JAKARTA- Dualisme kepemimpinan di dalam DPR menurut politisi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Lily Wahid adalah akibat kesadaran berbangsa dan bernegara para politisi yang sangat minim.
“Syahwat paling berkuasa dan paling hebat mengedepan saat ini. Bahwa kita hidup dari hutang dalam dan luar negeri sama sekali tidak pernah dipikirkan baik oleh presiden dan kabinetnya maupun anggota DPR. Kasihan rakyat Indonesia berada dalam periode negara penuh tragedi,” ujarnya kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (3/11)
Sementara itu anggota Komisi III, DPR-RI, Bambang Soesatyo menyatakan bahwa Dualisme kepemimpinan adalah akibat Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tidak siap menghadapi kekalahan dan perubahan.
“Bukan hanya mengganggu ritme kerja DPR, manuver membentuk pimpinan DPR tandingan memperlihatkan perilaku KIH sebagai kekuatan politik yang menolak kesetaraan eksekutif-legislatif serta tidak dewasa dalam berpolitik dan berdemokrasi. Bahkan cenderung ingin menguasai semua dari hulu hingga hilir,” ujarnya terpisah.
Ketiak Pemerintah
Padahal menurut Bendahara Partai Golkar ini, kesetaraan eksekutif-legislatif menjadi syarat mutlak, agar bisa efektif menjalankan fungsi check and balances, yang selama ini gagal dibangun dalam sistim politik di Indonesia
“Untuk mengikis perilaku korup para oknum birokrat sekaligus mewujudkan good and clean governance, kesetaraan eksekutif-legislatif menjadi syarat mutlak. Dan, agar bisa efektif menjalankan fungsi check and balances, DPR tidak boleh lagi berada di bawah ketiak pemerintah,” ujarnya.
Semangat Koalisi Merah Putih (KMP) menurutnya mewujudkan kesetaraan eksekutif-legislatif itu yang ditentang KIH dengan membuat gaduh di DPR. Dengan membentuk pimpinan DPR tandingan, KIH tidak ingin DPR bisa efektif menjalankan fungsi check and Balances.
Peta kekuatan di DPR saat ini menurutnya sudah ideal untuk mewujudkan kesetaraan eksekutif-legislatif itu. Dalam sistem pemerintahan presidensial, dibutuhkan legislatif yang kuat agar efektif mengawasi pemerintah.
“Banyak cabang kekuasaan berada dalam genggaman Presiden. Bahkan, presiden pun telah memiliki hak prerogatif dalam lingkup eksekutif,” katanya
Jika DPR tidak bisa efektif melaksanakan fungsi check and balances itu maka menurutnya, akan ada banyak masalah yang berpotensi tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh presiden.
“Skandal Bank Century, praktik kartel minyak dan kartel-kartel komoditi lainnya adalah beberapa contoh kasus paling faktual yang sampai sekarang tidak bisa dipertanggujawabkan oleh pemerintah. Karena kekuatan DPR untuk melakukan pengawasan terus dipreteli oleh pemerintah,” jelasnya.
Ia meminta agar harap dicamkan bahwa Kesetaraan eksekutif-legilatif dalam arti yang sebenar-benarnya, belum pernah terwujud. Sepanjang era Orde Baru, DPR betul-betul hanya jadi tukang stempel.
“Bahkan 10 tahun periode kepresidenan SBY pun fungsi check and balances sama sekali tidak efektif karena dipreteli oleh apa yang dikenal dengan Sesgab Pendukung pemerintah,” ujarnya. (Tiara Hidup)