JAKARTA- Putusan praperadilan Budi Gunawan menimbulkan preseden buruk bagi pemberantasan korupsi. Karena putusan kontroversi ini menjadi jurisprudensi yang memberikan ruang untuk melakukan gugatan praperadilan terhadap obyek penetapan tersangka yang tidak sejalan dengan KUHAP Pasal 77. Demikian, Ketua Setara Institute, Hendardi kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (17/2).
“Dapat segera dibayangkan bahwa para tersangka KPK atau institusi hukum lainnya khususnya tersangka korupsi akan berbondong-bondong mendaftarkan gugatan praperadilan dengan argumentasi sangkaan atas dirinya dianggap tidak sah,” ujarnya.
Menurutnya, putusan pra peradilan BG telah menjadi jurisprudensi bagi perkara pra peradilan lain. Pemberantasan korupsi menjadi semakin gelap apalagi dengan berbagai kriminalisasi terhadap para pimpinan KPK yang belakangan dilakukan terencana dan sistematis.
Menurutnya ada banyak pendapat tentang putusan praperadilan yang diajukan Budi Gunawan (BG). Arus yang menentang praperadilan BG beranggapan bahwa putusan itu cacat karena bertentangan dengan KUHAP. Karena penetapan tersangka bukanlah obyek dari praperadilan.
“Namun, karena tidak ada mekanisme banding atas putusan praperadilan, maka secara formil putusan itu telah memiliki kekuatan hukum tetap dan secara formil memulihkan seluruh hak-hak tersangka, termasuk hak untuk dilantik menjadi Kapolri.
Meskipun secara formil penetapan tersangka itu batal demi hukum, di aras etika politik putusan itu tetap menimbulkan arus penentangan, karena banyak cacat pula dalam proses praperadilan BG,” ujarnya.
Jalan keluar dari kemelut ini menurutnya, tidak ada jalan lain bagi Jokowi untuk melantik BG sebagai Kapolri terlebih dahulu, dengan argumentasi hukum formil bahwa BG pantas menjadi Kapolri karena putusan pengadilan telah membatalkan penetapan dirinya sebagai tersangka. Dengan demikian, maka seluruh proses ketatanegaraan dilalui secara sistematis. Inilah mekanisme yang paling obyektif dan prosedural, karena semua didasarkan pada aras hukum dan sistem ketatanegaraan.
“Tetapi, jika setelah dilantik Jokowi akan mengganti BG sebagai Kapolri dan menggantikannya dengan calon baru, itu kembali kepada hak prerogratif presiden. Jokowi punya kewenangan itu,” katanya.
Menurutnya, langkah-langkah yang diambil akibat putusan praperadilan ini bukan ditujukan untuk menyelamatkan BG yang mengklaim mengalami tindakan sewenang-wenang dari KPK, tetapi yang utama justru untuk menyelamatkan sistem hukum dan sistem ketatanegaraan Indonesia.
“Meskipun putusan praperadilan BG memberikan solusi bagi Jokowi, perlu diingat juga, bahwa putusan tersebut menimbulkan preseden buruk bagi pemberantasan korupsi,” tegasnya. (Enrico N. Abdielli)