KUPANG- Bila mengacu pada keputusan Mahkamah Internasional yang memenangkan Malaysia dalam sengketa Pulau Sipadan-Ligitan yang didasarkan pada alasan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), maka posisi dan status Gugusan Pulau Pasir adalah kebalikannya. Hal ini dikemukakan Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB),Ferdi Tanoni kepada pers di Kupang, Jumat (7/10).
Menurut Tanoni yang juga adalah pemegang mandat hak ulayat masyarakat adat di Laut Timor bahwa pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke International Court of Justice (ICJ), kemudian 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang hakim yang berpihak kepada Indonesia.
Kepada Bergelora.com dilaporkan bahwa, secara garis besar keputusan Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia, didasarkan pada pertimbangan effectivity yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an.
Sementara itu jika dibandingkan dengan fakta yang terdapat di Gugusan Pulau Pasir berdasarkan pada effectivity, yaitu Pemerintah Hindia Belanda (penjajah Indonesia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ijin kunjungan yang dikenal dengan Pas Jalan dan pungutan pajak bagi setiap nelayan yang hendak berkunjung ke Gugusan Pulau Pasir untuk mengambil telur penyu dan teripang.
Tindakan ini terus berlangsung hingga awal tahun 1970’an (sebelum tahun 1974 ketika Indonesia dan Australia membuat MoU tentang hak-hak nelayan tradisional) Disamping itu gugusan Pulau Pasir telah dijadikan rumah kedua bagi para nelayan tradisional Laut Timor sejak ratusan tahun lalu jauh sebelum Australia menjadi sebuah Negara berdaulat.
Fakta Sejarah
Tanoni menuturkan sesuai fakta sejarah, Pemerintah Inggris pada tahun 1932 menyerahkan pengelolaan gugusan Pulau Pasir kepada Pemerintah Federal Australia.
Ia mengatakan tindakan aneksasi secara sepihak dan tidak sah atas “Ashmore Reef” ini pertama kali dilakukan oleh Kapten Samuel Ashmore ketika hendak kembali ke negaranya (Inggris) pada tahun 1811.
Pada tahun 1878 pemerintah Inggris secara sepihak mengklaim sebagai bagian dari wilayah Inggris kemudian menamakannya “Ashmore Reef”, tanpa sepengetahuan pemerintah Hindia Belanda yang menguasai itu. Sementara, aktivitas nelayan tradisional Indonesia di “Ashmore Reef” yang berhasil direkam oleh antropolog dunia termasuk Australia telah berlangsung sejak 1609.
“Dengan demikian jika keputusan Mahkamah Internasional yang memenangkan Malaysia atas sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan dijadikan yurisprudensi hukum, maka jelas Gugusan Pulau Pasir menjadi bagian territorial dari Negara Kesatuan Republik Indonesia,” demikian Ferdi Tanoni. (Rudy).