JAKARTA- Anggota DPD RI awalnya mempertanyakan kebijakan Presiden RI dalam membangun proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Hal tersebut bertentangan dengan konsep Nawacita Jokowi yang mengutamakan pembangunan dimulai dari pinggiran Indonesia. Kenyataannya pembangunan di pusat Jawa seperti proyek kereta cepat tersebut.
Hal tersebut terungkap dalam Sidang Paripurna Luar Biasa ke-4 DPD RI menghadirkan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno sebagai perwakilan pemerintah dalam menjawab dan menjelaskan atas hak bertanya Anggota DPD RI terkait keputusan pemerintah untuk membangun kereta cepat Jakarta-Bandung sebagaimana dimuat di PP 107 Tahun 2015. Rini Soemarno datang didampingi para Direksi dari konsorsium 4 BUMN (Jasa Marga, PTPN VIII, PT.KAI, PT. WIKA) yang tergabung dalam PT. Pilar Sinergi BUMN Indonesia, di Gedung Nusantara V, Senayan Jakarta, Jum’at (29/1).
Dalam pemaparannya, Rini menegaskan bahwa proyek High Speed Train (HST) sepanjang 142 kilometer (km) tidak ada jaminan pemerintah dan tidak menggunakan APBN.
“Pembangunan proyek kereta api cepat ini benar-benar business to business (B to B), hanya ijin-ijinnya saja yang dibantu pemerintah seperti ijin trase,” urai Rini.
Trase jalur KA Cepat Jakarta-Bandung sendiri memiliki panjang 142,3 km, melalui empat stasiun (Halim, Karawang, Walini, dan Tegalluar), dan satu dipo (Tegalluar). Pemerintah mengharapkan dengan adanya KA Cepat Jakarta-Bandung ini akan meningkatkan pertumbuhan daerah-daerah yang dilewatinya.
Dari segi Joint Venture, Rini menjelaskan Indonesia dan China membentuk perusahaan patungan bernama PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). BUMN Indonesia memiliki 60% dan BUMN China memiliki 40% dalam kepemilikan saham di KCIC, dengan pinjaman jangka panjang selama 50 tahun dari China Development Bank.
Sementara itu, Ketua DPD RI Irman Gusman mengatakan bahwa DPD RI melakukan fungsi pengawasan agar kebijakan pembangunan kereta cepat akan tepat sasaran, tepat guna dan komprehensif. Walaupun masih terdapat penolakan dari beberapa anggota DPD RI terhadap jawaban Menteri BUMN Rini Soemarno, namun ada juga beberapa anggota yang mendukung dengan syarat tidak mengganggu keuangan negara.
”Prinsipnya tidak ada masalah selama tidak melibatkan APBN, kalau B to B kita serahkan saja kepada BUMN. Tadi dilihat sepintas banyak yang menolak, tapi asal tidak mengganggu keuangan negara, dan tidak melupakan pembangunan di daerah lain, catatan-catatan itu yang perlu didalami”, tegas Irman Gusman.
Dalam Sidang Paripurna ini, beberapa anggota DPD RI menyampaikan kegundahan terkait penjelasan pemerintah tersebut. Beberapa anggota DPD RI menanyakan mengenai urgensi pembangunan kereta api cepat, karena menanggap banyak daerah yang lebih membutuhkan prioritas pembangunan, salah satunya di bidang transportasi. Anggota DPD RI dari Jawa Tengah, Ahmad Muqowam mengatakan bahwa pembangunan jangan terlalu memprioritaskan di pulau jawa. Dirinya menggambarkan keadaan transportasi di daerah diluar pulau jawa masih tidak memadai dan belum tersentuh pembangunan.
“Di daerah kondisi transportasi masih memprihatinkan, jangan terlalu memprioritaskan (pembangunan) pada Jawa,” tegas Senator yang juga ketua Komite I DPD RI tersebut.
Senada dengan Ahmad Muqowam, Senator dari Sulawesi Selatan Ajiep Padindang juga mengingatkan agar kebijakan harus berpihak kepada daerah, tidak hanya secara terpusat. Sedangkan Ahmad Nawardi mengkritisi mengenai adanya KA Cepat Jakarta-Bandung yang disebutkan pemerintah akan meningkatkan pertumbuhan daerah-daerah yang dilewatinya. Menurut Senator asal Jawa Timur ini pemerataan pembangunan lebih dibutuhkan di daerah dibandingkan di pusat. “Apakah penting untuk memicu pertumbuhan kota-kota tersebut, padahal banyak kota di daerah yang sangat membutuhkan,” ujarnya.
Selanjutnya, DPD RI akan melakukan pendalaman mengenai proyek kereta cepat ini dalam rapat dengar pendapat antara alat kelengkapan DPD RI dan pemerintah yang akan dilakukan di kemudian hari. Diharapkan kedepannya akan ditemukan mengenai kejelasan tentang proyek kereta cepat ini untuk menjawab kegundahan masyarakat terkait keberadaan proyek tersebut. (Calvin G. Eben-Haezer)