JAKARTA- Pemerintah dan Pelaku Usaha Minerba masih belum transparan terkait laporan keuangan penambangan SDA (Sunber Daya Alam), khususnya Batubara yang mengalami sorotan tajam masyarakat belakangan ini. Pemerintah selama ini terkesan kurang transparan untuk menyajikan, menyandingkan data Revenues, Costs dan Keuntungan. Hal ini disampaikan pakar energi, Dr. Kurtubi kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (17/1).
“Pajak dan royalti perlu disajikan bersama besaran tarifnya yang disetor penambang batubata ke negara. Disertai volume produksi dan harga jual produknya. Aspek Transparansi Keuangan dalam Pengelolaan SDA seolah dibiarkan terus di alam ‘Kegelapan’ dan kurang transparan,” ujarnya.
Soalnya, menurut Dr. Kurtubi, disektor Minerba, dulu tarif pajak yang dibayar 40%, sekarang sudah diturunkan. Padahal di sektor Migas, penambang migas menyetor ke negara sesuai Kontrak Bagi Hasil sebesar 65% dan Penambang Migas memperoleh 35% yang merupakan keuntungan bersih.
“Mengapa tarif pajak usaha penambangan batubara malah diturunkan dari 40% sekarang menjadi 30% ? atau malah lebih rendah. Penurunan pajak telah terjadi,” ujarnya.
Ia mempertanyakan, apakah karena ada kewajiban untuk menjual sebagian produksinya untuk keperluan dalam negeri yang disebut DMO harganya ditetapkan oleh Pemerintah dengan mengacu pada harga batubara dunia ?
“Saya yakin harga DMO yang ditetapkan oleh Pemerintah saat ini sebesar $70/ton jauh diatas Biaya Pokok Produksi Batubara. Jadi Penambang Batubara masih tetap memperoleh keuntungan dalam menjual batubaranya ke dalam negeri sesuai DMO,” katanya.
Sedangkan di sektor migas yang menggunakan
Sistem Bagi Hasil.menurut Dr. Kurtubi, kewajiban DMO minyak mentah untuk keperluan dalam negeri dulu sewaktu produksi minyak masih tinggi, dihargai dengan mengacu pada Biaya Pokok Produksi Minyak tercatat di Pertamina. Pertamina dengan UU No.8/1971 mencatat semua pengeluaran biaya dari semua perusahaan minyak yang beroperasi di Indonesia sehingga secara jelas bisa diketahui Biaya Pokok Produksi minyak dari setiap perusahaan.
“Tarif Royalti di sektor Minerba dulu sekitar 5% bahkan dalam Kontrak Karya Tambang Freeport misalnya , disebutkan Tarif Royalti untuk EMAS hanya 1%,” jelasnya.
Dr. Kurtubi menjelaskan, Presiden Gus Dur berusaha menaikkan Tarif Royali Emas Freeport menjadi hanya 3.5%, tapi Freeport tidak setuju, maka kenaikan Royalti tersebut tidak bisa dieksekusi. Karena dalam Kontrak Karya “B to G” antara Pelaku Usaha dengan Pemerintah, pasal-pasal isi Kontrak Karya baru bisa berubah jika disetujui oleh para pihak yang berkontrak.
“Dalam Kontrak Karya terkait SDA, pemerintah menjadi para pihak yang berkontrak. sehingga kedaulatan negara hilang. Semestinya Penguasaan Negara atas SDA seperti amanah Pasal 33 UUD45, Tidak Boleh dengan menempatkan PEMERINTAH sebagai para pihak yang berkontrak,” jelasnya.
Itulah sebabnya ia mengingatkan, di dalam UU PERTAMINA No.8/1971 , Negara membentuk dengan UU Perusahaan Negara Khusus (PERTAMINA) sebagai satu-satunya pihak yang diberi wewenang oleh Negara untuk melakukan penambangan migas di Indonesia.
Kemudian Pelaku Usaha Migas yang mau berbisnis migas di Indonesia Berkontrak “B to B dengan menggunakan Kontrak Bagi Hasil dengan PERTAMINA,– dimana pembagian Porsi Keuntungan,– Negara memperoleh porsi yang jauh lebih besar. Negara memperoleh 65% dan Pelaku Usaha memperoleh 35%.
“Jelas, tata kelola yang sesuai dengan Pasal 33 UUD45 seperti ini yang dapat menjamin penerimaan Negara bisa lebih besar dari keuntungan bersih yang diterima penambang. Bahkan pada saat “oil boom” bagian negara naik menjadi 85% dan Pelaku Usaha memperoleh 15%,” katanya.
Ia mempertanyakan, penambangan batubara yang justru resikonya lebih rendah dari resiko penambangan migas malah kewajiban membayar Pajak dan Royaltinya berujung dimana Penerimaan Negara menjadi labih kecil dari keuntungan bersih yang diterima penambang batubara.
Saatnya Tata Kelola SDA, wabilkhusus Batubara segera diluruskan agar sesuai dengan amanah Konstitusi.
Meskipun batubara termasuk energi fossil yg harus dikurangi sesuai Paris Agreement yg telah diratifikasi menjadi UU No.6/2016, tata kelolanya harus diluruskan agar sesuai Konstitusi.
“Mengingat untuk masa jauh kedepan, usaha 0enambangan batubara bisa dikonversi menjadi Industri Petrokimia yang tetap dibutuhkan oleh ekonomi dunia,” katanya. (Web Warouw)