki tahap akhir.

Tanpa bermaksud untuk ikut meramaikan polemik yang berlangsung, Pesekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) terpanggil untuk menyatakan pandangan dan sikap sebagai bentuk pertanggungjawaban moral kepada warga gereja dan warga masyarakat. Pandangan dan sikap ini juga merupakan wujud nyata kehadiran dan pergumulan gereja terhadap persoalan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan bangsa. Pandangan dan sikap PGI tersebut sudah disampaikan kepada Presiden RI dalam bentuk surat yang ditandatangani oleh Ketua Umum PGI, Pendeta Dr. Henriette T. Hutabarat Lebang, dan Sekretaris Umum PGI, Pendeta Gomar Gultom, M.Th.

Pertama, gereja-gereja di Indonesia hadir sebagai respons terhadap panggilan Tuhan, yang mengaruniakan kehidupan kepada manusia. Gereja-gereja mengakui, Tuhanlah Pemberi, Pencipta dan Pemelihara Kehidupan.

“Karena itu, kami memandang hak untuk hidup menjadi nilai yang harus dijunjung tinggi dan dihormati oleh setiap manusia. Kami percaya bahwa hanya Tuhan yang memiliki hak mutlak untuk mencabut kehidupan,” Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia PGI, Jeirry Sumampow, S.Th dalam rilis yang diterima oleh Bergelora.com di Jakarta, Minggu (8/3)

Kedua, PGI memahami bahwa negara menjalankan dan menegakkan hukum dalam rangka memelihara kehidupan yang lebih bermartabat. Dalam terang ini, hukuman diharapkan adalah untuk mengembalikan para pelanggar hukum kepada kehidupan yang bermartabat tersebut.

“Itu pulalah yang kami yakini dicerminkan dengan penggantian kata “penjara” menjadi “lembaga pemasyarakatan”. Karena itu, segala bentuk hukuman hendaknya memberi peluang kepada para terhukum untuk kembali ke dalam kehidupan yang bermartabat,” ujarnya.

Jika hukuman mati dilakukan maka peluang untuk memperbaiki diri menjadi tertutup sama sekali. Dalam perspektif seperti itu, maka praktek hukuman mati merupakan bentuk frustrasi negara atas kegagalannya menciptakan tata kehidupan masyarakat yang beradab dan bermartabat.

Ketiga, perkembangan peradaban manusia telah mendorong negara-negara di dunia, yang sebelumnya mempraktekkan hukuman mati, menghapus pemberlakuan hukuman mati. Terlihat kecenderungan yang semakin besar dari berbagai Negara yang beradab untuk mencabut hukuman mati dari sistem peraturan dan perundang-undangan mereka, atau setidaknya dalam bentuk moratorium eksekusi hukuman mati. Hal ini didorong pula oleh keraguan apakah hukuman mati masih memberi efek jera sebagaimana yang dimaksudkan oleh ancaman hukuman mati tersebut.

Keempat, dalam konteks Indonesia yang masih diliputi permasalahan berhubung dengan proses penegakan hukum, eksekusi hukuman mati sering megalami kekeliruan, namun tidak pernah bisa dikoreksi kembali sebab orangnya sudah meninggal. Kami mencatat beberapa keputusan pengadilan yang sudah inkrach namunternyata di kemudian hari diketahui terdapat kekeliruan dalam putusan hukum tersebut. Dalam hal demikian, sangat beresiko menjalankan eksekusi hukuman mati, jika seandainya putusan hakim yang dijatuhkan ternyata dikemudian hari keliru.

Kelima, sebagai konsekuensi dari diratifikasinya Konvensi Hak Sipil dan Politik, maka negara ini semestinya tak boleh lagi memberlakukan hukuman mati. Sebab dalam perspektif hak asasi manusia, hak untuk hidup adalah hak yang tak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Hal ini juga sudah ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 28 I ayat (1) bahwa “hak untuk hidup, …. adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Jadi Pasal 28 I ayat (1) ini menegaskan bahwa konstitusi kita tak lagi mengizinkan lagi terjadinya praktek hukuman mati dalam negara ini. Sayangnya, substansi Pasal 28 I ayat (1) ini belum ditindaklanjuti dalam bentuk penataan regulasi yang terkait dengan itu.

Hukuman mati menurut PGI menodai rasa kemanusiaan dan keadilan dan karena itu bertentangan dengan hakekat kehidupan yang diberikan Allah, Sang Pencipta dan Pemelihara Kehidupan. Hukuman mati tak lagi memberikan ruang bagi orang untuk melakukan perbaikan diri atau pertobatan.

“Karena itu, maka kami menolak adanya pemberlakukan hukuman mati sebagai bentuk hukuman terhadap kejahatan. Agar Presiden RI lebih bijaksana dalam mempertimbangkan kembali rencana eksekusi hukuman mati yang rencananya akan dilaksanakan beberapa hari ke depan. Kami berdoa agar Presiden tetap konsisten menerapkan konstitusi NKRI dalam terang Sila Kedua Pancasila, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,” ujarnya.

PGI meminta agar Presiden RI sebagai Kepala Negara mendorong penataan regulasi yang terkait dengan masih dicantumkannya hukuman mati dalam berbagai regulasi negara ini. PGI berharap agar sangsi hukuman mati dihapus dalam semua regulasi tersebut sesuai dengan substansi yang terkandung dalam konstitusi kita, pasal 28 I ayat (1) UUD 1945.

“Kami menyerukan agar semua umat kristiani mendoakan Presiden RI, Joko Widodo, agar diberikan hikmat dan kebijaksanaan dalam menyikapi pelaksanaan hukuman mati. Kami mendoakan agar para korban yang menghadapi eksekusi hukuman mati diberi kekuatan dan ketabahan menghadapi proses-proses yang akan berlangsung selanjutnya,” ujarnya. (Web Warouw)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru