JAKARTA – Wakil Jaksa Agung Feri Wibisono mengatakan, pelaku korupsi akan bertindak cepat dalam mengalihkan aset agar tidak terdeteksi melalui metode money laundering. Hal ini disampaikan Feri dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Perlakuan Terhadap Objek Sita Eksekusi Berkaitan dengan Hak-Hak Pihak Ketiga yang Beritikad Baik”, yang diselenggarakan di ICE BSD pekan ini.
“Pelaku korupsi akan bertindak cepat dalam mengalihkan aset agar tidak terdeteksi melalui metode money laundering,” kata Feri dalam siaran pers, Kamis (26/9/2024).
Oleh karenanya, Feri meminta penyidik harus lebih cepat dalam menyita aset tersebut. Menurut Feri, obyek sita eksekusi dinilai berkaitan dengan benturan rezim publik keuangan negara dengan rezim privat.
Dia menjelaskan, diperlukan langkah-langkah prosedural bagi penyidik dalam rangka melaksanakan sita eksekusi dengan mempertimbangkan Strength (kekuatan), Weakness (kelemahan), Opportunity (peluang) and Thread (ancaman) dan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, sementara itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) Febrie Adriansyah menyampaikan bahwa saat ini penanganan perkara tindak pidana korupsi sudah mengalami pergeseran paradigma.
“Pergeseran paradigma itu, dari semula pemidanaan menjadi fokus kepada pemulihan kerugian negara,” ungkap Febrie.
JAM-Pidsus juga menyampaikan sebagai upaya untuk melaksanakan pemulihan kerugian negara, aparat penegak hukum telah dibekali oleh instrumen penyitaan yaitu sebagaimana diatur pada Pasal 39 KUHAP untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dia menegaskan, Kejaksaan juga memiliki kewenangan dalam melaksanakan sita eksekusi untuk pembayaran pidana denda dan uang pengganti yang telah dipertegas dalam Pasal 30C huruf g Undang-Undang Kejaksaan RI.
“Sita eksekusi tidak lagi memerlukan izin penyitaan dari pengadilan, menjadikan Jaksa sebagai eksekutor harus cermat dan melakukan telaah yang mendalam sebelum suatu aset dilakukan sita eksekusi,” ujar Febrie.
Selanjutnya, Febrie menjelaskan upaya yang dilakukan untuk optimalisasi penyelamatan keuangan negara yang dilakukan oleh bidang tindak pidana khusus. Yaitu dengan mengoptimalkan penanganan perkara tindak pidana korupsi.
“Ini dilaksanakan melalui strategi pertanggungjawaban pidana tidak hanya diarahkan kepada subjek hukum orang perseorangan, akan tetapi juga subjek hukum korporasi,” lanjutnya.
Dia menambahkan, pemidanaan dilakukan dengan tujuan tidak hanya diarahkan kepada subjek hukum orang perseorangan, tetapi juga subyek hukum korporasi guna memunculkan efek penjeraan.
“Selain itu juga akan menghasilkan pendapatan negara karena korporasi sebagai pelaku tindak pidana akan dihukum untuk membayar denda,” imbuh dia.
Febrie menambahkan, sejauh ini Kejaksaan RI melalui JAM Pidsus telah menyetorkan Penerimaaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 3,78 triliun. Angka tersebut melebihi target PNBP dari tahun sebelumnya. (Enrico N. Abdielli)