JAKARTA- Sejak tahun 2012 hingga 2016, Indonesia Corrution Wacth (ICW secara rutin melakukan pemantauan dan pengumpulan data vonis tindak pidana korupsiĀ mulai tingkat Pengadilan Tipikor (dan sebelumnya juga Pengadilan Umum), Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung baik kasasi maupun peninjauan kembali (PK). Melalui pemantauan ini, dapat diidentifikasi siapa yang paling banyak melakukan korupsi, putusan pengadilan paling berat bagi koruptor, rataārata putusan pengadilan bagi koruptor, dan potensi kerugian negara. Bergelora.com menurunkan hasil pemantauan ini agar menjadi perhatian masyarakat luas.
Korupsi Tahun 2016
Pada tahun 2016, ICW telah melakukan pemantauan terhadap 573 putusan perkara korupsi dengan sebaran putusan, Pengadilan Tingkat I (420 Putusan), Pengadilan Tingkat Banding (121 Putusan) dan Mahkamah Agung (32 Putusan). Adapun terdakwa yang telah diputus oleh pengadilan, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali adalah Pengadilan Tipikor Tingkat I, 467 Orang dengan 420 Putusan. Pengadilan Tipikor Banding 133 Orang dengan 121 Putusan (21,12 %). Mahkamah Agung 32 Orang dengan 32 Putusan.
Dari 573 perkara korupsi yang berhasil terpantau nilai kerugian negara yang timbul adalah Rp. 3.085.491.163.365.00. Suap sejumlah Rp. 2.605.000.000.00 dan USD 212.000 dan SGD 128.700. Jumlah denda Rp.60.665.000.000.00, dan jumlah uang pengganti sebesar Rp. 720.269.569.276.00.
Vonis Tipikor 2016
Jika hukuman bersalah terhadap koruptor didasarkan pada kategori, maka ICW membagi dalam 3 kelompok yaitu ringan (<1ā4 tahun penjara), sedang (>4ā10 tahun penjara), dan berat (diatas 10 tahun penjara). Kategori ringan didasarkan pada pertimbangan bahwa hukuman minamal penjara dalam Pasal 3 UU Tipikor adalah 4 tahun penjara. Maka hukuman 4 tahun kebawah masuk kategori ringan. Sedangkan vonis masuk kategori sedang adalah vonis diatas 4 tahun hingga 10 tahun. Masuk kategori vonis berat adalah kasus korupsi yang divonis diatas 10 tahun penjara.
Dalam pantauan ICW rata-rata vonis tahun 2016 berbeda ditiap tingkatan. Pada tingkat pertama rata-rata vonis adalah 1 tahun 11 bulan. Sedangkan pada tingkat banding adalah 2 tahun 6 bulan penjara dan ditingkat kasasi adalah selama 4 tahun 1 bulan.
Ada kecenderungan rataārata vonis semakin meningkat jika ditahap banding atau kasasi. Namun secara keseluruhan (3 tingkatan pengadilan) rataārata vonis untuk koruptor selama tahun 2016 masih tergolong ringan atau 2 tahun 2 bulan penjara.
Rataārata hukuman Pengadilan Tipikor Tingkat Pertama 1 tahun 11 bulan. Pengadilan Tipikor Banding 2 tahun 6 bulan. Mahkamah Agung 4 tahun 1 bulan.
Ā
Putusan Pengadilan Tingkat Pertama Tipikor tahun 2016, yang paling banyak jumlahnya jika dibandingkan dengan putusan ditingkatan Banding (Pengadilan Tinggi) dan Kasasi/Peninjauan Kembali (Mahkamah Agung). Dari 420 putusan pengadilan tipikor tingkat pertama yang ditemukan sepanjang tahun 2016, mayoritas terdakwa dihukum dalam klasifikasi hukuman ringan (0 hingga 4 tahun penjara) yaitu sebanyak 354 orang (75,80%). Sedangkan untuk kategori hukuman Sedang (Lebih dari 4 tahun hingga 10 Tahun) sebanyak 36 orang (7,71%). Berat (Lebih dari 10 tahun) sebanyak 4 orang (0,86%) dan 49 orang (10,49%) dibebaskan oleh pengadilan tipikor tingkat pertama.
Putusan Pengadilan Tingkat Banding Tipikor tahun 2016, Dalam tingkatan ini 121 putusan pengadilan / 133 orang terdakwa berhasil ditemukan. Dalam tingkatan pengadilan banding, mayoritas terdakwa divonis dalam kategori hukuman yang ringan (0 hingga 4 tahun penjara) yaitu sebanyak 80 orang (60,15%). Diurutan kedua adalah terdakwa yang dihukum dalam kategori hukuman sedang (Lebih dari 4 ā 10 tahun penjara) yaitu sebanyak 22 orang (16,54%). Sebanyak 17 orang (12,78%) dihukum dalam hukuman berat (lebih dari 10 tahun penjara).
