Senin, 21 April 2025

Jokowi Perlu Hukum Mati Koruptor

BANDARLAMPUNG – Presiden Joko Widodo perlu mempertimbangkan pemberlakuan hukuman mati dan pemiskinan koruptor. Karena koruptor akan menjadi penghalang pelaksanaan cita-cita Tri Sakti dan program Nawacita. Demikian Juru Bicara Jaringan ’98 Ricky Tamba kepada Bergelora.com di Lampung, Jumat (29/5)

 

“Demi NKRI, Presiden Jokowi harus ambil langkah serius yakni melaksanakan hukuman mati dan pemiskinan koruptor. Ratusan hingga ribuan triliun uang negara dan ‘dana siluman’ tiap tahun bisa diselamatkan guna membangun infrastruktur dan subsidi kebutuhan pokok rakyat miskin, sehingga memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat belakangan ini, bukan untuk bancakan segelintir pengkhianat bangsa,” tegasnya.

Mantan Ketua Umum Gerakan Pemuda Kerakyatan (GPK) ini menilai, intervensi positif kepala negara untuk menghukum mati dan menyita harta koruptor akan didukung rakyat, serta visi-misi Trisakti dan Nawacita cepat terwujud. Ketegasan Jokowi akan menimbulkan keteladanan dan harapan di tengah apatisme publik.

Gak usah lagi deh bicara ham hum ham (hak azasi manusia-red). Korupsi itu sangat biadab, membunuh nasib jutaan rakyat miskin yang lebih punya hak asasi manusia untuk mendapatkan perlindungan negara berupa kehidupan dan pekerjaan yang layak,” jelasnya.

Ia menegaskan lebih beradab seribu koruptor dihukum mati dan dimiskinkan, daripada ratusan juta rakyat tak berdosa menderita. Kalau dibiarkan, menurutnya bukan hanya rakyat menderita dan negara rugi, tapi NKRI akan karam.

“Elite dan politisi banyak yang munafik dan menjijikkan. Indonesia makin hancur karena korupsi mereka, tapi masih saja sok alim dan bicara pro-reformasi antikorupsi kolusi dan nepotisme,” ujarnya.

Menurutnya, saat ini, paparnya, rakyat muak mendengar maraknya berita korupsi dan kejahatan lain dampak dari minimnya keteladanan elite dan politisi nasional hingga daerah, sementara rakyat harus bekerja keras hanya untuk menyambung hidup.

“UMR 2 juta rupiah buruh pabrik selama 4 tahun setara dengan 100 juta fee rupiah proyek pejabat korup, atau kuli bangunan dengan upah 60 ribu rupiah per hari, harus tidak makan 45 tahun baru sebanding dengan korupsi 1 miliar rupiah para politisi bejat,” paparnya.

Selama ini, pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK juga tidak ubahnya dengan lembaga hukum yang lain, sekedar menjadi alat pertarungan kekuatan-kekuatan politik.

“Sementara rakyat sudah terhegemoni dengan isu korupsi yang dibangun oleh KPK dan pers, padahal KPK hanya alat politik warisan LoI IMF dan Bank Dunia. Tujuannya adalah mengalihkan perhatian dari perampasan tanah dan laut oleh perusaaan-perusahaan asing,” ujarnya.

Hingga saat ini menurutnya, tidak ada satupun kasus korupsi yang dilakukan perusahaan tambang, migas dan perkebenuan milik asing yang diperiksa oleh KPK.

“Padahal sudah menjadi rahasia umum, perusahaan asing paling banyak mengemplang pajak, menyuap pemerintah dan memanipulasi laporan hasil ekspolitasi alam kita,” jelasnya.

Ia meminta agar Presiden Joko Widodo tidak main-main terhadap politik Tri Sakti dan program Nawacita yang sudah dikenal dan diterima oleh masyarakat sebagai jalan menuju Indonesia yang lebih baik.

“Tidak mungkin Nawacita bisa dikerjakan dan Tri Sakti berdiri tegak jika Jokowi masih ragu-ragu terhadap pemberantasan korupsi. Tidak mungkin memberantas korupsi pakai KPK,” ujarnya. (Ernesto A. Goevara)

 

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru