SOLO- Indonesia menempati posisi sebagai negara terburuk didunia dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hasil riset ini disampaikan oleh anggota Komisi XI, DPR-RI, Eva Kusuma Sundari di Solo, Kamis (11/8) mengutip penelitian sebuah lembaga penelitian yang berbasis di Washington, Amerika Serikat, PEW Research Center’s Forum on Religion “Trends in Religious Restrictions and Hostilities 2015”
Kepada Bergelora.com dilaporkan, Eva Sundari memaparkan fakta tersebut dalam pertemuan Asia Foundation dengan 16 mitranya dalam program PROSPECT yang bekerja untuk peningkatan perlindungan dan penghormatan terhadap kebebasan beragama serta HAM di Indonesia.
Eva Sundari menjelaskan penempatan Indonesia ini diukur dari tingkat kebebasan beragama di 25 negara berpenduduk terbesar di dunia. Riset berdasar 2 faktor yaitu jumlah kekerasan oleh masyarakat sipil (Social Hostilities) dan regulasi pemerintah yang membatasi (Government Restrictions),– menempatkan Indonesia pada kuadran terburuk di dunia karena kedua indikator menempati posisi tertinggi.
“Masyarakat internasional mulai meletakkan Indonesia sebagai kasus serius di arena global. Jadi berbangga diri bahwa kita sebagai model masyarakat toleran jadi ironi dan paradoks. Dalam riset yang sama, ditemukan korelasi negatif antara tingkat kemakmuran (HDI) dengan tingkat kekerasan berbasis agama,” ujar Eva Sundari.
Wakil Koordinator Kaukus Pancasila DPR RI ini menjelaskan, konflik kekerasan agama mayoritas terhadap minoritas bersifat dinamis yaitu korban di Indonesia Barat bisa menjadi kelompok pelaku di Indonesia Timur. Maka pilihan rasional untuk strategi penyelesaiannya harus berdasar konstitusi, bukan berbasiskan agama tertentu.
“Patokannya seharusnya Pancasila dan pilar-pilar berbangsa dan bernegara sebagai titik temu beragam agama,” tegasnya.
Hal ini disepakati oleh Ketua Komnasham, Imdadun Rahmat yang mengatakan, “Para pemimpin daerah sering terlibat deal-deal di bawah meja berupa kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap agama minoritas di daerah tersebut jika kelak si calon menang.”
Pendekatan berdasar konstitusional tersebut disetujui oleh para peserta yang semuanya aktivis lapangan untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan. Beberapa menceritakan kegagalan pengajaran pluralisme dan inklusivitas menggunakan dalam perspektif Hak Azasi Manusia di sekolah.
“Pendekatan konstitusi adalah bagaimana Pancasila bisa diturunkan ke level ethos (pelaksanaan) bukan sekedar logos (pengetahuan) dan pathos (penghayatan) saja seperti sosialisasi MPR selama ini,” demikian Imdadun Rahmat.
Dalam pengalaman Komnasham melakukan advokasi kasus-kasus kekerasan berbasis agama, Imdadun menyarankan DPR untuk memastikan Pancasila diintegrasikan kedalam legislasi yaitu menjadi norma-norma dalam produk perundangan.
“Tidak cukup di level konsep atau prinsip-prinisip. Tapi Pancasila dan UUD harus jadi norma hukum supaya memudahkan penegak hukum menjalankan perlindungan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan/berkepercayaan, ” ungkap Ketua Komnasham tersebut. (Prijo Wasono)