Oleh: Petrus Harjanto*
JAKARTA- Malam itu Klinik Hemodialisis Jakarta Kidney Center (JKC) yang terletak di Jati Padang masih tampak ramai. Biasanya, pukul 18.00 WIB sudah sepi karena para pasiennya sudah pulang. Klinik Hemodialisa JKC hanya melayani dua shift Shift pertama pukul 06.00 sampai dengan 11.00 WIB, dan shift kedua dari Pukul 12.00 sampai dengan 17.00 WIB.
Hari ini berbeda, para pasien masih berkumpul. Mereka sedang bersiap-siap akan mengadakan perjalanan bersama. Tampak beberapa mobil masih terparkir, dan keluarga pasien lainnya mulai berdatangan.
“Kami yang tergabung dalam Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) yang berada di Klinik JKC akan berangkat ke Puncak malam ini. Kami akan bergembira bersama. Tetapi tujuan utama acara ini adalah meningkatkan rasa kebersamaan diantara kami”, ujar Toni Ketua KPCDI
Memang tidak lazim barang-barang yang mereka persiapkan untuk mendukung acara piknik itu. Tampak beberapa oksigen kecil mereka persiapkan. Ada juga beberapa alat tensi meter. Ternyata dua alat itu sangat diperlukan pasien cuci darah.
Pasien cuci darah sering mengalami sesak nafas, bisa karena kelebihan cairan dalam tubuh, atau salah makan sehingga kelebihan zat tertentu.
“Rata-rata dari kami ini mengalami gagal ginjal dan harus cuci darah karena penyakit hipertensi. Denyut nadi pasien harus sering diukur tensinya, terutama saat cuci darah. Bepergian ke Puncak, sebenarnya penuh resiko, maka kami harus mempersiapkan dengan baik”, ujar Pak Hariyanto sang Ketua Panitia acara tersebut.
Sebelum berangkat, panitia mengingatkan lagi agar mengecek obat mereka masing-masing. Walau sama-sama pasien cuci darah, tetapi masing-masing mempunyai kekususan sendiri.
“Ada yang hipetensi, ada juga yang disertai diabetes. Bahkan rata-rata mereka juga terkena penyakit mata, ada yang terkena katarak, ada juga terganggu retina matanya,” ujar Pak Amir Firman salah satu pasien cuci darah yang baru sebulan lalu operasi katarak.
Mulailah mereka membagi kelompok keberangkatan.
“Setiap mobil harus minimal didampingi satu perawat. Pasien cuci darah yang bertugas mengemudi juga harus didampingi sopir cadangan. HP harus ful baterainya, dan rutin mengecek grup wa (whattshap) untuk saling berkoordinasi”, ujar Deuz yang bertugas mengatur keberangkatan peserta.
Membangun Komunitas
Sebagai sebuah komuniatas KPCDI belumlah lama berdiri. Sekitar bulan Maret 2015, bertepatan dengan peringatan Hari Ginjal Sedunia. Yang mendirikan pertama kali adalah para pasien cuci darah yang melakukan hemodialisis di JKC.
“Komunitas ini terbentuk melalui sebuah diskusi yang kami lakukan saat kami terbaring di tempat cuci darah”, ungkap Toni Samosir yang ditunjuk teman-temannya sebagai Ketua.
Sebagai seorang penderita gagal ginjal, mereka harus melakukan cuci darah paling sedikitnya dua kali dalam seminggu. Beberapa diantaranya bahkan harus tiga kali seminggu. Karena ginjal mereka sudah mengalami kegagalan dan tidak berfungsi, maka fungsinya diganti oleh mesin.
“Kami sudah tidak bisa kecing lagi. Setiap minum cairan akan menimbun dalam tubuh. Zat sampah dan racun juga menumpuk dalam darah. Untuk mengeluarkan zat racun dan air yang menimbun dalam tubuh kami, salah satu cara ya melalui cuci darah. Sekali cuci darah memerlukan waktu 5 jam”, ungkap Ibu Meiner Frisdawati Sianipar yang selain pasien cuci darah juga seorang perawat di Rumah Sakit Bhakti Yudha Depok.
