JAKARTA- Pernyataan Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek yang menolak RUU Pertembakauan masuk agenda sidang Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 di DPR RI dapat dinilai sebagai yang mencerminkan arogansi dan ketidakpahaman seorang menteri atas isu strategis yang berkembang di tanah air. Demikian Ketua Umum Ketua Umum SAKTI (Serikat Kerakyatan Indonesia), Standarkiaa Latief, kepada Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (14/2).
“Cara pandang Menkes terhadap isu pertembakauan sangat dangkal sekali, melihat hitam putih masalah gangguan kesehatan mutlak hanya disebabkan oleh tembakau dan rokok. Padahal masalah kesehatan dalam kehidupan banyak faktor penentunya. Soal gaya hidup, pola makan, polusi kendaraan yang sudah parah, lingkungan yang rusak, minuman keras berkadar alkohol tinggi yang dijual bebas dan lainnya,” ujarnya.
Mindset Menkes menurutnya mencerminkan pengetahuan yang parsial dan dangkal terhadap masalah pertembakauan. Padahal menkes berada dalam kabinet kerja presiden Jokowi yang mencanangkan Nawa Cita dalam kepemimpinannya yang mensyaratkan negara harus hadir konkrit membela kepentingan rakyatnya.
“Pola pikir menkes tidak mencerminkan mensukseskan Nawa Cita tapi sebaliknya mengutamakan kepentingan asing dalam kebijakannya karena berorientasi kepada Framework Convention and Tobaco Control (FCTC),” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa Indonesia belum dan tidak tidak meratifikasi FCTC karena sarat kepentingan tersembunyi yang bisa menghancurkan kehidupan 2,5 juta petani tembakau di tanah air.
“Bukan itu saja, kebijakan itu akan menghancurkan kehidupan 1,5 juta petani cengkeh yang menggantungkan hidupnya dari sektor indutri rokok nasional,” tegasnya.
Dari sektor pertembakauan saat ini negara menerima sumbangan Rp 116 Triliyun dari cukai tembakau dan Rp 240 Triliyun untuk pajak rokok. Sehingga total industri rokok dan tembakau menyumbang APBN 2014 lalu senilai Rp 356 Triliyun atau sekitar 19% dari Rp 2.000 Triliun dari APBN 2014. Sumbangan itu akan ada kecenderungan naik kontribusinya pada 2015. Sektor ini mempekerjakan 30 juta tenaga kerja di dalam negeri, sehingga terdapat angka total 34 juta atau 25% dari angkatan kerja nasional.
“Harusnya Menkes memahami secara jernih gambaran di atas. Bukan sepihak beropini negatif yang mengindikasikan adanya kepentingan tersembunyi dibalik sikap dan kebijakannya,” tegasnya.
Jika menkes berkomitmen mensukseskan program kerja pembangunan presiden Jokowi yang meletakan Nawa Cita sebagai plat form, maka menurutnya, Menkes juga harus merevisi paradigmanya yang beraroma komersial menjadi paradigma berorientasi kerakyatan.
“Pola pikir kacau yang sesat mencerminkan kebodohan struktural yang dipelihara. Semoga Nawa Cita yang indah bukan sekedar retorika di atas kertas,” tegasnya (Dian Dharma Tungga)