JAKARTA- Usulan agar negara meminta maaf kepada Soekarno adalah gagasan konstruktif dan merupakan salah satu cara membangun keadaban baru dengan memberikan pengakuan atas kekeliruan yang terjadi di masa lalu. Presiden Joko Widodo sudah seharusnya atas nama negara meminta maaf dan memulihkan martabat kemanusiaan Soekarno. Hal ini disampaikan oleh Ketua Setara Institute, Hendardi kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (16/10).
“Soekarno secara yuridis tidak pernah terbukti terlibat atau mendukung komunisme. Itu hanya menjadi alasan rezim Orde Baru berbuat dzalim kepada Soekarno,” ujarnya.
Sementara itu menurutnya gelar Pahlawan Nasional yg dilekatkan pada Soekarno juga lebih besar bobot politiknya dibanding bobot kemanusiaan dan faktor peranannya di masa perjuangan dan kemerdekaan.
“Atas dasar itu, Presiden Joko Widodo sudah seharusnya atas nama negara meminta maaf dan memulihkan martabat kemanusiaan Soekarno,” ujarnya.
Menurutnya, tidak bisa beban permintaan maaf itu diserahkan kepada Soeharto sebagai pribadi yang mendzalimi Soekarno. Karena kesalahan di masa lalu adalah kesalahan kolektif negara dan Soeharto sebagai kepala negara.
“Maka permintaan maaf dan tugas pemulihan atas Soekarno dan keluarganya melekat pada siapapun yg menjadi kepala negara, tidak terkecuali Jokowi. Ini awal yang baik untuk membangun soliditas baru antarkekuatan bangsa,” ujarnya.
Sebelumnya, putri keempat dari Presiden kedua RI Soeharto, Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto, mengaku aneh dan justru mempertanyakan permintaan PDIP. Pasalnya, selama ini pemerintah telah menghargai semua jasa putra sang fajar tersebut, seperti mencantumkan namanya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
“Kenapa harus minta maaf, kan kita sudah menjunjung tinggi beliau, dan jaman Pak Harto sudah di kasih nama bandara, bagaimana seluruh dunia kenal itu,” ujarnya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (5/10).
Dengan mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta maaf bukanlah tindakan yang tepat dan tidak perlu meminta maaf. Apalagi selama ini pemerintah telah menghormati Bung Karno sebagai mantan kepala negara.
“Tapi bangsa ini sudah menjunjung tinggi beliau. Dan dengan menghargai Pak Karno sebagai Proklamator sudah otomatis dengan penghargaan itu,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Fraksi PDIP di MPR Ahmad Basarah mendesak pemerintah Indonesia meminta maaf kepada Bung Karno. Anggota Komisi III DPR itu menilai Presiden Soekarno adalah korban peristiwa G30S/PKI, karena akibat dari peristiwa tersebut, kekuasaan Presiden Soekarno dicabut melalui TAP MPRS XXXIII Tahun 1967 tertanggal 12 Maret 1967 dengan tuduhan telah mendukung G30S/PKI.
Dalam Pasal 6 TAP MPRS tersebut, lanjutnya, Pejabat Presiden Jenderal Soeharto diserahkan tanggung jawab melakukan proses hukum secara adil untuk membuktikan kebenaran dugaan pengkhianatan Presiden Soekarno. Namun, hal tersebut tidak pernah dilaksanakan sampai Presiden Soekarno wafat tanggal 21 Juni 1970.
Ia mengatakan, melalui TAP MPR No I Tahun 2003 tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum TAP MPRS/MPR sejak Tahun 1960-2002, TAP MPRS No XXXIII Tahun 1967 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Selain itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 November 2012 telah memberikan anugerah sebagai pahlawan nasional kepada Bung Karno. Menurut UU No 20 tahun 2009 tentang Gelar dan Tanda Jasa, lanjut Basarah, syarat pemberian status gelar pahlawan nasional tersebut dapat diberikan kepada tokoh bangsa apabila semasa hidupnya tidak pernah berkhianat kepada bangsa dan negara. (Calvin G. Eben-Haezer)