Waktu yang mereka habiskan di tempat cuci darah terbilang lama sekali. Kalau dihitung seminggu menghabiskan waktu sepuluh jam. Itu yang melakukan hemodialisis dua kali seminggu, yang tiga kali seminggu tentu lebih. Kalau dihitung sebulan mencapai angka 40 jam.
“Makanya kami sangat akrab dengan sesama pasien. Saat kami menunggu selesai cuci darah, kami isi dengan bersendau-gurau, berdiskusi karena jarak tempat tidur kami berdekatan. Ya ditempat cuci darah ini diskusi untuk membentuk komunitas terjadi”, ujar Benard yang masih bujangan ini.
Ketika terbentuk mereka mengeluarkan statment yang ditujukan kepada Badan Pelaksana Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan). Dalam pernyataan tersebut KPCDI menutut agar BPJS tidak diskriminatif terhadap tipe Rumah Sakit penyelenggara Hemodialisa.
Dalam pernyataan mereka, Rumah Sakit tipe A mendapat pergantian biaya sebesar Rp 2 juta per cuci darah, sementara tipe C hanya mendapat kucuran Rp 815 ribu per cuci darah. Akibatnya, pasien yang cuci darah ke Rumah Sakit tipe C, banyak obat-obatan yang masih harus dibeli sendiri seperti terapi erytropoitin, transfusi darah, tabung dialiser harus membayar sendiri bila diganti sebelum masanya.
“Walau biaya cuci darah dicover BPJS, tetapi kami harus mengeluarkan dana tambahan yang lumayan besar. Itu sangat memberatkan sekali. Sebulan sekali saya harus tranfusi darah sebanyak tiga kantong, karena HB (Hemoglobin) saya sering dibawah 7. Harga satu kantong darah sebesar Rp 400 ribu”, keluh Bu Wati yang rajin didampingi suami tercinta.
Selain tranfusi darah untuk meningkatkan HB, kondisi HB juga bisa dijaga kestabilannya dengan cara terapi erytropoitin, seperti dengan disuntik hemapo. “Setiap cuci darah saya harus mendapat suntikan hemapo. Saya beli di Pasar Pramuka biar murah, harganya sekitara Rp 200 ribu”, ungkap Kholis pemuda perjaka berkaca mata min ini.
Membangun Kebersamaan
Kecerian tergambar dari wajah mereka, walau tampak kelelahan karena melakukan perjalanan yang lumayan berat dengan mengarungi kemacetan sepanjang jalur Puncak. Kondisi badan mereka sebenarnya tidak fit karena baru saja cuci darah. Biasanya sehabis cuci darah butuh waktu sehari untuk memulihkan kondisi. Proses hemodialisa itu bukan hanya membersihkan darah dari racun, tetapi juga membawa serta zat-zat dan mineral yang dibutuhkan tubuh. Paskah cuci darah tubuh akan kekurangan gizi. Di vila yang luas, dan mampu menampung sekitar 40 orang, kegiatan itu dilakukan.
“Sewa vilanya gratis. Pak Amir Firman yang juga pasien cuci darah yang mempunya Vila itu mengratiskan untuk dipakai acara ini” kata Novi yang bertugas mengatur penempatan ruang tidur untuk peserta.
Mereka tidak hanya berekreasi, tetapi juga saling sharing dan berbagi pengalaman, dan berbagi ilmu.
“Kadang kami ini tahu apa yang dipantang dan apa yang harus dihindari itu justru dari sesama pasien”, ungkap Pak Yanto yang sudah menjalani hemodialisa selama 12 tahun.
Seperti Pak Supratman yang sudah cuci darah kurang lebih dua tahun ini menceritakan pengalamannya cuci darah. Menurutnya, awalnya dia sakit tulang belakang, disarankan untuk general check up.
“Tes laboratoriumku untuk kreatinin 7 dan ureum 120. Dokter menyarankan USG ginjal. Hasil USG menyimpulkan ginjalku mengecil. Dokter Bonar dari RSCM memintaku untuk cuci darah. Saat itu, aku sungguh terpukul. Aku merasa orang bernasib terjelek di dunia ini”, ujar Pak Supratman kepada rekan-rekannya yang dengan serius mendengar kesaksiannya.