Putusan Mahkamah Agung tahun 2016, Tidak jauh berbeda dengan pengadilan tipikor tingkat pertama dan banding. Mahkamah Agung juga cinderung menjatuhkan hukuman kategori ringan sepanjang tahun 2016. Tercatat dari total 32 orang terdakwa. Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman ringan (0 hingga 4 tahun penjara) kepada 14 orang terdakwa (43,75%). Meskipun menjadi yang terbesar, namun jumlah ini tidak terlalu jauh berbeda dengan jumlah terdakwa yang dihukum dalam kategori sedang (Lebih dari 4 tahun hingga 10 tahun penjara) yaitu sebanyak 10 orang (31,25%). Sebanyak 3 orang (9,38%) dihukum dalam rentang hukuman berat (Lebih dari 10 tahun penjara). Mahkamah Agung juga membebaskan 1 orang terdakwa perkara korupsi di tahun 2016.
Data diatas jika diperbandingkan dengan putusan pengadilan tipikor tahun 2013 hingga 2015 menunjukkan kesamaan gambaran. Tercatat sejak tahun 2013 hingga 2015, mayoritas terdakwa yang diadili di pengadilan tipikor tingkat pertama dihukum ringan. Jumlah terdakwa yang dihukum dalam kategori hukuman ringan sangat banyak jumlahnya dibandingkan dengan kategori hukuman sedang atau berat.
Kondisi ini juga terjadi pada pengadilan tipikor tingkat banding dan Mahkamah Agung. Secara keseluruhan ketiga tingkatan pengadilan tipikor lebih cinderung menghukum ringan terdakwa kasus korupsi. Pengadilan tipikor harusnya berkaca pada semangat pengadilan militer, yang menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada Brigjen Teddy Hernayadi yang melakukan korupsi pengadaan alutsista sebanyak USD 12 Juta. (1 Desember 2016).
Tren Pidana
Jika disebar tren pemidanaan bagi terdakwa perkara korupsi sepanjang tahun 2016 maka corak sebarannya akan terlihat sebanyak 273 Terdakwa divonis ringan yaitu hukuman pidana penjara 0 ā 1 tahun 6 bulan. Jumlah ini menjadi yang terbanyak setelah hukuman pidana penjara > 1 tahun 5 bulan ā 2 tahun sebanyak 73 terdakwa. Jumlah ini sama dengan kategori hukuman > 3 tahun 6 bulan ā 4 tahun. Tidak banyak terdakwa korupsi yang dihukum > 4 tahun (kategori hukuman sedang dan hukuman berat).
Untuk kategori sedang, hukuman pidana penjara yang paling banyak dikenakan oleh pengadilan tipikor adalah pidana penjara > 4 tahun 6 bulan ā 5 tahun yaitu sebanyak 26 Terdakwa. Sedangkan untuk kategori hukuman berat, pengadilan tipikor menjatuhkan hukuman > 12 tahun ā 15 tahun kepada 7 terdakwa tipikor. Secara keseluruhan kategori hukuman bagi terdakwa korupsi masih tergolong ringan (Sama dengan atau kurang dari 4 tahun).
Denda & Uang Pengganti
Selain penjatuhan pidana denda bagi terdakwa kasus korupsi, pidana denda merupakan pidana pokok yang dikenakan kepada Terdakwa. Tahun 2016, mayoritas terdakwa yang dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman pidana dikenakan denda minimal, yaitu berkisar antara Rp 0 hingga Rp 50 Juta sebanyak 346 orang terdakwa.
Meskipun mayoritas dikenakan pidana denda minimal, namun cukup banyak yang dikenakan denda dalam kisaran Rp 150 Juta hingga Rp 200 Juta yaitu sebanyak 100 orang terdakwa. Sayangnya, dalam pelaksanaan pembayaran denda sering terhambat karena terdakwa lebih memilih untuk menjalani pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda.
Seperti halnya denda, penjatuhan uang pengganti bagi terdakwa merupakan salah satu bentuk pidana tambahan yang diatur dalam KUHP. Pada prinsipnya penjatuhan uang pengganti bertujuan untuk merampas harta kekayaan yang diperoleh terdakwa
dalam perkara korupsi. Di tahun 2016, setidaknya ada total Rp. 720.269.569.276 yang merupakan uang pengganti perkara korupsi. Dari total 573 putusan yang berhasil ditelusuri sepanjang 2016, hanya ada 246 putusan yang menjatuhkan kewajiban pembayaran uang pengganti. Jumlah tersebut kurang dari setengah total putusan sepanjang 2016.
