Senin, 7 Oktober 2024

Kilang Montara Bunuh Petani Rumput Laut

KUPANG-    Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni mengatakan tragedi tumpahan minyak di Laut Timor akibat meledaknya anjungan minyak Montara pada Agustus 2009, perlahan-lahan mulai membunuh para petani rumput laut di Nusa Tenggara Timur.

Hal ini dikatakan Tanoni kepada bergelora.com  di Kupang, Sabtu (3/4),  setelah  menelusuri kisah kematian Felipus Liman (67), salah seorang petani rumput laut di Desa Lifuleo, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Menurut penjelasan Ny Maria Liman Mulik (64), isteri almarhum, disekujur tubuh suaminya, muncul bintik-bintik merah dan di bagian kepalanya muncul seperti lubang-lubang luka bekas tikaman garpu, serta darah mengalir di bagian hidungnya ketika jazadnya sudah kaku.

“Pada Sabtu (26/4) dini hari itu, sebagaimana biasanya saya membangunkannya untuk melaut guna melihat olahan rumput laut di perairan sekitar desa itu. Namun, saat itu, saya memegang badan nya terasa begitu dingin dan perlahan-lahan mulai kaku kemudian muncul bintik-bintik merah,” katanya  didampangi Tanoni yang sempat berkunjung ke rumah duka di Desa Lifuleo.

“Kami tidak tahu apa penyebabnya, karena waktu pulang melaut pada Jumat (25/4) sore menjelang malam, bapak (almarhum) dalam keadaan sehat-sehat. Bapak sempat menonton TV kemudian tidur,” kata Ny Maria mengenang.

Ia menambahkan ketika hendak dimakamkan pada Minggu (27/4), jazadnya perlahan-lahan hancur, tulang tangan dan kaki mulai terlepas dari badan sehingga membuat semua keluarga bertambah bingung.

“Saya kemudian mengambil inisiatif memasukan jazadnya ke dalam kantong jenazah untuk dimakamkan, karena kondisinya sudah tidak memungkinkan lagi untuk terus bertahan dalam peti mayat,” tambah Zakarias Doro, Kepala Desa Tablolong.

Menurut dia, tragedi kematian yang dialami Felipus Liman itu merupakan yang pertama kalinya terjadi, sehingga membuat masyarakat Desa Lifuleo dan Tablolong tanda tanya besar.

“Ratusan orang datang melayat pada saat pemakaman di hari Minggu itu untuk melihat dari dekat penyakit “aneh” yang dialami Felipus Liman,” katanya.

Maria Liman Mulik, ibu empat anak itu menambahkan suaminya tidak pernah mengeluh apapun soal penyakit yang dialaminya, kecuali kulit gatal-gatal seperti yang dialami oleh para petani rumput laut lainnya di desa tersebut sejak tahun 2010,setelah terjadinya petaka tumpahan minyak Montara.

“Biasanya kami berobat di puskesmas pembantu Lifuleo, dan menurut para medis bahwa penyakit gatal-gatal tersebut akibat terkena air laut yang kotor di sekitar wilayah budidaya rumput laut,” tambah Max Lay, menantu almarhum yang juga mantan Kepala Desa Lifuleo.

Menurut dia, penyakit gatal-gatal tersebut mulai dirasakan para petani rumput laut di desa tersebut sejak 2010, padahal usaha budidaya rumput laut itu sudah dilakukan sejak 2002.

“Sebelum tahun 2010, kami tidak pernah mengalami kulit gatal-gatal seperti sekarang ini dan masyarakat petani begitu bergairah untuk membudidayakan rumput laut karena panenannya sangat fantastis sampai membangun rumah mereka dari tembok dengan hasil dari penjualan rumput laut,” ujarnya.

Namun, setelah 2010, kata dia, masyarakat sudah tidak bergairah lagi untuk membudidayakan rumput laut, karena tanaman “emas hijau” itu terus diserang penyakit sampai mengakibatkan para petani rumput laut juga terserang penyakit gatal-gatal.

“Dari sekitar 100 lebih petani rumput laut di desa tersebut, kini tinggal sekitar 10 orang, termasuk di antaranya Felipus Liman yang menemui ajalnya secara misterius yang belum diketahui penyebabnya sampai saat ini,” kata Max Lay. (Calvin Garry Eben-Haezer)

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru