JAKARTA – Bagi kalangan yang memahami sejarah dua ideologi global, yakni sosialisme dan liberalisme yang saling bertolak belakang di era Perang Dingin, 1946 – 1991, pernyataan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, bukan hal mengejutkan.
Dalam seminar di Bandung, Rabu, 23 November 2016, Gatot Nurmantyo, secara tegas menuding Central Inteligen Agency (CIA) Amerika Serikat dan Australia, berhasil memprovokasi puluhan ribu umat Islam di Jakarta, Jumat, 4 November 2016.
Dampaknya, demonstrasi yang sedianya bertujuan damai, akhirnya berujung anarkis, merusak fasilitas umum, membakar truk polisi, dan disertai sikap terbuka menebar kebencian terhadap kelompok non Islam dengan menyebut kata-kata kafir.
Kata-kata kafir akhirnya menimbulkan ketidaknyaman kalangan masyarakat di Kalimantan, Sulawesi Utara, Maluku, Nias, Toraja, Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang penduduknya cukup banyak berasal dari kalangan non Islam.
Tentang keterlibatan Barat terhadap situasi politik di Indonesia, bukan hal baru. Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru, penganut ideologi liberalis, pernah mencapai sukses menumbangkan Presiden Soekarno yang berideologi sosialis melalui Gerakan 30 September (G-30S) 1965 di Jakarta.
Kendati Presiden Soekarno bukan komunis, tapi sebagai penganut ideologi sosialis, tapi jasa proklamator itu melahirkan Pancasila berakar ideologi sosialis, sesuai alam dan budaya Bangsa Indonesia, dinilai penghalang utama ekspansi kaum liberalis di dalam mengeruk sumber daya alam dan ekspansi ekonomi di Asia Tenggara.
Untuk membendung pengaruh Presiden Soekarno di Asia Tenggara, lantaran pernah mengeluarkan wacana Negara Bagian Sabah, Negara Bagian Sabah dan Brunei Darussalam mesti menjadi negara sendiri, Amerika Serikat dan sekutunya yang menganut ideologi liberalis, membentuk Federasi Malaysia tahun 1963.
Tidak kuat menghadapi gempuran seorang diri, Presiden Soekarno akhirnya tumbang, setelah pidato Nawaksara, 22 Juni 1966, ditolak Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Pangkostrad Letnan Jenderal TNI Soeharto ditunjuk menjadi Pejabat Presiden terhitung 1 Juli 1966.
Semenjak kepemimpinan Presiden Soeharto, hingga era demokratisasi semenjak tahun 1998, Indonesia yang dilahirkan atas dasar akar ideologi sosialis melalui Pancasila yang dimodifikasi sesuai alam dan budaya Bangsa Indonesia, paham liberalisme terus merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dampak ideologi liberalisme tanpa filter, membuat sumberdaya alam kita dijarah asing, dengan kedok membuka keran investasi selebar-lebarnya. Lihat saja keberadaan PT Freeport Indonesia di Papua yang semenjak kejatuhan Presiden Soekarno, kontrak karyanya selalu diperpanjang, dengan dalih menjamin kepastian hukum di dalam berinvestasi.
Dalam perjalanannya, hasil Pemilihan Umum Presiden tahun 2014, Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) – Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), diamanatkan memimpin Republik Indonesia untuk lima tahun, 2014 -2019.
Perlu dicatat, pengusung utama Jokowi – JK adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Jokowi adalah kader PDIP. Kemudian bergabunglah Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Kesatuan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
PDIP pada dasarnya metamorfosa Partai Nasional Indonesia (PNI) besutan Presiden Soekarno. PNI Kemudian fusi dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tahun 1971 yang dalam perjalanannya berubah menjadi PDIP dalam Pemilu 1999.
Dengan demikian, posisi Jokowi – JK mengemban amanat rakyat dalam lima tahun, 2014 – 2019, membuktikan bangkitnya kembali kekuatan ideologi sosialis di Indonesia, sebuah ideologi yang paling dimusuhi Amerika Serikat dan kroninya penganut ideologi liberalis selama Perang Dingin, 1946 – 1991.
Posisi Jokowi – JK tampil di panggung nasional dari sebuah partai sosialis, PDIP, telah membuat gerah kalangan Barat. Jokowi, misalnya, menolak perpanjangan izin PT Freeport Indonesia sebelum tahun 2018, sesuai perjanjian, sehingga mengusik kepentingan bisnis Amerika Serikat.
Demikian pula, keputusan Jokowi – JK untuk membangun peternakan sapi besar-besaran di wilayah Timur Indonesia, telah mengusik kepentingan Australia yang selama lima dasawarsa terakhir, sebagai pemasok utama daging sapi bagi Indonesia.
Kepentingan terusik, membuat CIA Amerika Serikat dan Australia, cukup aktif memprovokasi kalangan umat Islam di dalam aksi demonstrasi di Jakarta, Jumat, 4 November 2016, sebagaimana diungkapkan Jenderal TNI Gatot Nurmantyo.
Aksi demonstrasi itu sendiri, dengan memanfaatkan sumbu pendek di dalam negeri, di antaranya isu Kementerian Agama yang akan menarik kewenangan label halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sumbu pendek dipicu pula isu penertiban praktik mafia di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dengan menempatkan Ignatius Jonan sebagai menteri dan Archanda sebagai wakil menteri.
Belum lagi kekuatan lain yang sangat takut akan kebijakan Jokowi – JK yang cukup gencar memberantas praktik korupsi, seperti pembangunan proyek fasilitas olah raga Hambalang, Bogor, 34 proyek listrik mangkrak yang berpotensi merugikan keuangan negara Rp4,5 triliun.
Kepentingan pragmatis pemilik sumbu pendek, digunakan CIA Amerika Serikat dan Australia di dalam merongrong kewibawaan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden JK, sehingga muncul aksi puluhan ribu umat Islam di Jakarta, Jumat, 4 November 2016.
Melihat fakta di atas, harus dipahami Presiden Jokowi – Wakil Presiden JK yang mengemban tugas lima tahunan dari PDIP, Hanura, Nasdem dan PPKI, merupakan batu sandungan bagi Amerika Serikat dan Australia.
Amerika Serikat dan Australia menilai, kebijakan Jokowi – JK yang ingin menciptakan sebuah kemandirian Bangsa Indonesia sebagaimana didengung-dengungkan Presiden Soekarno, dinilai sebagai batu sandungan di dalam memuluskan ekspansi ekonominya di Indonesia.
Masalahnya sekarang, terpulang kepada umat Islam yang penduduknya mayoritas di Indonesia, untuk sadar atau tidak bahwa kita tengah diadu kepentingan asing.
Pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo di Bandung, Rabu, 23 November 2016, agar kiranya menjadi rujukan bagi kita semua, apabila masih menghendaki keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). (Aju)