JAKARTA- Kegiatan anak usaha PT Pertamina (Persero), Pertamina Energy Trading Limited (Petral) sudah dihentikan. Proses likuidasi perusahaan berdomisili di Singapura ini mulai dilakukan. Pembubaran Petral oleh pemerintah adalah langkah yang tepat. Demikian Direktur Eksekutif Indonesia Mining and Energi Studies (IMES), Erwin Usman kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (14/5).
“Namun mesti diwaspadai, jangan sampai fungsi Petral diserahkan ke badan bernama PT Pertamina Integrated Supply Chain (ISC Pertamina) yang pernah dipimpin Sudirman, sebelum jadi Menteri ESDM sebelum diberhentikan,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa Tim Reformasi Tata Kelola Migas (RTKM) sudah mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan Integrated Suppy Chain (ISC) Pertamina merugi dalam hal pengadaan dan tender.
“Pertamina dalam pengadaan LPG atau BBM selalu merugi dikarenakan beberapa kemungkinan. Pertama, ada trader perantara yang selalu dimenangkan dan diduga mafia migas,” jelas Erwin Usman mengutip anggota Tim RTKM, Fahmi Rahdi, beberap waktu lalu.
Menurutnya, Pertamina kerap merugi dikarenakan adanya kesalahan dalam inventory manajemen. Seperti tidak bisa memperkirakan harga, selalu membeli dengan harga tinggi dan menjualnya dengan harga rendah.
“Pertamina tidak bisa memperkirakan harga. Selalu beralasan beli di harga tinggi lalu menjual dengan harga rendah. Nah kerugian tadi itu akibat manajemen Pertamina sendiri,” lanjut Fahmi.
Erwin Usman mengingatkan bahwa Petral selama ini menjadi sarang mafia migas dan bancakan elit politik. Reformasi sektor migas, salah satunya mesti dimulai dengan pembubaran disertai audit investigatif atas kinerja Petral selama beroperasi. Jika ada temuan pidana segera diproses hukum.
“Masyarakat memantau keseriusan penegak hukum dan pemerintahan Joko Widodo untuk mengaudit Petral,” ujarnya.
Menurutnya, putaran uang di sektor migas ini mencapai Rp 300-500 triliun per tahun. Membiarkan tata kelola dan kontrol atas perniagaan migas di tangan satu badan yang sulit dikontrol seperti Petral, sama dengan memelihara mafia migas dan racun korupsi tumbuh subur dalam industri migas nasional.
Pertamina menurutnya harus sesuai dengan rencana Presiden Joko Widodo dalam Nawacita untuk mewujudkan tata kelola migas yang adil, transparan dan disertai penegakan hukum yang tegas, termasuk pemberantasan mafia.
PT Pertamina (Persero) telah melimpahkan kewenangan Pertamina Energy Trading Limited (Petral) kepada unit Integrated Supply Chain (ISC). Pelimpahan tender penjualan serta pengadaan impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) tersebut diklaim lebih menghemat pengeluaran perusahaan.
“Kita bisa didapatkan penghematan signifikan bagi kegiatan Pertamina, khususnya ekspor impor,” ucap Vice President ISC Pertamina, Daniel Syahputra Purba, saat konferensi pers di Jakarta, Selasa (17/2) Lalu.
Ia menjelaskan, pihaknya juga dapat meningkatkan fleksibilitas dan utilisasi armada transportasi yang dimiliki Pertamina. Bahkan dengan pelimpahan kewenangan tersebut, ungkap dia, perusahaan minyak milik negara ini bisa menghemat anggaran sebanyak USD2,3 juta per pengapalan.
Lebih lanjut, Daniel mengatakan, dengan penghematan tersebut, perusahaan bisa melakukan negosiasi dengan suplier untuk pendanaan letter of credit (L/C).
“Selaku Pertamina dengan rating baik, maka pendanaan untuk LC bisa nego dengan suplier,” jelasnya.
Revitalisasi fungsi ISC ini, sebut Daniel, mendapatkan respons positif dari mitra usaha Pertamina seperti perusahaan minyak nasional (National Oil Company/NOC). Hal ini membuat perusahaan-perusahaan NOC tersebut antusias untuk bekerjasama dengan Pertamina karena proses tender lebih transparan.
“Proses tender pun lebih berjalan transparan, karena dilakukan di Jakarta di kantor Pertamina. Ini mempermudah akses apabila diperlukan accountability dari proses tender yang ada. Jadi lebih transparan,” pungkas Daniel.
Seperti diketahui, mulai 1 Januari 2015 lalu, kewenangan Petral untuk proses pembelian dan penjualan minyak mentah maupun kilang seluruhnya dieksekusi oleh ISC. Dengan demikian, saat ini Petral hanya bertugas sebagai trader. (Enrico N. Abdielli)