JAKARTA- Sebanyak 11 rumah sakit pemerintah disiapkan untuk memberikan layanan stem cell (sel punca) bagi pasien yang membutuhkan. Pada dasarnya beberapa penyakit dapat diterapi menggunakan stem cell, berdasarkan konsorsium, prioritas penatalaksanaan terapi penyakit degeneratif yang mengiringi proses penuaan seperti adalah diabetes militus (kencing manis),penyakit sistem saraf pusat dan syaraf tepi, osteoartritis (sakit dipersendian), trauma muskuloskeletal (sakit pada otot), penyakit jantung, dan penyakit degeneratif lain. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Kementerian Kesehatan Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (24/2).
Ia menjelaskan bahwa dalam Permenkes No 32 tahun 2014 tentang ‘Penetapan Rumah Sakit Pusat Pengembangan Pelayanan Medis Penelitian dan Pendidikan Bank Jaringan dan Sel Punca’ telah ditunjuk 11 rumah sakit itu adalah
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Rumah Sakit Soetomo Surabaya, Rumah Sakit. Jantung Harapan Kita Jakarta, Rumah Sakit Fatmawati Jakarta, Rumah Sakit Persahabatan Jakarta, Rumah Sakit Kanker Darmais Jakarta, Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, Rumah Sakit Karyadi Semarang, Rumah Sakit Sarjito Jogjakarta, Rumah Sakit Sanglah Bali dan Rumah Sakit M. Djamil Padang.
“Di negara kita Terapi stem cell pada kulit pertama kali dilakukan seperti pada luka bakar dan ulkus (luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lendir) pada diabetes. Pasien bisa ker rumah sakit yang ditunjuk pemerrintah,” ujarnya.
Ia menjelaskan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI, Laboratorium Sel Punca baru resmi berdiri sekitar tahun 2011. Komite sel punca juga sudah terbentuk di Kementerian Kesehatan.
Di Indonesia sendiri, institusi riset sel punca yang berkembang antara lain Tropic Disease Center (TDC, Pusat Penyakit Tropis) UNAIR, Stem Cell & Cancer Institute (SCI), Pulomas Jakarta, beberapa universitas seperti IPB Bogor, UI, UGM, UNDIP Semarang, UNIBRAW Malang dan beberapa badan pemerintah seperti Laboratorium Sel Punca Balitbangkes Kemenkes RI, BATAN dan lainnya.
“Terapi stem cell di Indonesia, merujuk pada Permenkes No 833/834 tahun 2009 maka pelayanan stem cell di Indonesia merupakan pelayanan berbasis penelitian. Sehingga pelaksanaannya harus diawasi oleh rumah sakit pendidikan yang telah ditunjuk,” jelasnya.
Tjandra Yoga menjelaskan, stem cells atau sel punca merupakan sel yang pertumbuhannya belum diarahkan (unspecialized, undifferentiated). Secara umum, sel punca memiliki sifat imunogenik yang rendah sehingga tidak menimbulkan penolakan ketika sel terebut ditransplantasikan.
Kemampuan Sel Punca
Sel punca memiliki dua ciri khas yaitu mampu memperbaharui diri (self renewal, regeneration) dalam biakan untuk waktu yang tidak terbatas. Sel punca juga mampu menghasilkan beraneka-ragam keturunan spesifik (generate differentiated progeny).
Sel punca dibagi dalam 3 kelompok, yaitu sel punca embrionik (embryonic stem cell),
sel punca dewasa (adult stem cell) dan sel punca hasil reprogram sel somatik (induced pluripotent stem cell).
“Donor dan sumber sel punca dapat bersifat Autolog yaitu sumber sel punca berasal dari tubuh resipien (pasien) sendiri atau kembar identik sehingga risiko imunologis/penolakan dapat dihindari. Saat ini, baru penggunaan sumber autolog yang sudah disetujui untuk digunakan dalam pelayanan berbasis-sel punca,” jelasnya.
Selain itu juga sumber sel punca bisa berasal dari orang lain (Allogenik) sehingga reaksi imunologis masih dapat terjadi. Xenogenikadalah sumber sel punca berasal dari spesies makhluk hidup lain, misalnya dari sel punca kelinci dan ditranplantasikan ke manusia.
“Mengingat besarnya risiko yang dijumpai terkait pengunaan xenotranplantasi, sumber sel punca dari spesies yang berbeda sudah dilarang penggunaannya di beberapa negara, terutama dalam pelayanan klinis,” jelasnya.
Dalam ilmu kedokteran sel punca dimanfaatkan untuk berbagai macam tujuan antara lain penelitian biomedik, pengembangan obat dan pengujian toksisitas dan upaya pengobatan. (Enrico N. Abdielli)