Kamis, 1 Mei 2025

JANGAN ASAL REKRUT DAN ASAL DIDIK..! Polri Jamin Proses Seleksi Akpol Transparan

JAKARTA – Polri memastikan proses seleksi Taruna Akademi Kepolisian (Akpol) dilakukan secara transparan. Jumlah pendaftar rekrutmen Akpol saat ini tembus 8.000 orang.

Polri mengatakan, tingginya animo masyarakat rawan dimanfaatkan calo atau pihak tak bertanggung jawab untuk melancarkan penipuan dengan iming-iming bisa membantu pendaftar lolos rekrutmen.

“Per hari ini jumlah pendaftar online untuk Akpol ada 8.016. Kalau secara keseluruhan, pendaftar pada rekrutmen anggota Polri, baik itu Tamtama, Bintara, Akpol, mencapai 116.732 orang, dan paling banyak Bintara,” kata Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Dedi Prasetyo dalam keterangan tertulis, Minggu (2/3/2025).

Dedi mengatakan, sesuai arahan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, bahwasanya jalur untuk masuk Akpol hanya ada satu, yakni jalur reguler. Dengan begitu, diharapkan proses rekrutmen melahirkan taruna-taruna Akpol yang benar-benar mampu menjalani proses pendidikan dan pelatihan selama di Akpol.

“Sesuai arahan pimpinan, tahun ini sama seperti tahun lalu, tidak dilakukan dikotomi lagi, atau friksi-friksi jalur rekpro, jalur reguler, jalur kuota khusus,” ujar dia.

Tahapan rekrutmen anggota Polri transparan karena para calon taruna dapat melihat langsung capaian nilai tes, baik dirinya maupun calon taruna lainnya. Sebab, panitia akan menayangkan nilai-nilai tes secara real time di layar.

“Selesai tes renang, catar (calon taruna) bisa langsung lihat dia berapa detik, nilainya berapa. (Tes) lari juga demikian, dapat berapa putaran, waktunya berapa lama. Tes-tes lainnya pun sama, selesai (tes), nilai langsung keluar. Nilai terpampang di layar, semua bisa melihat,” tutur dia.

Dedi mengatakan, rekrutmen dengan mengedepankan prinsip bersih, transparan, akuntabel, dan humanis (Betah) telah dilakukan sejak bertahun-tahun lalu.

Panitia sengaja menayangkan nilai atau skor agar calon taruna sama-sama bisa saling mengoreksi diri.

“Calon taruna ketika dia merasa nilai tidak sesuai, diberikan kesempatan untuk mengoreksi ke panitia. Mereka juga sudah tahu bobot nilai akademis berapa, psikologi berapa, jasmani berapa. Calon taruna itu bisa menghitung sendiri dengan sistem yang terbuka ini,” kata dia.

Dedi mengatakan, gambaran proses dan metode seleksi perlu diketahui masyarakat. Tujuannya, agar masyarakat sadar bahwa seleksi anggota Polri hanya bertumpu pada kemampuan diri sendiri selama mengikuti tahapan seleksi.

“Kepada seluruh jajaran kami minta terus mengedukasi masyarakat bahwa seleksi anggota Polri itu kuncinya kemampuan diri sendiri. Persiapan yang matang, latihan serius, itu kuncinya,” ujarnya.

Dedi berharap masyarakat tak percaya calo atau siapapun yang menjanjikan masuk Polri dengan imbalan uang. Dia menegaskan ancaman pidana bagi pelaku penipuan.

“Sudah banyak kasus masyarakat tertipu, sudah memberikan sejumlah uang, anaknya gagal (lolos rekrutmen),” ucap dia.

Jangan Asal Didik

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, bukan hanya rekrutmen yang transpran, tapi juga pendidikan yang berkualitas di Polri saat ini sangat dibutuhkan. Hal ini mengingat banyak kasus kejahatan yang melibatkan oknum-oknum polisi di semua tingkatan dari yang paling rendah sampai Jenderal.

Berbagai kasus kejahatan polisi sudah terbuka di masyarakat dari keterlibatan mafia narkoba, mafia korupsi, pembunuhan sepihak sampai penanganan demonstrasi.

Untuk itu rekrutmen dan pendidikan kepolisian harus terus dievaluasi dan diperbaiki. Agar masyaralat mendapatkan pelayanan terbaik dari kepolisian.

Di Bawah 50 Persen

Sebelumnya dilaporkan, hasil survei terbaru Civil Society for Police Watch menunjukkan tingkat kepercayaan publik dan kinerja Polri masih di bawah angka 50 persen.
Oleh karena itu, publik pun mengusulkan sejumlah reposisi Polri yang diharapkan bisa berdampak pada perbaikan kinerja dan peningkatan kepercayaan publik untuk Polri.

