JAKARTA – Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) merevisi ke atas pertumbuhan ekonomi China. Didasari dari kuatnya konsumsi domestik dan kinerja ekspor negara itu.
Dalam World Economic Outlook edisi Juli 2024, proyeksi pertumbuhan ekonomi China IMF naikkan menjadi 5%, dari perkiraan sebelumnya dalam World Economic Outlook edisi April 2025 hanya sebesar 4,6%.
“Pertumbuhan China kami revisi naik dan masih menyumbang hampir setengah pertumbuhan global,” ucap Direktur Departemen Riset Dana Moneter Internasional Pierre-Olivier Gourinchas dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (17/7/2024).
IMF menilai kebangkitan konsumsi domestik China mendorong peningkatan pertumbuhan positif pada kuartal pertama, dibantu oleh lonjakan ekspor, yang berkaitan dengan peningkatan permintaan global pada tahun lalu.
“Untuk China, perkiraan pertumbuhan direvisi naik menjadi 5% pada tahun 2024, terutama karena peningkatan konsumsi swasta dan kuatnya ekspor pada kuartal pertama,” tulis IMF dalam proyeksinya.
Meski begitu, pada 2025, PDB China IMF proyeksikan akan melambat menjadi 4,5%, dan akan terus melambat dalam jangka menengah menjadi 3,3% pada tahun 2029.
Perlambatan ekonomi China mulai 2025 karena hambatan akibat penuaan populasi dan melambatnya pertumbuhan produktivitas.
Sementara itu, Asian Development Bank atau ADB tetap mempertahankan ekonomi China di level 4,8% pada 2024, meski menurun proyeksinya menjadi 4,5% pada 2025 mendatang.
ADB mendasari proyeksi pertumbuhan ekonomi China pada 2024 dari berlanjutnya pemulihan konsumsi jasa dan ekspor yang lebih kuat daripada perkiraan, serta kegiatan industri, mendukung pertumbuhan ini, bahkan di tengah kesulitan sektor properti yang belum juga stabil.
“Pemerintah memperkenalkan sejumlah langkah kebijakan tambahan pada bulan Mei untuk mendukung pasar properti,” tulis ADB dalam Asian Development Outlook (ADO) edisi Juli 2024.
Kebijakan Bernilai Rp 11.311 T
Sebelumnya kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Negara Tirai Bambu ini alias saat ini mengeluarkan kebijakan terbarunya dengan meningkatkan permintaan domestik hingga US$ 704,23 miliar atau setara Rp 11,31 triliun (asumsi kurs Rp 16.062 per US$).
Wakil Kepala Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional China, Zhao Chenxin mengungkapkan kebijakan tersebut sudah berlaku saat ini dan diyakini akan mencapai hasil yang besar.
“Kami yakin pekerjaan ini akan mencapai hasil yang semakin besar,” ujar Chenxin Jumat (12/4/2024) lalu.
Kebijakan tersebut diharapkan bisa berdampak yang lebih besar pada pertumbuhan perekonomian di China. Hal itu di tengah kekhawatiran dunia mengenai kelebihan pasokan di China seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang lambat.
Beijing awal tahun ini mengumumkan rencana untuk meningkatkan permintaan domestik dengan subsidi dan insentif lain untuk peningkatan peralatan dan perdagangan produk konsumen.
Hal itu secara resmi diperkirakan akan menghasilkan pengeluaran tahunan lebih dari US$ 704,23 miliar setara Rp 11,31 triliun untuk peralatan, dan untuk barang-barang konsumen seperti mobil dan peralatan rumah tangga.
China juga telah menetapkan target Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 5% tahun ini, setelah kenaikan sebesar 5,2% pada tahun lalu.
Sedangkan, para analis skeptis bahwa China dapat mencapai tujuannya tanpa stimulus tambahan. Namun, minggu ini Goldman Sachs dan Morgan Stanley menaikkan perkiraan mereka mendekati target resmi, sebagian disebabkan oleh pertumbuhan di bidang manufaktur.
Dengan begitu, Chenxin mengungkapkan bahwa Beijing bertujuan untuk meningkatkan investasi peralatan sebesar lebih dari 25% antara tahun 2023 dan 2027.
Selain itu, dia juga mengatakan sasaran lain pada tahun 2027 akan meningkatkan efisiensi energi peralatan utama yang mengonsumsi energi, menggandakan volume mobil daur ulang, meningkatkan volume transaksi mobil bekas sebesar 45%, dan meningkatkan volume daur ulang peralatan rumah tangga sebesar 30%.
Chenxin menekankan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan konsumsi dan investasi, namun juga mengurangi emisi karbon dan meningkatkan keselamatan yang mana semuanya sejalan dengan dorongan Beijing untuk pertumbuhan berkualitas tinggi.
China juga berupaya untuk lebih fokus pada keberlanjutan pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. (Enrico N. Abdielli)