JAKARTA- Kompensasi ekonomi yang selalu ditawarkan pemerintah bagi berbagai kasus dan konflik agraria bukanlah jalan keluar bagi berbagai persoalan dan konflik agraria yang terjadi selama ini. Sehingga pemerintah selalu menemukan jalan buntu pada setiap perlawanan rakyat tani yang mempertahankan tanah yang dirampas. Hal ini ditegaskan oleh Ketua Umum Serikat Tani Nasional (STN) Yoris Sindhu Sunarjan.
“Konflik agraria yang berlarut-larut ini terjadi karena sudut pandang negara yang masih melihat penyelesaian kasus agraria hanya pada sebatas kompensasi ekonomis semata. Tidak diikuti oleh kajian yang berlandaskan pada keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab,” tegasnya kepada Bergelora.com seusai diskusi bersama aktivis tani Eva Bande di tenda suku anak dalam yang menginap di Komnasham, Jakarta, Rabu (24/12).
Menurutnya, memang kabinet dipimpin oleh Presiden Joko Widodo baru saja bekerja dan butuh sedikit waktu tambahan untuk mengkaji penyelesaian yang lebih adil untuk berbagai kasus konflik agraria khususnya kasus Suku Anak Dalam ini.
“Responnya yang demikian cepat dalam menanggapi usulan Eva Bande yang baru saja menerima grasi tentang satgas agraria sepertinya memberikan harapan baru lagi setelah banyak harapan pupus dengan berbagai kebijakan yang justru anti rakyat,” ujarnya.
Ia juga mempertanyakan mengapa satgas penyelesaian konflik agraria yang semestinya melibatkan unsur-unsur seperti kementerian agraria, kementerian LH dan kehutanan, kementerian pertanian, kementerian polhukam, dan masyarakat dan sebagainya, dipersempit hanya pada kementerian LH dan kehutanan dengan cakupan masalah diseputar pemberdayaan tanah ulayat dan hutan adat sebagaimana keterangan yang disampaikan Andi Widjayanto sebagai Seskab.
“Saya yakin, sekali lagi gagasan bagus, tapi pelaksanaannya akan kembali bertentangan dengan UUD’45 dan UUPA. Semua persoalan akan direduksi pada kompensasi ekonomis. Dan petani pasti akan tetap melawan,” tegasnya.
Kepahitan
Sebelumnya menurutnya, Peringatan hari Hak Asazi Manusia (HAM) 10 Desember 2014 adalah hari yang terpahit bagi Suku Anak Dalam Bathin Bahar yang masih berkonflik dengan perusahaan perkebunan sawit PT. Asiatic Persada.
Setelah melakukan perjalanan jarak jauh dengan berjalan kaki dari Jambi sampai ke Istana Negara, mereka harus menerima pil pahit dengan berkemah di kantor Komnas HAM karena tak mendapatkan kepastian sedikitpun atas pengaduan mereka.
Jawaban birokratis selalu mengiringi setiap pertemuan dengan lembaga-lembaga negara terkait masalahnya, seperti BPN, Komnas HAM, bahkan sampai ke para menteri kabinet Kerja.
Tanpa memiliki kepastian biaya hidup di Jakarta karena sudah tak memiliki lagi sesuatu untuk bertahan hidup dikampungnya, puluhan perwakilan Suku Anak Dalam Bathin Bahar masih tetap bertahan di Komnas HAM untuk berjuang demi tanahnya yang dirampas oleh negara pada puluhan tahun silam.
Peristiwa perampasan tanah ulayat SAD yang sudah terjadi puluhan tahun lalu semestinya ditempatkan sebagai bagian dari penghilangan hak hidup dan kedaulatan atas tanah air warga negara di Indonesia yang dilindungi konstitusi berdasarkan Pasal 33 UUD 1945.
“Namun pada kenyataannya pemerintah hanya melihat masalah itu sebagai gangguan kamtibmas yang dapat merugikan berjalannya investasi. Alhasil, seluruh konflik yang melibatkan Suku Anak Dalam dari berbagai area dan kelompok hanya diberikan kompensasi lahan pengganti seluas 2.000 hektar,” demikian Yoris Sindhu Sunarjan.
Perlu diketahui bahwa untuk Suku Anak Dalam kelompok Bathin Bahar yang komunitasnya sebanyak 3 kampung, memiliki luas lahan 3.550 hektar tanah yang terampas. Belum lagi jika dijumlahkan dengan kelompok-kelompok yang lain. Akan menjadi sumber masalah baru penyelesaian konflik yang ditawarkan pemerintah dan PT Asiatic Persada dengan mengintegrasikan seluruh komunitas Suku Anak Dalam dari berbagai kelompok ke dalam lahan kompensasi seluas 2.000 hektar yang sudah disiapkan. Belum lagi disinyalir lahan kompensasi tersebut juga masih bermasalah.
200 Ribu Hektar
Secara umum memang bukan hanya lahan seluas 3.550 hektar saja yang menjadi problem agraria bagi Suku Anak Dalam karena mereka secara menyeluruh memiliki lansekap seluas hampir 200 ribu hektar yang sudah berubah menjadi kawasan hutan industri dan perkebunan.
“Masalah penataan tanah ulayat dan hutan adat menjadi pintu masuk penyelesaian konflik agraria secara utuh. Namun konsistensi kabinet Jokowi-JK ini akan diuji lagi dalam proses berikutnya. Karena pihak pemerintah lokal dan perusahaan perkebunan sawit yang dilindunginya masih berkutat pada angka 2.000 hektar untuk menyelesaikan semua masalah.
Sampai saat ini perwakilan Suku Anak Dalam Bathin Bahar kelompok 3 Kampung masih menunggu jawaban dari Presiden Jokowi atas tuntutannya.
Suku Anak Dalam menuntut dikembalikannya tanah adat seluas 3.550 hektar yang dulu dirampas oleh negara dan sekarang digunakan oleh perusahaan perkebunan sawit PT Asiatic Persada (PT. AMS)
“Menolak skema penyelesaian konflik dengan lahan kompensasi seluas 2.000 hektar yang dicadangkan pemerintah kabupaten Batanghari dimana lahan tersebut pun masih bermasalah,” tegas Norman, mewakili Suku Anak Dalam pada Bergelora.com. (Calvin G. Eben-Haezer)