Pak Supratman sendiri tidak langsung melakukan hemodialsis. Ia malang melintang melakukan pengobatan alternatif dan diet protein ketat.
“HB ku saat cuci darah pertama adalah tiga. Kondisiku mual, pusing, sesak nafas. Aku melakukan cuci darah pertamakali dalam situasi cairan dalam tubuhku menumpuk, racun-racun sudah banyak, ditambah HB sangat rendah sekali”, katanya sambil mengenang pengalaman pahit saat itu.
Pengobatan alternatif juga ditempuh Pak Jimi, bahkan dia melakukan pengobatan dengan meracik jamu sendiri. Air rebusan daun sukun menjadi jamu yang diminumnya. Ia memperoleh info dari media online.”
Saat itu kreatininku bisa normal. Aku tidak melakukan cuci darah. Tapi karena kurang disiplin saya harus cuci darah lagi”, ujar pria empunya bobot 130 kg ini.
Mencari Alternatif
Terjadi diskusi yang menarik. Pendapat Pak Supratman dan Pak Jimi disanggah oleh Toni. Diet protein ketat Pak Supratman akan menyebabkan kurang gizi dan HB menjadi rendah sekali. Minum rebusan daun sukun hanya menurunkan kreatinin, sementara ginjal tidak bisa pulih.
“Bila Kreatinin dan ureum tinggi apalagi hasil USG ginjal menyatakan ginjal mengecil, secara medis sudah tidak bisa disembuhkan” , katanya.
Toni sendiri sudah cuci darah selama lima tahun. Selama itupula dia menghimpun data penglaman pasien cuci darah yang berobat alternatif.
“Tidak ada yang sembuh. Tambah parah iya. Lagipula duit mereka terkuras “, ujarnya dengan berapi-api.
Toni sendiri sempat tidak mempercayai hasil diagnosis dokter bahwa dia harus cuci darah. Dia berontak, pergi ke Penang untuk berobat. Di Penang Advertis Hospital tersebut ia juga tetap harus cuci darah, dan berakibat dia harus mengeluarkan uang sangat besar.
“Saat cuci darah aku juga melawan saran dokter agar minumku dibatasi. Sehari hanya satu botol aqua 600 ml. Aku lawan, tapi aku menjadi sesak karena tertimbun cairan. Saat sesak tersebut aku mengemudi mobil dan macet. Mobil kutinggal di tengah jalan. Aku meminta bantuan pengendara motor untuk diantar ke Rumah Sakit”, ungkapnya atas pengalaman yang membikin dia trauma sampai sekarang.
Diskusi mengalir dengan penuh kehangatan. Suasana bersahat dan saling mendukung tercipta. Memang acara tersebut selain bergembira ria juga membangun kebersamaan. Bahkan mereka juga mengajak para perawat. Kebersamaan yang mereka bangun tidak hanya sesama pasien dan keluarga, tetapi juga dengan para petugas medis, termasuk suster.
Dalam pemikiran mereka, pasien cuci darah bukan hanya butuh hemodialisa dan obat. Hati yang gembira juga merupakan obat yang mujarab. Suasana gembira akan didapat bila sesama pasien cuci darah berinteraksi secara hangat, empati, tulus. Datang ke tempat cuci darah dalam suasana kondusif akan membuat mereka seakan tidak sedang cuci darah. Cuci darah bukan suatu yang menakutkan lagi, tetapi menjadi tempat untuk bercanda, saling sharing, dan saling menguatkan.
Sore hari mereka pulang, karena Senin ada yang harus cuci darah, dan beberapa suster juga harus bertugas. Mereka pulang dengan membawa hasil. Hasilnya Hati yang gembira adalah salah satu hasilnya. Kebersamaan mereka semakin kuat. Mereka juga berhasil mengambil kesepakatan, program ini akan dilanjutkan, bahkan akan mengadakan iuaran per minggu agar meringankan biaya saat hari H.
Perjuangan untuk memperoleh keadilan dari kebijakan BPJS juga akan dilanjutkan. Dan sudah menanti agenda untuk mendatangi Komisi IX dan Kementerian Kesehatan.
*Penulis adalah Sekretaris Jendaral Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI)