JAKARTA– Untuk menjaga stabilitas ketenagakerjaan nasional, peran pengawas ketenagakerjaan menjadi teramat penting. Pasalnya, pengawas ketenagakerjaan di Indonesia saat ini hanya berjumlah 1.776 orang. Mereka bertugas mengawasi 265.209 perusahaan. Idealnya, dibutuhkan 4.452 petugas pengawas ketenagakerjaan sehingga masih ada kekurangan 2.676 orang pengawas. Hal tersebut disampaikan oleh Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Binwasnaker dan K3) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Maruli Hasoloan saat membuka acara Pertemuan Balai K3 Jakarta dengan Pengawas Ketenagakerjaan di Jakarta, Kamis (9/3).
“Saya optimis pengawasan K3 di pusat dan daerah akan semakin baik khususnya dengan terbitnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang memperkuat peran, fungsi, dan independensi pengawas ketenagakerjaan,” jelas Maruli.
Dia menambahkan, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, 155 kabupaten/kota belum memiliki pengawas ketenagakerjaan.
Sementara itu, saat ini lebih dari 40.000 bahan kimia digunakan di industri. Semua itu berdampak bagi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja serta berpotensi menimbulkan Penyakit Akibat Kerja (PAK).
Pengawasan dengan pengukuran dan pengujian lingkungan kerja sangat diperlukan mengingat lingkungan kerja harus memenuhi Nilai Ambang Batas (NAB) agar tidak memberikan dampak gangguan kesehatan tenaga kerja.
“Perlu dilakukan langkah-langkah konkret dalam pengawasan, yang menjamin penerapan K3 serta penegakan peraturan K3 di tempat kerja,” tegas Maruli.
Hal tersebut perlu dilakukan karena pengetahuan tentang K3 pada pekerja sangat rendah. Sebagian besar tenaga kerja Indonesia baru mengetahui masalah K3 setelah memasuki dunia kerja, padahal pendidikan K3 perlu dilakukan sejak dini.
“Akar permasalahan K3 di Indonesia adalah rendahnya kesadaran akan pentingnya penerapan K3 di kalangan industri dan masyarakat. K3 belum menjadi budaya dalam bekerja,” tutup beliau.
Norma Ketenagakerjaan
Menurutnya, kebijakan penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) bertujuan untuk menciptakan budaya K3 di tempat kerja, dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan atau penyakit akibat kerja. Dengan demikian, diharapkan efisiensi dan produktivitas seluruh komponen perusahaan dapat berjalan secara optimal. Untuk itu, diperlukan sinergi antara Pengawas Ketenagakerjaan dan Balai K3 untuk memastikan tegaknya norma ketenagakerjaan, khususnya dalam bidang K3.
Hubungan erat antara Pengawas Ketenagakerjaan dengan Balai K3 ini, jelas Dirjen Maruli, terletak pada fungsi keduanya yang menjalankan fungsi publik. Yakni sama-sama bertugas untuk memastikan tegaknya norma hukum ketenagakerjaan.
“Pengawas mempunyai fungsi publik. Membuat aturan, menegakkan, dan ujung-ujungnya adalah kepatuhan itu sendiri atau law enforcement,” jelas Dirjen Maruli.
Ia melanjutkan, dewasa ini, kompetensi dan tuntutan akan standar bagi perusahaan semakin tinggi, termasuk penerapan K3 di lingkungan perusahaan. Hal ini tentunya menjadi cambuk semangat bagi perusahaan untuk menerapkan kompetensi dan standarisasi tersebut. Oleh karenanya, sinergi antara Pengawas Ketenagakerjaan dan Balai K3 sangat penting untuk memastikan tegaknya norma ketenagakerjaan, khususnya dalam bidang K3.
Kepada Bergelora.com dilaporkan, sinergitas itu sangat penting, mengingat besarnya jumlah perusahaan dan tenaga kerja yang menjadi obyek pengawasan. Selain itu, resiko-resiko yang muncul di lingkungan kerja pun semakin berkembang.
Untuk itu, sinergitas tersebut harus tercapai dalam beberapa aspek. Diantaranya adalah aspek kelembagaan, personal, sarana dan pra sarana, mekanisme pengawasan dan tata kerja, serta hubungan internal dan eksternal antar keduanya.
“Sehingga pengawas ketenagakerjaan baik yang di pusat maupun daerah, sekali lagi, harus menangani hal-hal yang terkait dengan norma ketenagakerjaan,” paparnya. (Joko S)