Selasa, 8 Oktober 2024

Kalau Ada Kennedy dan Soekarno, Tak Akan Ada Freeport di Papua

JAKARTA- Kalau Presiden Amerika Serikat, John Fitzgerald Kennedy (JFK) tidak dibunuh pada 1963 dan Presiden RI, Soekarno tidak dikudeta oleh militer pada tahun 1965 maka tidak akan pernah ada Freeport di Papua. Hal ini disampaikan oleh budayawan Burhan Rosyidi kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (25/1) menjelaskan asal usul keberadaan perusahaan tambang emas Freeport McMoran di Papua, Indonesia.

Anggota Presidium Komite Kedaulatan Rakyat (KKR) ini menjelaskan bahwa Presiden Amerika Serikat ke-35 ini merupakan sahabat dekat Soekarno. Kedua pemimpin ini cocok bergaul. Hubungan Indonesia dan Amerikas Serikat yang sempat renggang pada masa presiden Eisenhower, kembali membaik saat Kennedy berkuasa.

Pada waktu Soekarno datang ke Amerika Serikat, Kennedy menyambutnya dengan hangat. Bahkan Kennedy memberi Soekarno kenang-kenangan sebuah helikopter. Kennedy pun berjanji akan mengunjungi Indonesia tahun 1964. Soekarno begitu gembira melihat tawaran persahabatan dari JFK.

“Soekarno bahkan membangun sebuah paviliun khusus di Istana Negara. Bangunan itu rencananya akan dijadikan tempat Kennedy menginap saat di Jakarta. Sayang, Kennedy tak pernah menempati bangunan itu,” ujarnya.

Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963. Berakhirlah hidup politikus cerdas Amerika Serikat ini. Kematian Kennedy masih menjadi misteri hingga saat ini.

“Kennedy berpikiran progresif. Ketika aku membicarakan masalah bantuan kami, dia mengerti. Dia setuju. Seandainya Presiden Kennedy masih hidup tentu kedua negara tak akan berseberangan sejauh ini,” kata Soekarno menyesali tragedi ini dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams.

Sebagian pihak menilai pembunuhan Kennedy penuh nuansa politis. Apa hubungan Kennedy dengan penggalian emas PT Freeport?

Burhan Rosyidi mengutip tulisan Lisa Pease, Wartawan Amerika Serikat dalam artikel berjudul “JFK, Indonesia, CIA, and Freeport” di majalah Probe tahun 1996. Tulisan ini juga disimpan dalam National Archive di Washington DC.

Freeport ternyata sudah lama mengincar Papua. Tahun 1959, perusahaan Freeport Sulphur nyaris bangkrut karena tambang mereka di Kuba dinasionalisasi oleh Fidel Castro. Dalam artikel itu disebut berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan terhadap Castro, namun berkali-kali pula menemui kegagalan.

Di tengah kondisi perusahaan yang terancam hancur itu pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur menemui Direktur Pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen.

Gruisen bercerita dirinya menemukan laporan penelitian di Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy di tahun 1936. Disebutkan tembaga di gunung ini tak perlu susah-susah digali. Ibarat kata tinggal meraup, karena tembaga berada di atas tanah.

Wilson tertarik dan mulai mengadakan survei ke Papua. Dia setengah gila kegirangan karena menemukan gunung itu tak hanya berisi tembaga tapi emas! Ya, dia menemukan gunung emas di Papua.

Tahun 1960, suasana di Papua tegang. Soekarno berusaha merebut Papua dari Belanda lewat operasi militer yang diberi nama Trikora (Tiga Komando Rakyat). Freeport yang mau menjalin kerjasama dengan Belanda lewat East Borneo Company pun belingsatan. Kalau Papua jatuh ke Indonesia bisa runyam urusannya. Mereka jelas tak mau kehilangan gunung emas itu.

Wilson disebutkan berusaha meminta bantuan John F Kennedy. Tapi si Presiden Amerika Serikat itu malah kelihatan mendukung Soekarno. John pula yang mengirimkan adiknya Bob Kennedy untuk menekan pemerintah Belanda agar tak mempertahankan Papua. JFK juga yang mengancam Belanda akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II, terpaksa menurut.

“Agaknya Belanda pun tak tahu ada gunung emas di Papua sehingga mereka menurut saja disuruh mundur oleh Amerika Serikat,” ujarnya.

Kontrak Freeport pun buyar. Apalagi Soekarno selalu menolak perusahaan asing menancapkan kaki mereka di Papua. Pada perusahaan minyak asing yang sudah kadung beroperasi di Riau, Soekarno meminta jatah 60 persen untuk rakyat Indonesia.

Kekesalan mereka bertambah,– Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta AS dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia.

Sebutir peluru menghentikan langkah Kennedy. Kebijakan pengganti Kennedy langsung bertolak belakang. Indonesia pun makin jauh dari Amerika Serikat dan semakin mesra dengan Blok Timur yang berbau komunis.

Tragedi September 1965 menghancurkan Soekarno. Dia yang keras menolak modal asing, digantikan Soeharto. Setelah dilantik, Soeharto segera meneken pengesahan Undang-undang Penanaman Modal Asing pada 1967. Freepot menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto.

“Ironisnya, pemerintah Indonesia hanya dapat jatah 1 persen. Kontras sekali dengan apa yang diperjuangkan Soekarno,” jelasnya (Web Warouw)

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru