Oleh: Dina Nurul Fitria
Berita duka bagi kaum perempuan pasca disahkannya Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD pada 8 Juli lalu. Enam pasal yang berkaitan dengan peranan perempuan di parlemen telah dihapus yakni pasal 95 yang mengatur komposisi pimpinan komisi, pasal 101 terkait komposisi pimpinan Badan Legislasi, pasal 106 tentang komposisi pimpinan Badan Anggaran, pasal 119 tentang komposisi pimpinan Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), pasal 125 tentang komposisi pimpinan Badan Kehormatan, dan pasal 132 terkait komposisi pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT).
Padahal, populasi pemilih perempuan relatif lebih banyak ketimbang pemilih pria, namun, hal ini tidak tercermin dari ketercapaian 30% perempuan di parlemen. Apakah hal ini menjadi pemicu dihilangkannya keenam pasal tersebut?
Perempuan Berpolitik?
Sejarah panjang membuktikan, peranan Perempuan dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan di Indonesia patutlah diberi apresiasi dengan tidak hanya cukup memberikan gelar Pahlawan. Perempuan dengan naluri mengayomi, mengasihi dan melindungi pastilah menyuarakan isi hatinya untuk menentang bentuk-bentuk pelanggaran norma kepatutan yang berlaku di masyarakat. Hal inilah yang sebenarnya nilai tambah bagi penyelenggaraan negara baik di parlemen maupun di pemerintahan.
Namun, apakah memang Perempuan sudah berhasil menyuarakan nuraninya dalam bentuk produk perundang-undangan dan peraturan? Undang-undang yang terbit di Indonesia tentang subyek Perempuan masih bersifat urusan domestik. Sebut saja dimulai dari UU Perkawinan, UU Perlindungan Perempuan dan Anak dan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sedangkan UU yang berpihak kepada Perempuan sebagai faktor produksi yakni UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.
Bandingkan dengan negara demokrasi seperti Amerika Serikat, yang telah cukup maju mendudukkan pemilih perempuan pada peranan yang strategis dalam perumusan kebijakan publik bernuansa feminim, yakni 1). Pemulihan ekonomi pasca krisis keuangan meliputi, pekerjaan, gaji yang setara antara perempuan dan laki-laki; 2). Jaminan sosial yang ditujukan pada kesehatan reproduksi dan keluarga berencana dan 3).Medicare untuk para lansia.
Posisi strategis Perempuan dalam perumusan kebijakan publik betul-betul diperhitungkan dari sekedar persoalan domestik, seperti di Indonesia. Bisa dibayangkan, bila peranan perempuan di parlemen di Indonesia tidak lagi diperhitungkan, akan sulit ditemukan kebijakan publik bernuansa feminim dapat dihasilkan oleh parlemen. Kemenangan Presiden SBY pada Pilpres 2004 dan Pilpres 2009 membuktikan bahwa pemilih perempuan adalah konstituen yang penting untuk diperhitungkan dalam parlemen.
Meratapi Nasib?
Apakah meratapi nasib mengubah keadaan? Pendapat yang mengatakan, “setiap keberhasilan seorang pria ada sosok seorang Ibu atau Istri yang mendukung dengan tulus” adalah benar adanya. Namun, pendapat ini bukan diartikan sebagai Perempuan dibatasi perannya di parlemen dan duduk manis sebagai sosok di balik keberhasilan pria. Apa yang mesti dilakukan oleh Perempuan ketika perannya sudah dihapus dalam parlemen?
Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, perkokoh eksistensi perempuan sebagai pressure group di luar parlemen melalui kritikan tajam setajam silet terhadap apapun kebijakan publik yang tidak bernuansa feminim sebagai produk perundang-undangan dan peraturan. Banyak media saluran aspirasi kritikan tajam antara lain Lembaga Swadaya Masyarakat, pendapat pakar akademisi dan pembentukan opini publik.
Kedua, menggandeng para senator Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang relatif independen dalam menyalurkan aspirasi masyarakat, termasuk Perempuan, untuk ikut serta dalam proses pengawasan pelaksanaan produk UU.
Peranan DPD RI sebagai bentuk mekanisme check and balances dalam penegakkan sistem demokrasi di Indonesia, tentu saja, sangat memperhitungkan Perempuan tidak hanya sebagai Pemilih potensial, melainkan juga sebagai pihak yang tahu banyak persoalan yang menyangkut keberlanjutan kehidupan karena Perempuan dianugerahi Tuhan Yang Maha Kuasa nurani bertahan hidup dan nurani melindungi orang-orang yang mendapat cekaman ketakberdayaan.
Alangkah lebih baik Perempuan bergerak dan bertindak, ketimbang hanya meratapi nasib perlakukan diskriminatif politik parlemen. Toh, istilah Ibu Pertiwi masih tetap ada meskipun peranan Ibu atau Perempuan dalam parlemen sudah dihapus.
* Penulis adalah Teknik Informatika Universitas Al Azhar Indonesia, Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Staf Ahli Komite II DPD RI