Jumlah kewajiban uang pengganti tersebut lebih kecil dibandingkan dengan total uang pengganti yang tercatat di tahun 2015. Dari total 483 putusan, pengadilan menjatuhkan kewajiban uang pengganti terhadap 183 putusan yang divonis sepanjang tahun 2015 dengan total uang pengganti sebesar Rp. 1.542.360.967.116.00 (Rp. 1,542 Triliun). Sedangkan di tahun 2014, dari total 373 putusan pengadilan, hanya 164 putusan yang meliputi kewajiban pembayan uang pengganti sebesar Rp. 1.491.269.831.925. (Rp 1,491 Triliun).
Jika berkaca pada penggunaan pasal dalam perkara korupsi sepanjang 2016, penggunaan Pasal 2 dan Pasal 3 adalah yang paling mendominasi. Dalam konstruksi pasal tersebut terdapat unsur āmenguntungkan diri sendiri/orang lain/korporasiā, dengan demikian perlunya pembuktian adanya hasil kejahatan yang dinikmati oleh terdakwa. Dengan begitu penggunaan kedua pasal tersebut juga sudah sewajarnya dibarengi dengan penggunaan Pasal 18 yang mengatur tentang kewajiban uang pengganti
sebagai maksud merampas hasil kejahatan korupsi. Sayangnya tidak banyak putusan pengadilan di tahun 2016 yang mewajibkan terdakwa membayar uang pengganti. Selain itu juga, dalam hal tuntutan tidak semua perkara dituntut untuk membayar uang pengganti.
Putusan Bebas
Seperti halnya tahun terdahulu, tahun 2016 juga diwarnai dengan cukup banyaknya putusan bebas dan lepas yang dikeluarkan oleh pengadilan tipikor. Tercatat ada 56 terdakwa yang dibebaskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor. Putusan bebas terjadi di Pengadilan Tipikor Makassar (20), Pengadilan Tinggi Jayapura (6),Pengadilan Tipikor Aceh (6), Pengadilan Tipikor Palu 4, Pengadilan Tipikor Ternate (4), Pengadilan Tipikor Pekanbaru (3) Pengadilan Tipikor Gorontalo (2), Pengadilan Tipikor Bandung (2), Pengadilan Tipikor Surabaya (1), Pengadilan Tipikor Tanjung Karang (1), Pengadilan Tipikor Jambi (1), Pengadilan Tipikor Palembang (1),Pengadilan Tipikor Kupang (1), Pengadilan Tipikor Manado (1), Pengadilan Tipikor Ambon (1), Pengadilan Tipikor Padang (1), Mahkamah Agung (1).Totalo 56 kasus diputus bebas atau lepas.
Pengadilan terbanyak yang menjatuhkan vonis bebas adalah pengadilan tipikor 20 orang terdakwa. Mahkamah Agung juga tercatat pernah membebaskan seorang terdakwa korupsi. Mahkamah Agung membebaskan Adam Rahayan, Mantan Walikota Tual yang merugikan keuangan negara sekitar Rp. 5,785,000,000.00 dalam perkara korupsi dana asuransi anggota DPRD Maluku Tenggara periode 1999-Āā2004.
Jumlah terdakwa yang dibebaskan oleh pengadilan diperkiran lebih besar jumlahnya mengingat masih banyak putusan pengadilan yang tidak diperoleh sepanjang 2016.
Pidana Diatas Tuntutan
Dalam praktik penjatuhan hukuman bagi terdakwa kasus korupsi, seringkali hakim menjatuhkan hukuman 2/3 dari tuntutan jaksa. Hal ini merupakan praktik yang lazim terjadi dan merupakan konsekuensi dari kekosongan aturan tentang pedoman pemidanaan. Meskipun seringkali menjatuhkan hukuman dibawah tuntutan jaksa, namun pengadilan juga tak jarang menjatuhkan hukuman lebih tinggi dari tuntutan yang diajukan jaksa. Sedikitnya ada 12 orang terdakwa yang harus menerima hukuman lebih tinggi dari pada tuntutan jaksa.
Vonis yang lebih tinggi dari tuntutan jaksa setidaknya menunjukkan 2 persoalan penting. Pertama, jaksa tidak optimal dalam melakukan penuntutan. Kedua, majelis hakim tidak menjadikan tuntutan sebagai rujukan dalam menjatuhkan putusan dan tidak memiliki panduan yang cukup dapat dipertanggungjawabkan. Selain banyaknya putusan diatas tuntutan, namun banyak juga putusan pengadilan yang jauh dari tuntutan jaksa, dan seringkali kurang dari setengah tuntutan jaksa. Tercatat sedikitnya ada 59 terdakwa yang dihukum jauh dari tuntutan jaksa. Lengkapnya catatan ICW dapat dilihat di : http://www.antikorupsi.org/ (Web Warouw)
Ā