JAKARTA- Respons Istana atas Putusan Komisi Informasi Publik (KIP) yg memerintahkan Kemensesneg harus membuka laporan akhir TPF Kasus Munir, yang mengatakan bahwa Kemensesneg tidak mempunyai dokumen tersebut menunjukkan buruknya tata kelola administrasi negara dalam pemerintahan. Mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono perlu menjelaskan dimana dokumen laporan tersebut dan mengapa tidak ada tindak lanjutnya. Hal ini disampaikan oleh Ketua Setara Institute, Hendardi kepada Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (15/10).
“Ingatan publik masih kuat bahwa pada 24 Juni 2005, TPF diterima oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan didampingi antara lain oleh Yusril Ihza Marhendra, Sudi Silalahi, Andi Malarangeng untuk menyerahkan laporan akhir TPF, “ jelasnya.
Jadi, Mantan Anggauta TPF Munir mengatakan, sesuai mandatnya TPF telah menyelesaikan tugas dan menyerahkan laporannya kepada pemberi mandat, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Jika bukan karena administrasi yang buruk, maka patut diduga adanya kesengajaan menghilangkan dokumen tersebut oleh pihak-pihak yang tidak menghendaki penuntasan kasus Muni,” ujarnya.
Hendardi mengingatkan bahwa TPF saat itu merekomendasikan sejumlah nama yg diduga kuat telah melakukan permufakatan jahat membunuh Munir. TPF juga merekomendasikan agar SBY membentuk Tim baru dengan mandat dan kewenangan yang lebih kuat untuk menjangkau koordinasi lintas institusi dan mengawal penuntasan kasus Munir.
“Hilangnya dokumen TPF Munir adalah preseden buruk bagi penegakan HAM di Indonesia, karena saat presiden SBY membentuk TPF dan menghasilkan rekomendasi pun, hasil kerja itu juga belum mampu mengungkap kebenaran dan melimpahkan keadilan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, menyelesaikan kasus pembunuhan yang melibatkan unsur negara seperti kasus Munir memerlukan kemauan politik serius dan keberpihakan pada korban dengan cara memastikan rekomendasi hasil TPF ditindaklanjuti.
“Bagi saya, jika SBY berbesar hati, maka sudah semestinya membantu Jokowi dengan menjelaskan dimana dokumen tersebut berada termasuk menjelaskan motivasi apa yang mendorong penghilangan dokumen tersebut,” katanya.
Sebaliknya, dengan kewenangannya, Presiden Jokowi sebenarnya amat mampu meminta jajarannya untuk menjelaskan keberadaan laporan akhir TPF tersebut.
“Jangan ulangi lagi keteledoran dijaman presiden sebelumnya, karena itu merugikan proses hukum dan keadilan serta masyarakat banyak,” ujarnya (Web Warouw)