JAKARTA- Rencana penerbitan Perppu (Peraturan pengganti Undang-undang) tentang Revisi Undang-undang 15/2003 tentang Pengesahan Perppu 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan langkah reaktif pemerintah yang memanjakan aparat keamanan, khususnya Badan Intelijen Negara (BIN). Demikian Ketua Setara Institute, Hendardi kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (19/1)
“Undang-undang tersebut sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk memberantas terorisme dan terbukti Polri/BNPT selama ini mampu menangani terorisme dan mengurai jaringan teror di Tanah Air,” tegasnya.
Menurutnya, berbagai kekhususan penindakan, kategori alat bukti, dan mekanisme kerja yang disediakan oleh Undang-undang 15/2003 telah menyediakan kemewahan bagi aparat untuk mengatasi terorisme. Demikian juga penindakan terkait pendanaan aksi teror, telah diatur dalam Undang-undang 15/2003 dan Undang-undang No 9/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Teorisme.
“Jadi tidak relevan menjawab teror di Jalan MH. Thamrin dengan menerbitkan Perppu,” ujarnya.
Menurut Hendardi, isu utama pemberantasan terorisme adalah kinerja deradikalisasi yang tidak komprehensif, sinergis, dan berkelanjutan.
“Perppu harus ditolak apalagi dengan rencana pemberian kewenangan pada BIN untuk melakukan penangkapan. BIN adalah pengumpul informasi yang secara cepat dan mekanistik harus disalurkan ke aparat penegak hukum,” ujarnya.
Menurutnya, potensi pelanggaran HAM akan sangat kuat jika pemberantasan terorisme dilakukan membabi buta, termasuk keluar jalur dari sistem peradilan pidana, di mana Polri yg memiliki kewenangan menegakkan hukum.
“Jadi dalam soal penindakan, isu utamanya adalah koordinasi antar institusi keamanan dan ego sektoral antarinstitusi itu yang perlu dihilangkan. Jangan sampai Perppu merusak sistem penegakan hukum yang hanya memperkuat kontestasi antarinstitusi keamanan,” tegasnya.
Alasan kurangnya kewenangan dalam menindak menurutnya, sebenarnya terjawab kalau Polri memaksimalkan jenis tindak pidana percobaan yang diatur dalam Pasal 53 KUHP.
“Setiap dugaan kuat dengan dua alat bukti yang cukup, pelaku bisa ditindak,” ujarnya.
Beberapa waktu lalu kepala Badan Intelejen Nasional (BIN), Sutiyoso meminta agar, ada revisi pada Undang-undang 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sutiyoso meminta agar BIN kembali diberikan kewenangan untuk menangkap dan menahan orang-orang yang dicurigai teroris.
Usulan Sutiyoso ini disambut oleh Menkopolhukam, Luhut Binsar Panjaitan dengan merencanakan revisi pada Undang-undang tersebut. Namun Ketua DPR, Ade Komarudin mengatakan revisi akan memakan waktu lama dan mengusulkan agar dikeluarkan Perppu. (Web Warouw)