“Dari hasil survei lembaga kami, sebanyak 28,7 persen responden yang percaya dengan Polri; sebanyak 3,1 persen sangat percaya;  dan 16,3 persen yang percaya pada Polri. Lalu, responden yang menjawab tidak percaya sebesar 10,6 persen, kurang percaya 34,1 persen. Responden yang menjawab tidak tahu/tidak menjawab sebesar 7,2 persen. Jika diakumulasikan, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri berada di angka 48,1 persen atau masih di bahwa 50 persen,” ujar Inisiator dan Peneliti Civil Society for Police Watch, Hasnu dalam rilis hasil survei bertajuk ‘Pandangan Publik Terhadap Wacana Reposisi Polri’ di Hotel Ibis Budget Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (9/2/2025) lalu.

Begitu juga dengan kinerja Polri yang masih di bawah angka 50 persen. Dari hasil survei, kata Hasnu, responden yang menjawab kinerja Polri cukup baik sebanyak 24,3 persen, sangat baik 4,3 persen dan baik 17,3 persen. Hal ini berarti kinerja Polri berada di angka 45,9 persen.

“Sementara yang menjawab kinerja Polri tidak baik sebanyak 1,6 persen, kurang baik 3,7 persen. Responden yang menjawab tidak tahu/tidak menjawab sebesar 48,8 persen,” ujar Hasnu.

Hasnu mengatakan pihaknya juga memotret kondisi penegakan hukum di Indonesia dengan aktor utamanya Polri, Kejaksaan dan KPK. Dari hasil survei, menunjukkan responden yang menjawab cukup baik sebesar 29,1 persen, sangat baik 4,5 persen, dan baik 18,1 persen. Sementara yang menjawab tidak baik sebesar 2,3 persen, kurang baik 37,4 persen.

Responden yang menjawab tidak tahu/tidak menjawab sebesar 8,6 persen.

Dengan kondisi Polri seperti ini, kata Hasnu, publik pun ingin membuka wacana soal reposisi Polri yang saat ini berada di bawah presiden. Dari hasil survei, mayoritas responden tetap ingin Polri berada di bawah presiden sebanyak sebesar 32,3 persen.

“Hanya saja usulan di luar itu, banyak juga mendapatkan perhatian responden, yakni Polri di bawah Kemendagri 15,8 persen, di bawah Kejaksaan 24,6 persen, sementara yang menjawab Polri di bawah Kemenhan sebesar 15,2 persen, dan responden yang menjawab tidak tahu atau tidak menjawab sebesar 12,2 persen,” ujar Hasnu.

Dari hasil survei tersebut, kata Hasnu, publik juga menginginkan Polri berada di bawah kementerian/lembaga selain Presiden, Kemendagri, Kemenhan dan Kejaksaan. Responden menginginkan Polri di bawah Kementerian Hukum sebanyak 19,7 persen; di bawah Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan sebanyak 9,6 persen; di bawah TNI sebanyak 11,6 persen; dan lainnya 5,3 persen. 

Sementara responden yang menjawab tidak tahu/tidak menjawab sebesar 38,6 persen.

Survei ini dilakukan pada 1-7 Februari 2035 terhadap 1.700 responden yang merupakan warga Indonesia berusia lebih besar 17 tahun/sudah menikah dan tersebar di 28 provinsi.

Responden dipilih menggunakan metode simple random sampling. Margin of error survei +/- 1,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Teknik pengumpulan informasi menggunakan wawancara tatap muka dan microsoft form. Surveyor minimal adalah mahasiswa yang sudah mendapatkan pelatihan survei dari tim pusat.

Hasnu mengatakan perbaikan kinerja Polri menjadi hal penting ke depannya, termasuk diskusi reposisi Polri.

Pasalnya, Polri dalam sistem peradilan pidana di Indonesia memiliki peran strategis seperti penegakkan hukum, melindungi hak asasi manusia, serta menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat.

“Isu reposisi Polri ini kan muncul karena banyak isu-isu hukum yang terkait dengan oknum Polri, seperti isu dugaan bekingan judi online, dugaan pelibatan pada kartel narkoba, dugaan pemerasan, bekingan terhadap illegal logging (tambang, batu bara), represifitas terhadap mahasiswa dalam menangani aksi demonstrasi, kriminalisasi dan doxing terhadap aktivis HAM, aktivis lingkungan, dan jurnalis/media melalui UU ITE,” pungkas Hasnu.(Web Warouw)

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru