Minggu, 3 November 2024

Hendardi : Bentuk Komite Presiden Untuk Penyelesaian Pelanggaran HAM

JAKARTA- Rencana penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu sebagai salah satu prioritas kerja kabinet, patut diapresiasi. Akan tetapi penyelesaian ini tetap harus dalam kerangka dan mekanisme yang akuntabel, berdasarkan Undang-undang dan berkeadilan. Agar tidak adalagi sabotase dan upaya bonsai terhadap kebijakan Presiden sebaiknya Presiden segera membentuk Komite Kepresidenan untuk Penyelesaian Pelanggaran HAM. Demikian tegas Ketua Setara Institute, Hendardi kepada Bergelora.com di Jakarta, Rabu (6/11)

“Respons Menkopolhukam dan Kejaksaan Agung atas perintah Presiden untuk menuntaskan kasus masa lalu keluar dari jalur yang semestinya. Pilihan langkah hanya dengan penyesalan atas suatu peristiwa masa lalu, jelas tidak menunjukkan kesungguhan penyelesaian yang semestinya,” tegasnya.

Presiden harus memastikan bahwa seluruh kasus masa lalu yang terjadi sebelum tahun 2000 diungkap kebenarannya. Kebenaran ini akan menjadi dasar pernyataan penyesalan, rekonsiliasi, dan reparasi bagi korban.

“Pengungkapan kebenaran adalah prasyarat dari semua langkah yang akan ditempuh Presiden juga perlu memastikan bahwa tidak semua kasus pelanggaran HAM diperlakukan sama,” ujarnya.

Kasus penculikan paksa menurutnya adalah yang paling lengkap untuk diselesaikan melalui peradilan HAM, apalagi DPR sudah merekomendasikan agar dibentuk pengadilan HAM.

“Tidak ada alasan lagi untuk menunda peradilan HAM, agar semua kasus pelanggaran HAM digelar diatas meja dan menjadi pelajaran agar tidak terulang dimasa depan,” tegasnya.

Sementara untuk kasus Wamena-Wasior yang terjadi 2003-2004 perintah undang-undang adalah harus diadili melalui peradilan HAM, karena terjadi setelah Undang-undang 26/2000 diterbitkan.

“Generalisasi atas semua kasus HAM menunjukkan adanya maksud tertentu untuk menebalkan impunitas bagi para pelaku, meskipun alat bukti mencukupi untuk digelarnya sebuah peradilan,” ujarnya.

Hendardi mengingatkan Presiden Joko Widodo agar jangan memnbiarkan upaya-upaya mensabot atau membonsai kebijakan presiden tentang penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang sudah jelas jalan keluarnya.

“Daripada kehendak Presiden dibonsai dengan kinerja yang tidak sesuai jalur, sebaiknya Presiden segera membentuk Komite Kepresidenan untuk Penyelesaian Pelanggaran HAM, sebagaimana dijanjikan dalam RPJMN. Dari komite inilah, presiden akan memperoleh pilihan-pilihan yang berkeadilan,” tegasnya.

Minta Maaf Atau Menyesali

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo sudah menginstruksikan agar penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, dituntaskan melalui jalur non-yudisial.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan, mengatakan pemerintah masih mencari kata-kata yang pas untuk menggambarkan jalan keluarnya. Apakah nanti kalimat itu dalam bentuk permintaan maaf, atau kalimat lain.

“Kami lagi cari non-yudisial pendekatannya. Kami lagi cari kalimat yang pas untuk itu, apakah menyesalkan atau bagaimana,” kata Luhut, usai rapat kabinet terbatas terkait keamanan, di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (5/1).

Luhut mengatakan, persoalan tersebut sudah sangat lama. Sementara proses hukum, hampir tidak bisa dilakukan lagi. Mengingat, sudah banyak bukti dan saksi-saksi yang meninggal dunia.

Untuk itu, jalur non-yudisial ini akan dirampungkan dalam waktu dekat. Ini harus segera, lanjut Luhut, mengingat kasus ini sudah berlangsung lama.

“Kira-kira dalam dua hingga tiga bulan ke depan akan diproses, kami tidak mau berlama-lama lagi. Karena sudah terlalu lama itu dipending,” jelas Luhut.

Pemerintah hanya bisa menyesalkan peristiwa-peristiwa itu. Seperti kasus Talangsari, Semanggi, PKI dan pelanggaran berat lainnya. Menurut Luhut, pelanggaran HAM masa lalu tidak hanya di Indonesia, tapi juga hampir di seluruh dunia.

Kejadian itu, menjadi masa kelam dari perjalanan bangsa Indonesia. Namun, untuk memproses hukum, menurutnya, sudah tertutup kemungkinan bisa dilaksanakan.

“Dari Kejaksaan Agung, kami tidak punya lagi alat-alat bukti yang bisa membuat itu bisa jadi pengadilan dan kami pikir, lebih bagus kami melihat ke depan bahwa ada kejadian-kejadian yang lalu, kami sesalkan itu terjadi,” jelas Luhut.

Namun, apakah nantinya pemerintah memberi ganti rugi, menurut Luhut itu juga susah dilakukan. Sebab, hampir tidak jelas siapa yang menjadi korban.

“Tapi, pemerintah bisa melihat dalam konteks penyesalan yang mendalam, itu kira-kira terhadap peristwa-peristiwa yang terjadi dalam beberapa puluh tahun,” katanya. (Enrico N. Abdielli)

 

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru