Sabtu, 14 September 2024

IKN MASIH RAWAN NIH..! Chappy Hakim: Desain Pertahanan Udara Harus “Compact” dan Hi-tech

JAKARTA – Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia yang juga mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim menilai desain pertahanan udara di Indonesia harus menyeluruh (compact) dan mengadopsi teknologi-teknologi mutakhir (high technology/hi-tech).

Alasannya, dia menjelaskan karakter ancaman serangan udara saat ini berkembang dan telah mengadopsi teknologi seperti low orbit satellite (LEO) dan drone (pesawat nirawak).

“Penerbangan-penerbangan liar, sekarang tidak perlu lagi pesawat. Pengintaian itu sudah sangat mudah dilakukan. Dengan satelit? No! Sekarang dengan low orbit satellite. Itu sebabnya desain dari pertahanan udara harus compact dan harus hi-tech,” kata Chappy Hakim saat menjawab pertanyaan dalam acara seminar yang digelar Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) di Jakarta, Kamis (25/5).

Oleh karena itu, jika Indonesia tertinggal mengikuti kemajuan teknologi yang berpengaruh pada perkembangan karakter ancaman yang ada, maka aparatur yang menjaga keamanan dan kedaulatan NKRI terutama di wilayah udara akan mengalami kesulitan.

“Benar bahwa hanud (pertahanan udara) titik mungkin sudah tidak memadai lagi, karena radius dari hanud titik itu sudah dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, kemampuan drone, kemampuan teknologi di cyber war yang telah mengabaikan semua hal-hal yang konvensional,” tutur mantan Kepala Staf TNI AU itu.

Dalam kesempatan yang sama, dia menegaskan kemajuan teknologi memengaruhi kemampuan militer suatu negara untuk mendeteksi, mengidentifikasi, menghalau (intercept), dan menghancurkan (destruct) ancaman/serangan musuh. Empat poin itu merupakan prinsip utama dari pertahanan ruang udara (air defense).

“Kalau kita bicara tentang cyber, maka kita bicara tentang drone. Kalau kita bicara tentang drone, yang sekarang ini sudah bisa mendekati kemampuan pesawat tempur, maka kita bisa menyadari bahwa sampai sekarang, 5–10 tahun belakangan ini kita tidak mendengar lagi desain pesawat tempur yang baru. 20–30 tahun yang lalu kita dengar ada Raptor, F-35, mengapa, karena mereka berpindah ke drone. Mengapa? Karena sudah masuk cyber war. Dalam konteks ini, secara teknis peran deteksi itu menjadi dominan,” ujar Chappy Hakim.

Kemampuan mendeteksi ancaman, Chappy menambahkan, kemudian menjadi hal paling utama dalam memperkuat pertahanan udara, yang mana itu perlu didukung dengan adopsi teknologi-teknologi yang mutakhir.

IKN Nusantara Masih Rawan

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Chappy menjelaskan wilayah Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur berada di wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II yang merupakan perairan terbuka sebagaimana diatur dan dilindungi dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.

Walaupun demikian, Chappy menjelaskan masih ada perdebatan (dispute) dalam memahami keterbukaan wilayah perairan yang diatur UNCLOS dengan kedaulatan ruang udara suatu negara yang disepakati oleh negara-negara dalam Konvensi Chicago 1944.

“IKN berdekatan dengan ALKI alur laut kepulauan Indonesia, dan kalau bicara ALKI kita bicara hukum udara internasional, hukum laut internasional, dan masih ada dispute di situ. UNCLOS memberi pengakuan kita sebagai negara kepulauan dengan satu imbalan-nya, persyaratan-nya, kita harus memberikan innocent passage. Kita harus memberi jalur bebas melintas. Itu hukum laut,” tutur Chappy Hakim.

Namun, hukum udara internasional, sebagaimana disepakati dalam Konvensi Chicago 1944, tidak mengenal ruang udara yang bebas.

“Konvensi Chicago mengatakan national air sovereignty is complete and exclusive (kedaulatan ruang udara nasional penuh dan eksklusif),” kata mantan Kepala Staf TNI AU itu.

Dia menjelaskan persoalan muncul karena innocent passage (perairan bebas dan terbuka) yang diatur oleh UNCLOS juga memfasilitasi pesawat-pesawat yang diangkut kapal-kapal untuk terbang dan melintas.

“Hukum udara internasional tidak mengenal itu. Hukum udara internasional tidak mengenal innocent passage, tidak mengenal jalur bebas. Itu sebabnya kerawanan IKN akan bertambah dengan adanya alur laut kepulauan Indonesia, yang ALKI II,” ujar Chappy Hakim.

Dia lanjut menilai kerawanan ruang udara IKN bertambah ketika ada ancaman penerbangan liar/penerbangan tanpa izin, misalnya, yang melintas dari kawasan Selat Malaka.

“Kita sulit mendeteksi karena di wilayah Selat Malaka wilayah kedaulatan kita pengelolaannya didelegasikan ke negara lain untuk 25 tahun, dan (dapat) diperpanjang,” kata dia.

Indonesia pada awal 2022 mengambil alih sebagian pelayanan ruang udara (FIR) di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna yang sebelumnya dikelola oleh Otoritas Navigasi Penerbangan Singapura mulai dari ketinggian 37.000 kaki ke atas.

Namun, Singapura masih mengelola dan menggunakan ruang udara Indonesia ketika pesawat lepas landas dari bandara Singapura karena Pelayanan jasa penerbangan (PJP) di ketinggian 0-37.000 kaki didelegasikan kepada Singapura selama 25 tahun ke depan dan itu dapat diperpanjang.

Sejak 1946, sebagian FIR wilayah Barat Indonesia, yaitu di Kepulauan Riau, Tanjungpinang, dan Natuna berada di bawah kendali Singapura. Kondisi itu membuat pesawat Indonesia harus melapor ke otoritas Singapura jika ingin melintas wilayah tersebut. (Enrico N. Abdielli)

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru