Selasa, 24 Juni 2025

Kawasan Timur Harus Mengisi Kekosongan Poros Maritim

AMBON- Keinginan pemerintahan Jokowi untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia belum memperlihatkan isi, karena baru sebatas bingkai. Masih sebatas cek kosong, yang harus diisi dan diperkaya. Untuk itu, kawasan timur harus mengisi kekosongan itu sehingga poros maritim dapat memberikan manfaat.

 

Hal itu terungkap dalam sarasehan “Indonesia Sebagai Poros Maritim Berbasis Jalur Rempah” yang digelar Universitas Pattimura Ambon, Unika Atma Jaya Jakarta, Archipelago Solidarity Foundation dan Pusat Penelitian Laut Dalam-LIPI Ambon di Aula Rektorat Universitas Pattimura Ambon, Rabu (3/12).

Acara yang dibuka Rektor Unpatti, Prof. Dr. Thomas Pentury dan Direktur Archipelago Solidarity, Engelina Pattiasina ini menampilkan sejumlah pembicara seperti, Prof.Dr Mus Huliselan (Guru Besar Unpatti), Dr. Victor Nikijuluw (Dosen IPB/Dekan Ukrida Jakarta), Laksda (purn) Soleman B Ponto, ST, SH, Tommy H.Purwaka, SH, LLM, PhD; Prof.Dr. J. Saptenno (Guru Besar Hukum Unpatti); dan Dr. Augy Syahilatua (Kepala LIPI Ambon).

Engelina Pattiasina mengatakan, Indonesia tidak boleh serta merta mengikuti jalur sutera karena hal itu hanya menjadikan Indonesia unsur kecil dari sabuk ekonomi. Menurutnya, harus mengembangkan jalur rempah sebagai jalur maritim sendiri, sehingga menguntungkan Indonesia sebagai pemain utama. “Sejak lahir, Indonesia sudah ada di poros maritim dunia, karena letaknya di antara dua benua dan dua lautan,” tegasnya.

Secara khusus, katanya, jalur rempah maritim hars menjadi terobosan bagi pengembangan kawasan timur. Dia mencontohkan, betapa terpuruknya kesehatan, pendidikan dan kemiskinan di Provinsi Maluku. “Kita semua berharap, poros maritim menjadi harapan semua untuk melahirkan terobosan di kawasan timur. Tanpa terobosan, kawasan timur akan tetap tertinggal,” ujarnya.

Rektor Thomas Pentury menuturkan, berdasarkan data empiris yang ada, Maluku membutuhkan pengembangan sumber daya manusia dan kelengkapan infrastruktur kelautan untuk menunjang gagasan poros maritim.

Selain itu, katanya, terjadi disparitas atau kesenjangan luar biasa baik dari sisi ekonomi, infrastruktur dan berbagai indikator ekonomi. Disparitas ini, katanya, bukan saja terjadi antarkawasan, tetapi juga antar daerah dalam satu provinsi. “Maluku memiliki potensi baik dari ahli kelauatan, perikanan dan maritim, yang dapat memberikan masukan yang berkaitan dengan poros maritim,” ujarnya.

Victor Nikijuluw mengatakan, sejauh ini, poros maritim barus sebatas cek kosong, sehingga siapapun bisa mengisi kekosongan itu. Dia mengajak dan menantang, agar kawasan timur yang memiliki wilayah laut mengisi kekosongan ini.

Dia menambahkan, gagasan tol laut harus diintegrasikan dengan alur laut kepulauan Indonesia (ALKI). Sebab, kalau tidak terintegrasi, maka akan ada kemungkinan tol laut yang tidak efektif. “Saya kira, tol laut itu tidak bisa hanya satu atau dua arah, tetapi harus delapan penjuru mata angin. Begitu juga, Indonesia tidak boleh hanya fokus pada satu negara karena hal itu berpotensi menciptakan hegemoni secara ekonomi,” katanya.

Victor juga mengingatkan, kontribusi  bidang maritim sangat kecil (11,86 persen) jika dibandingkan dengan non maritim sebesar 88,14 persen. Begitu juga, bidang maritim di kawasan timur hanya berkontribusi sekitar 10 persen dari seluruh kontribusi maritim secara nasional. “Jadi, jangan menganggap kontribusi kawasan timur itu besar, karena datanya sangat kecil,” tuturnya.

Untuk itu, katanya, pengembangan poros maritim jangan hanya fokus di sekitar Pulau Jawa, tetapi harus lebih memprioritaskan wilayah timur, sehingga dapat mengejar ketertinggalannya. “Selama 25 tahun  terakhir ini ada ketidakadilan yang luar biasa di kawasan timur. Ini harus diperbaiki,” katanya.

Sedangkan, Soleman Ponto menjelaskan, tantangan pengembangan kemaritiman sangat berat karena setidaknya meliputi 22 unsur dalam bidang maritim. Ke-22 unsur, seperti manusia, infrastruktur dana jasa ini tidak bisa dibangun sendiri-sendiri, tetapi harus seri, karena satu unsur macet akan mematikan unsur yang lain. “Tantangannya tidak mudah, sehingga perlu restrukturisasi Kemenko Maritim,” tegasnya.

Dia juga menegaskan, maritim harus dimaknai sebagai pelayaran, sehingga memudahkan semua pihak untuk memiliki pemahaman yang sama mengenai konsep maritim.Jika tidak, katanya, kelauatan bisa dikacaukan dengan perikanan dan maritim.

Ponto mengharapkan, agar konsep pelayaran yang sudah bisa dimulai dari daerah-daerah, karena agenda presiden itu harus disambut dengan memulai dari tindakan yang sederhana. “Ketika peluang sudah ada, saya kira harus segera diambil, termasuk dengan mengembangkan puing maritim dari masa lalu,” ujarnya (Dian Dharma Tungga)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru